Juli 2022, DPR mengesahkan RUU Pemasyarakatan menjadi Undang-Undang. Padahal dalam draf final RUU tersebut disebutkan bahwa setiap narapidana yang memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali berhak atas remisi hingga pembebasan bersyarat. (https://nasional.tempo.co/amp/1609958/ruu-pemasyarakatan-disahkan-tak-ada-pengecualian-remisi-bagi-koruptor).
September 2022, ada 23 napi Tipikor dilepas setelah diberikan Pembebasan Bersyarat oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (https://nasional.tempo.co/amp/1632576/23-napi-koruptor-ramai-ramai-bebas-bersyarat-apa-syaratnya)
Napi Tipikor Sama Dengan Napi Lainnya
Perlakuan yang sama atas Napi Tipikor (Narapidana Tindak Pidana Korupsi) saat ini tidak dapat dipisahkan dari kebijakan penghapusan pengetatan remisi bagi Tipikor.
RUU Pemasyarakatan di tahun 2019 lalu gagal di sah kan karena banyak ditentang masyakarat. Dalam draff RUU tersebut meniadakan pasal 34A ayat 1 dari PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Isi pasal tersebut menyebutkan bahwa syarat untuk terpidana korupsi mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal, yakni bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti.
Dan dalam UU Pemasyarakatan yang Juli 2022 lalu di sahkan tidaklah mencantumkan ketentuan pengetatan remisi Tipikor sebagaimana pasal 34A ayat 1 tersebut.
Alasan penghapusan pengetatan remisi bagi napi Tipikor, sebagaimana disampaikan oleh Mahkamah Agung karena dinggap tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice, dianggap diskriminatif karena ada pembedaan perlakuan kepada para terpidana, dan menyebabkan situasi over crowded di lembaga pemasyarakatan.
Perlakuan yang sama pada napi Tipikor ini dipertegas lagi dengan pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar S.H bahwa status semua warga binaan adalah sama tanpa ada perbedaan terhadap kasus korupsi dan lainnya. (https://nasional.tempo.co/amp/1609958/ruu-pemasyarakatan-disahkan-tak-ada-pengecualian-remisi-bagi-koruptor)
Orientasi Dunia dalam Penegakan Hukum
Dari kronologis pengesahan RUU Pemasyarakatan sebagaimana dijelaskan, dapatlah diambil beberapa hal.
Pertama, dihapuskannya ketentuan pengetatan remisi bagi napi Tipikor mengindikasikan bahwa pemerintah memberikan kelonggaran kepada napi Tipikor. Hal ini bisa berakibat upaya pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi mimpi.
Kedua, saat koruptor yang telah mencopet uang rakyat dikasih remisi sama dengan pencopet yang mencopet uang satu orang saja, itu artinya ada diskriminasi dalam kebijakan. Ada perlakuan istimewa bagi koruptor. Bukankah sudah sewajarnya jika napi yang merugikan negara dan rakyat diperketat hukumannya dari napi yang merugikan 1 orang saja?.
Melawan koruptor itu menyangkut harga diri bangsa. Jika hukumannya plin plan maka negara ini akan dipermainkan oleh para tikus-tikus berdasi. Negara hancur kehormatannya dan rakyat dirugikan.
Ketiga, over crowded lapas memang memakan banyak anggaran negara. Tapi lapas yang padat napi bukan alasan tepat untuk meremisi mereka. Karena itu akan melemahkan sistem sanksi di negara ini. Dan menurunkan efek jera dari hukum yang telah divoniskan.
Keempat, sejatinya pemberian remisi, pembebasan bersyarat ataupun lainnya mengindikasikan bahwa hukum bersifat fleksibel. Bisa berubah sesuai situasi, kondisi dan kepentingan. Entah kepentingan penguasa, penegak hukum, napi itu sendiri, atau kepentingan politik lainnya.
Inilah hukum di bawah sistem demokrasi. Menjadikan akal manusia sebagai pijakan sehingga hukum kadang di-akali oleh nafsu dan kepentingan manusia.
Hukuman Bagi Koruptor dalam Islam
Sistem sanksi dalam Islam ditegakkan dalam rangka mentaati Allah SWT. Sehingga penetapan hukuman bagi napi dikembalikan kepada Al Qur'an dan Al Hadist.
Sehingga bukan motif dunia yang melatarbelakanginya. Tapi motif ibadah untuk meraih keselamatan dunia akhirat. Hukuman yang dijatuhkan dalam Islam dapat menjadi kaffarat/jawabir/penebus atas dosa yang dilakukan napi. Dan juga berfungsi sebagai jawazir atau memberikan efek jera bagi pelaku dan masyarakat lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Daud bahwa ada seorang yang mengaku telah berzina. Kemudian Rasulullah SAW menetapkan hukuman rajam baginya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Orang itu lebih disukai daripada harumnya misik (kesturi) dalam pandangan Allah". Ini artinya orang tersebut telah diampuni dosanya oleh Allah SWT, berkat hukuman rajam yang diberikan kepadanya.
Korupsi dalam Islam disebut dengan Al ikhtilas. Pelakunya disebut dengan mukhtalis.
Mukhtalis/koruptor tidak dikenai hukum potong tangan sebagaimana dalam QS. Al Maidah ayat 38. Karena fakta korupsi dengan mencuri itu beda.
Mencuri adalah aktivitas mengambil harta/uang orang lain dari tempat penyimpanannya. Sedangkan koruptor, dia mengambil atau menyalahgunakan harta/uang negara yang berada di bawah kekuasaannya dengan memanfaatkan jabatannya atau kelalaian pihak lain.
Oleh karena itu, pelaku korupsi dalam Islam dikenai hukuman ta'zir. Yakni hukuman yang dijatuhkan karena seseorang telah melanggar hak-hak masyarakat. Dan koruptor ini telah menyalahgunkan uang rakyat. Jenis sanksi ta'zir ditentukan oleh ijtihad Khalifah. Koruptor bisa dihukum ringan semisal diarak ke seluruh negeri diumumkan bahwa dia pelaku korupsi, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Jadi terserah Khalifah menjatuhkan hukuman apa bagi koruptor.
Inilah hukum Islam bagi koruptor. Hukum yang tegas dan tidak ada remisi atau pembebasan bersyarat dalam sistem sanksi Islam. Napi bebas jika telah selesai hukuman yang dijatuhkan padanya. Dengan demikian hukum sanksi dalam Islam, selain menghapus dosa, akan memberikan efek jera dan bisa meminimalisir seseorang untuk bertindak kriminal.
Adapun jika saat ini ada remisi bagi napi Tipikor, apakah hukuman yang telah ia jalani, bisa menghapus dosanya sedangkan rakyat yang disakitinya tidak meridhoi remisi tersebut?
Sistem sanksi dalam Islam juga tidak hanya memiliki satu jenis hukuman. Ada rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah, ada cambuk 100x bagi pezina yang belum menikah, ada potong tangan bagi pencuri, ada hukuman mati bagi pelaku riddah dan bughot, dan sanksi lainnya, sesuai ketentuan Al Qur'an dan Al Hadist.
Dengan beragamnya hukuman ini, negara tidak perlu khawatir lapas akan sesak karena padatnya napi. Juga tidak perlu khawatir anggaran negara tersedot untuk membina napi.
Khatimah
Demokrasi yang berbiaya mahal untuk meraih kursi, mendorong pejabat untuk korupsi. Seolah korupsi makin dikehendaki dengan diringankannya sanksi. Jangan sampai KPK hanya basa basi.
Selama dunia menjadi orientasi, manusia akan berat mengambil Islam sebagai solusi. Walau itu diakui benar. Akan ada saja alasan, karena syetan tidak akan rela tanpa menggoda manusia.
Semoga rakyat di negeri ini selamat dari godaan syetan sehingga bersegera meninggalkan sistem demokrasi kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Aamiin.
Wallahua'lam bis showwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar