يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Tampilkan postingan dengan label PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Mei 2024

Bila UKT Tidak Ada?

Pandangan negara terhadap pendidikan akan mempengaruhi kebijakan negara tersebut pada penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pandangan negara terhadap rakyatnya, juga akan mempengaruhi kebijakan negara atas nasib pendidikan rakyatnya. 

Jika negara memandang pendidikan adalah hal pokok/wajib, maka negara pasti menyelenggarakan pendidikan. Jika negara memandang rakyatnya harus berpendidikan maka negara akan mengusahakan bagaimana semua rakyatnya bisa mengenyam pendidikan. Negara memandang dirinya sebagai pengurus dan pelayan rakyat.

Pandangan negara terhadap pendidikan dan rakyatnya ini adalah hal yang mendasar. Jika hal mendasar ini belum benar, maka kebijakan turunannya bisa kurang benar hingga salah kebijakan. 

Adapun pejabat negara harus menjalankan fungsi negara sehingga pandangannya atas pendidikan dan rakyat bukan pandangan personal tapi pandangan negara. 

Terkait UKT

UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan, dalam pandangan penulis tidak perlu ada. Artinya ditiadakan saja. UKT itu bentuk ketidakadilan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Seolah memang manusiawi saat orang tua mahasiswa berpenghasilan rendah maka dikenai UKT rendah, dan saat orang tua mahasiswa berpenghasilan tinggi dikenai UKT tinggi. 

Nah pertanyaan, apakah layanan dan fasilitas mahasiswa yang ber-UKT tinggi berkelas VIP? Semisal diberi buku kuliah gratis, bebas biaya KKN, mendapat layanan khusus terkait peminjaman buku di perpustakaan dan lain-lainnya?

Kalau ternyata yang berUKT tinggi, buku tetap beli sendiri, biaya KKN, biaya praktek dan lain-lainnya biaya mandiri, lantas uang UKT tinggi itu digunakan apa oleh kampus negeri?

Disinilah perlunya evaluasi terkait mana saja pembiayaan yang harus ditanggung negara dan mahasiswa. Sehingga tidak muncul hal lucu semisal uang UKT mahasiswa di PTN untuk menggaji tenaga pendidik atau kependidikan. 

Dengan pembagian mana-mana yang harus ditanggung negara menjadikan penganggaran negara atas pendidikan tinggi jelas dan kampus tidak tersibukkan dengan kegiatan penggalangan dana. Demikian juga orang tua mahasiswa tidak terbebani dengan biaya kuliah yang ternyata untuk membiayai gaji pegawai kampus atau lainnya yang itu bukan tanggungjawab orangtua mahasiswa untuk membiayainya.

Lantas Bagaimana Jika UKT Tidak Ada?

Jika UKT tidak ada maka biaya kuliah mahasiswa sesuai dengan perincian hal apa saja yang harus dibiayai mahasiswa selama masa perkuliahannya. Kampus bisa merinci setiap semester apa saja kegiatan yang harus didanai mahasiswa. Dan itu menjadi biaya kuliah persemester bagi mahasiswa.

Adapun bila kampus negeri masih membutuhkan uluran tangan dari orangtua mahasiswa, semisal dalam pembangunan gedung kampus, itu bersifat opsional saja, boleh menyumbang boleh tidak, dan juga tidak ditentukan besarnya, karena penyelenggaraan pendidikan (semisal membangun gedung) itu tanggung jawab negara. 

Dengan demikian, biaya kuliah sama untuk semua mahasiswa. Dengan layanan dan fasilitas yang sama juga. Dan tentunya, dibuat transparan sehingga mahasiswa mengetahui untuk apa saja uang yang mereka bayarkan ke kampus di setiap semesternya itu.

Adapun jalur beasiswa, negara harus tetap membukanya. Beasiswa prestasi sebagai penghargaan atas prestasi sehingga kedepan diharapkan bisa berkontribusi kepada negara. Dan juga beasiswa bagi keluarga tidak mampu untuk membuka peluang bagi semuanya untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi. 

Tirulah Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam

Islam menempatkan menuntut ilmu sebagai kewajiban. Setiap individu terkena kewajiban untuk menuntut ilmu. Secara personal individu muslim harus berusaha untuk menuntut ilmu. Dan secara kenegaraan, negara wajib menyelenggarakan pendidikan sehingga seluruh rakyatnya bisa berpendidikan setinggi-tingginya.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim" (HR. Ibnu Majah).

Dalam buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Raghib As Sirjani dikisahkan bahwa para orang tua sangat perhatian terhadap putra-putrinya. Bahkan khalifah Harun ar Rasyid (berada di Baghdad) membawa kedua anaknya yaitu Amin dan Ma'mun untuk mendengarkan kitab al Muwatha' Imam Malik di Madinah al Munawarah. 

Adapun pembiayaan pendidikan dalam sejarah peradaban Islam, ada yang ditanggung negara, ada yang secara personal mewakafkan hartanya untuk pendidikan, dan ada juga biaya yang dikeluarkan peserta didik.

Khalifah Salahudin al Ayyubi telah membangun sekolah Shalahiyah, Nashiriyah dan Qamhiyah. Diceritakan bahwa Syaikh Najamuddin al Habusyani yang mengajar di sekolah al Shalahiyah diberi gaji 40 dinar per bulan, 10 dinar sebagai penanggungjawab wakaf dan enam puluh liter roti setiap harinya serta aliran sungai Nil setiap harinya.

Di Andalusia, Khalifah al Umawi al Hakam kedua memberikan wakaf sebanyak 27 sekolah untuk mengajar anak-anak orang miskin secara gratis. Sedang penguasa Maroko membangun sekolah khususnya di daerah Suez sekitar empat ratusan madrasah. 

Al Halam menukil dari Bitrus al Bastani mengatakan bahwa dunia Arab ketika itu memiliki sekolah yang bertabur ilmu pengetahuan, tersebar luas dari Baghdad sampai Cordova. Terdapat 17 universitas. Di Universitas cordova terdapat perpustakaan dengan 600 jilid buku. Mereka belajar ilmu sharaf, nahwu, syair, biologi, matematika, kedokteran, kimia dan lain-lainnya.

Adapun orang-orang kaya banyak diantara mereka yang menjadikan rumahnya sebagai sekolah, menjadikan di dalamnya kitab-kitab disertai pula dengan gaji bagi yang menuntut ilmu di sekolah tersebut. Hingga Ibnu Jubair pengembara asal Andalusia mengemukakan apa yang dilihatnya di timur lantaran banyaknya sekolah dan tingginya kebutuhan yang diberikan oleh orang berwakaf, menyeru orang-orang Barat untuk sekolah di timur khususnya Damaskus.

Dari cuplikan di atas diperkirakan sangat kecilnya biaya yang dikeluarkan secara personal oleh seorang penuntut ilmu. Karena semua fasilitas pendidikan disediakan negara atau pewakaf. Bahkan penuntut ilmu dicukupi kebutuhannya. 

Dapat diambil pelajaran betapa jelas pengaturan pembiayaan pendidikan dalam sistem pendidikan Islam. Pengaturan yang lahir dari kejelasan posisi masing-masing, antara negara dan penuntut ilmu. Sehingga penuntut ilmu tidak dibebani dengan biaya yang itu bukan menjadi tanggungjawabnya. Dan negara juga tidak lepas tangan dari apa yang menjadi tanggungjawabnya. 

Khatimah

Sesungguhnya pengaturan akan pendidikan menjadi cermin bagi bangsa itu dalam memandang ilmu, pemuliaannya kepada ulama, ilmuwan dan para penuntut ilmu. 

Penulis ingat statement seorang dosen saat masih kuliah dulu, "Jangan persulit orang untuk menuntut ilmu". Dan statement ini, pantas jadi renungan bagi pemangku kebijakan pendidikan. 

Wallahua'lam bis shawaab.

Selasa, 26 Desember 2023

Korupsi dan Lulusan Perguruan Tinggi, Apa Hubungannya?

Berita seputar korupsi seperti jam dinding yang terus berdetak. Jam itu mati ketika baterainya habis. Dan akankah berhentinya korupsi jika sudah tidak ada lagi baterai dalam diri manusia yaitu dicabutnya nyawa manusia?

Menkopolhukam Mahfudz MD dalam orasi ilmiahnya di Universitas Negeri Padang, telah mengutip data dari KPK bahwa 84 % koruptor adalah lulusan perguruan tinggi. Dimana jumlah koruptor yang telah ditangkap atau sudah diadili sekitar seribu tiga ratusan.(https://m.antaranews.com/amp/berita/3874983/menkopolhukam-84-persen-koruptor-merupakan-lulusan-perguruan-tinggi)

Sarjana Kok Korupsi?

Korupsi sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau orang lain, baik terkait penyelewengan uang ataupun lainnya, sebenarnya tidak mensyaratkan pelakunya harus lulusan perguruan tinggi. Asal ada kesempatan, siapapun pejabatnya, apapun lulusannya, bisa melakukan korupsi. Tinggal pejabat tersebut memiliki kemauan apa tidak untuk mengambil kesempatan itu. 

Dilogika, pejabat yang lulusan perguruan tinggi tentunya memiliki ilmu yang lebih dibanding yang bukan sarjana. Jika berilmu, maka seharusnya ilmunya tadi menuntun dirinya untuk bisa menahan diri dari melakukan korupsi. Tapi kenapa tidak berlaku logika yang begitu?

Karena kesempatan untuk melakukan korupsi itu ada yang buatan dirinya, ada yang buatan manusia lainnya, dan ada yang buatan sistem.

Ketika kesempatan untuk melakukan korupsi itu buatan pribadinya, maka dari dalam diri orang tersebut sudah ada niatan dan kemauan untuk korupsi. Dalam kondisi ini, ilmu dan iman sudah kalah dengan nafsu.

Ketika kesempatan itu buatan manusia lainnya, artinya ia bukan dalangnya, tapi pihak yang ditawari untuk korupsi, maka ia bisa masuk jebakan korupsi atau melarikan diri darinya. Ilmu, iman dan nafsu berebut pengaruh pada diri orang ini. 

Ketika kesempatan itu buatan sistem, maka jarang orang bisa selamat dari korupsi. Karena sistem itu menuntut dirinya untuk korupsi. Dan kesempatan buatan sistem inilah yang banyak merusak pejabat sehingga berjiwa koruptur. 

Contohnya di sistem demokrasi saat ini. Sudah diketahui umum untuk nyapres, nyaleg, nyagub, dan jabatan-jabatan lainnya berapa kantong yang harus dikuras. Ilmu dan iman dalam sistem yang demikian ini dipaksa tunduk dengan aturan main. Jika tidak ikut arus, tersingkir.

Dengan demikian, keilmuan seseorang itu jika dikaitkan dengan korupsi, tidak memiliki hubungan langsung. Karena pendorong, penyebab seseorang melakukan korupsi bukanlah tingkat keilmuannya, dengan bahasa lain tidak terkait lulusan perguruan tinggi atau bukan.

Sistem Yang Diberkahi

Manusia memang tidak akan lepas dari salah dan lupa. Makanya Allah subhaanahu wa ta'ala mengajari manusia untuk berdoa:

 ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَاۤ اِنْ نَّسِيْنَاۤ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ 

"...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan... " (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 286)

Dengan menyadari kelemahan ini, seharusnya menuntun manusia untuk menyandarkan, mengambil dan menerapkan sistem kehidupan ilahiah. Yakni sistem kehidupan yang menerapkan syariahNya dalam seluruh aspek kehidupan. Dan ini sesuai dengan seruan Allah subhaanahu wa ta'ala:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 208)

Kehidupan yang menerapkan Al Qur'an dan as Sunnah dan diisi oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa inilah yang akan menurunkan keberkahan. Allah subhaanahu wa ta'ala yang menjaminnya.

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَ خَذْنٰهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)

Bukan hanya korupsi yang tidak ada peminatnya, segala hal maksiatpun bisa tidak ada yang berhasrat melakukannya. Demikianlah jika Allah subhaanahu wa ta'ala sudah memberkahi suatu negeri. Dan bukankah kehidupan yang demikian ini, yang dirindukan oleh manusia yang berakal lagi beriman?

Wallahua'lam bis shawaab

Selasa, 28 November 2023

Merdeka Belajar, Strategi Yang Masih OTW

Dua lima November tanggal istimewa bagi guru. Sejak 1994 tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional dan tanggal berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Guru, satu dari sekian sebutan bagi orang yang memiliki aktivitas mengajar dan mendidik. Masih ada dosen, tutor, widyaswara, dan semisalnya dimana mereka disebut dengan istilah yang lebih umum dengan sebutan pendidik. 

Istilah guru bisa melebar penggunaannya, semisal dikenal istilah, 'Pengalaman Adalah Guru Terbaik'. Dalam konteks ini, guru bukan lagi tertuju pada vigur orang tertentu, melainkan pada realitas kehidupan atau pengalaman hidup yang telah dilewati seseorang. 

Guru, dalam arti pihak yang mengajar juga bisa disematkan kepada sosok malaikat Jibril.  Malaikat Jibril adalah malaikat yang telah mengajari nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk membaca ayat Al Qur'an yang pertama kali turun. 

Peringatan Hari Guru

Peringatan hari guru tahun 2023 mengambil tema Bergerak Bersama Merayakan Merdeka Belajar. Betul, pendidikan membutuhkan peran banyak pihak untuk sampai pada tujuan pendidikan, sehingga butuh gerak bersama. Tapi, tepatkah gerak bersama itu untuk merayakan merdeka belajar? 

Merdeka belajar, penulis sebut sebagai satu dari sekian strategi dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Jika sebuah strategi, tepatkah gerak bersama civitas pendidikan untuk merayakan strategi tersebut? Padahal strategi itu masih on the way untuk mewujudkan tujuan pendidikan. 

Jika masih ada cacat dan kurangnya dari input pendidikan, proses pendidikan, produk pendidikan, maka moment hari guru seharusnya menjadi muhasabah untuk bergerak bersama dalam mewujudkan tujuan pendidikan. 

Tujuan pendidikan yang simple adalah mendidik orang untuk menjadi baik. Untuk mewujudkan ini, guru harus membentuk pola pikir dan pola sikap yang benar pada peserta didik. 

Membentuk cara berfikir yang benar tidak cukup dengan sekedar ada kurikulum. Tapi kurikulumnya juga harus benar dan gurunya juga harus berfikir dengan benar. Membentuk pola sikap yang benar membutuhkan ilmu, teladan, pembiasaan dan lingkungan yang benar pula. 

Apabila pola pikir dan pola sikap yang benar ini sudah berhasil diwujudkan maka tujuan pendidikan yang simple di atas tercapai. Dengan indikasi keberhasilannya adalah hilangnya pernyataan yang menyebut pelajar saat ini mengalami degradasi moral atau akhlaq. 

Islam, Ilmu dan Guru

Guru sebagai penebar ilmu memiliki posisi yang mulia. Sebagaimana Islam memuliakan ilmu. Maka bagi penuntut ilmu, penebar ilmu, Allah subhaanahu wa ta'ala berikan kemuliaan. 

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا قِيْلَ لَـكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَا فْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَـكُمْ ۚ وَاِ ذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَا نْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ ۙ وَا لَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 11)

Pada periode awal Islam, para penebar ilmu ini bergerak karena kesadaran dirinya untuk melaksanakan perintah Allah subhaanahu wa ta'ala. Mengajarkan Islam, ilmu ketauhidan dan cabang ilmu agama lainnya, hingga berkembang kepada cabang ilmu umum. 

Kesibukan para ulama dalam menekuni ilmu dan menyebarkannya, telah mengambil banyak waktu mereka. Negarapun all out mendukung perkembangan ilmu agama dan pengetahuan. Negara menggaji para ulama sebagai balasan dari waktu dan tenaga mereka untuk ilmu.

Tak tanggung-tanggung, dimasa beberapa khalifah, para guru/ ulama dicukupi fasiltas hidup mereka oleh negara. Dikutip dari buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani disebutkan bahwa di masa Salahuddin Al Ayyubi, Syaikh Najamuddin Al Habusyani yang diangkat untuk mengajar di sekolah ash Shalahiyah diberi gaji setiap bulannya 40 dinar, diberi gaji 10 dinar sebagai penanggung jawab wakaf sekolah, dan 60 liter roti setiap harinya serta aliran air sungai Nil setiap hari. 

Dengan dukungan penuh dari kekhilafahan Islam (nama negara dalam sistem Islam) waktu itu, muncullah ilmuwan-ilmuwan yang faqih fiddin (menguasai agama) sekaligus menguasai keilmuan umum, dimana temuan mereka masih dipakai hingga sekarang. Semisal Al Khawarismi (matematika), Ibnu Sina (kedokteran), Az Zahrawi (kedokteran), Abu Raihan Al Biruni (fisika),  Ibnu Haitsam (ahli mata) dan masih banyak lagi lainnya. 

Mengapa para ulama dan ilmuwan muslim tersebut terus hidup keilmuan mereka, walau jasad sudah tidak ada di dunia? Itulah jawaban dari ayat Allah subhaanahu wa ta'ala dalam QS Al Mujadilah di atas. Diangkat derajat mereka dan dimuliakan mereka di dunia dan di akhirat. Inilah balasan bagi ulama, ilmuwan, guru yang menekuni ilmu dengan orientasi dunia akhirat. 

Khatimah 

Setiap kita bisa disebut sebagai guru. Karena agama ini menempatkan ilmu untuk dipelajari, diamalkan dan disebarkan oleh setiap muslim. Selamat hari guru, semoga tulisan sederhana ini berkontribusi memberikan pencerahan pemikiran kepada guru khususnya dan pembaca umumnya. Aamiin

Wallahua'lam bis shawaab.

Sabtu, 19 Agustus 2023

Pelajarpun Saling Terkam

Hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022, sebanyak 34,51 % peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual. Potensi mengalami hukuman fisik 26,9% atau 1 dari 4 peserta didik. Dan 36,31% peserta didik berpotensi mengalami perundungan. (https://setkab.go.id/nadiem-luncurkan-permendikbud-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-di-satuan-pendidikan/)

Menjawab fakta tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaaan, Riset dan Teknologi meluncurkan Permendikbudristek No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. 

Melebarnya Definisi Kekerasan

Penulis bukan orang yang lahir dimasa penjajahan ataupun awal-awal kemerdekaan. Tapi, cerita orang-orang tua dulu, bahwa seorang siswa di jewer oleh guru itu hal biasa. Namun hasil didikan guru tersebut nyata menjadikan murid serius belajar dan berakhlaq baik. 

Kini, setelah ide kebebasan, HAM masuk ke kancah sosial dan pendidikan, muncul banyak persoalan yang disebut kekerasan. Menyuruh murid bila si murid merasa tidak nyaman bisa masuk kekerasan psikis. Apalagi menjewer dan mencubit. Langsung masuk pasal kekerasan fisik. Kenapa? Karena definisi kekerasan dikembalikan ke perspektif korban. Bukan perspektif edukasi ataupun perspektif agama.

Kriteria kekerasan yang meluas ini adalah keberhasilan barat dalam mengkampanyekan HAM dan kebebasan. Dan fakta lainnya, ketika kebebasan ini yang dituruti, moral pelajar kian hari kian buruk. Akhirnya, tujuan pendidikan yang paling mendasar yaitu mengubah orang tidak baik menjadi baik, terasa sangat sulit diwujudkan.

Perspektif Islam Terkait Kekerasan

Islam sebagai agama yang diridhai Allah subhaanahu wa ta'ala, menetapkan bahwa segala perbuatan harus terikat dengan hukum syara'. Hukum syara' ada di dalam Al Qur'an dan Al Hadist. 

Islam juga menetapkan benar dan salah dalam perspektif syariah. Bukan akal dan perasaan manusia. Apa yang dikatakan baik oleh syara', pasti baik bagi manusia. Sebaliknya, apa yang dikatakan syara' buruk maka buruk bagi manusia.

Dengan ketentuan demikian, definisi kekerasan inipun baliknya kepada hukum syara'. Tidak bisa tiap hal yang dilihat mata itu berupa tindakan fisik kemudian langsung disebut kekerasan.

Sebagai contoh, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat disaat mereka berumur 7 tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur diantara mereka" (HR. Ahmad)

Dalam hadist tersebut ada perintah memukul. Memukul ini harus dikembalikan ke bentuk pukulan yang dikehendaki hukum syara'. Yaitu pukulan yang tidak menyakitkan sehingga menimbulkan luka fisik. Jadi pukulan yang bersifat edukasi. Maka ketika ada seorang ayah menjewer atau mencubit dengan kasih sayang dan tidak menyakitkan, bukanlah terkategori kekerasan fisik. Jadi perspektif kekerasan ini dikembalikan ke hukum syara, bukan ke si anak. 

Kalau dikembalikan ke perspektif anak (sebagai korban cubitan) tentu mereka menyebut itu kekerasan. 

Demikianlah Islam, didikan dari penerapan syariah Islam pada keluarga muslim dan negara Islam waktu itu (yakni kekhilafahan Islam) nyata  bisa melahirkan pribadi yang berkepribadian mulia dan bisa menjalankan peran sebagai khalifah di muka bumi ini. 

Semisal sosok 4 Khulafaur Rasyidin, para sahabat nabi yang dijamin masuk surga, Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar Rasyid, Salahudin Al Ayyubi, Muhammad Al Fatih, Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Sina, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya.

Kisah keagungan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana selama masa kepemimpinan beliau sampai-sampai serigala hidup rukun dengan domba. Tidak saling terkam. Inilah kemuliaan akhlaq sang Khalifah, keberkahannya sampai menular kepada perilaku hewan.

Nah saat ini, bisa menjadi koreksi, banyaknya kasus kekerasan pelajar, saling terkam, baik dengan lisan ataupun perbuatan, mungkinkah karena rusaknya moral pejabat?  Dan ditinggalkannya syariah Islam? Sehingga negeri ini jauh dari keberkahan dan rahmat Allah subhaanahu wa ta'ala. 

Akhirnya, kejahatan dan kekerasan merebak dimana-mana. Moral kian rusak. Akhlaq jauh dari yang diridhai Allah subhaanahu wa ta'ala. 

Belum cukupkah fakta ini sebagai pendorong untuk  bertaubat dan kembali kepada syariahNya? 

Wallahu'alam bis shawwab.





  


Senin, 05 Juni 2023

Kampus-Kampus Nakal, Dibubarkan!

Dua puluh tiga (23) perguruan tinggi swasta dicabut izin operasionalnya oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Kenapa?

Dikutip dari medcom.id (26/5/2023), bahwa perguruan tinggi swasta tersebut telah melakukan pelanggaran berat seperti, melakukan pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). 

Perguruan Tinggi Swasta Tidak Wajib Adanya

Pendidikan adalah kebutuhan pokok rakyat yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara bukan swasta. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 pendidikan adalah hak setiap warga negara. 

Jadi, semua jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi menjadi tugas negara untuk menyelenggarakannya.

Konsep mendasar ini harus selalu diingat. Dari konsep ini akan melahirkan kebijakan pembiayaan pendidikan yang mencukupi untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Melahirkan sistem pendidikan yang sevisi dan semisi dengan tujuan pendidikan. 

Negara harus tidak rela jika rakyatnya bodoh. Sehingga negara harus membuat berbagai strategi untuk mewujudkan tujuan pendidikannya. Tugas pendidikan yang berat ini, seharusnya memang tidak dengan mudah mengizinkan swasta mengambil tugas ini. 

Sehingga betul jika pemerintah selektif dan membuat aturan yang ketat jika ada swasta yang ikut mengambil peran dari tugas negara ini. Bahkan negara harus 'malu' jika ada lembaga pendidikan swasta lebih berkualitas dalam penyelenggaraan pendidikannya. 

Karena hakikatnya lembaga pendidikan swasta tadi membantu tugas negara (tidak wajib adanya). Sehingga yang seharusnya optimal dan serius menciptakan pendidikan berkualitas adalah negara. 

Banyaknya pendidikan tinggi swasta yang berdiri, satu sisi pasti lahir dari kesadaran mereka bahwa pendidikan adalah kebutuhan rakyat. Melihat pendidikan tinggi negeri tidak mencukupi untuk seluruh mahasiswa. Dan bisa jadi juga melihat adanya sisi kekurangan lain dari perguruan tinggi negeri, apakah kualitasnya, sarana prasarananya, pendidiknya, biayanya dan lainnya.

Karena perguruan tinggi swasta memahami akan pentingnya pendidikan tinggi, bisa menjadi celah alasan untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Praktek pelanggaran berat oleh 23 perguruan tinggi swasta yang dicabut izin operasionalnya, menjadi bukti bahwa bukan mencerdaskan mahasiswa menjadi tujuan utama, tapi bagaimana dapat meraih uang dari penyelenggaraan lembaga pendidikan tinggi.

Fenomena ini akan terus terjadi, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pendidikan, mengontrol, dan mengevaluasi keberadaan kampus. Dan berkonsep pendidikan adalah untuk rakyat. Sebagai wujud pemenuhan akan kebutuhan rakyat akan pendidikan. Sekaligus kebutuhan negara akan adanya sumber daya manusia yang berimtaq dan beriptek. 

Jika kampus negeripun akhirnya terperangkap pada kapitalisasi pendidikan, maka perguruan tinggi negeri berdiri bukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mahasiswa dan tidak ada bedanya dengan kampus swasta bermotivasi materi dalam penyelenggaraannya. 

Dengan demikian ketat dalam mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak hanya untuk kampus swasta tapi juga kampus negeri. 

Lembaga Pendidikan dalam Sistem Islam

Pendidikan dalam Islam diwajibkan adanya. Perintah untuk menempuh pendidikan turun dari Allah subhaanahu wa ta'ala langsung dan dari RasulNya.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا قِيْلَ لَـكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَا فْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَـكُمْ ۚ وَاِ ذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَا نْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ ۙ وَا لَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS) Al-Mujadilah 58: Ayat 11)

Dari Anas bin Malik r.a ia berkata, Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda, "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim" (HR. Ibnu Majah).

Karena keberadaan negara dalam sistem pemerintahan Islam adalah untuk menegakkan hukum-hukum Allah subhaanahu wa ta'ala, maka negara harus menyelenggarakan pendidikan sehingga perintah Allah subhaanahu wa ta'ala dan RasulNya terkait pendidikan tertunaikan. 

Setiap individu muslim harus tergerak untuk menempuh pendidikan karena kesadaran keimanan yakni melaksanakan perintah Allah subhaanahu wa ta'ala. Demikian pula para pendidik dan pegawai lembaga pendidikan. Sehingga kesungguhan dalam pelaksanaannya.

Negara dalam sistem Islam akan mengalokasikan dana yang cukup dari Baitul mal untuk pendidikan ini. Pembiayaan dapat diambilkan dari pos pendapatan dari pengelolaan kepemilikan umum yang dikelola negara ataupun dari pos kepemilikan negara. 

Jika biaya penyelenggaraan pendidikan ini tidak cukup -semisal kas Baitul mal berkekurangan-, maka pembiayaan menjadi tanggungjawab rakyat. Negara akan mengambil jalan memunggut pajak untuk menutup kebutuhan pendidikan tersebut dari orang-orang yang berkelebihan harta. Jika sudah cukup maka penarikan dharibah (pajak) dihentikan.

Meskipun demikian, negara membolehkan orang-orang berkelebihan harta untuk berwakaf dalam pendidikan -mendirikan lembaga pendidikan atau berwakaf dalam bentuk lainnya-. Dan  dalam sejarah Islam, banyak yang mengambil peran ini. Motivasi pahala jariyah dari pendidikan, memotivasi orang-orang kaya untuk mendirikan lembaga pendidikan. 

Motivasi ruhiyah (meraih rida Allah subhaanahu wa ta'ala dan pahala) mendorong mereka untuk berwakaf dalam pendidikan. Tentu dengan dorongan yang demikian sangat kecil bahkan bisa tidak ada niatan mengkomersialkan pendidikan. Apalagi melakukan praktek pembelajaran fiktif, jual beli ijazah ataupun penyimpangan pembiayaan.

Dikutip dari buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani disebutkan bahwa orang-orang kaya berlomba-lomba membangun sekolah dan mewakafkannya dengan sarananya demi keberlangsungan sekolah dan penuntut ilmu.

Al Hakam menjelaskan bahwa dunia Arab ketika itu mempunyai sekolah yng bertabur ilmu pengetahuan, tersebar luas dari Baghad sampai Cordova. Terdapat 17 universitas. Universitas terkenal adalah universitas Cordova dengan perpustakaan yang berisi 600 ribu jilid buku.

Di Andalusia, Khalifah Al Umawi Al Hakam kedua memberikan wakaf sebanyak 27 sekolah untuk mengajar anak-anak orang miskin gratis. Di daerah Zuez ada sekitar empat ratusan madrasah sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Al Mukhtar as Suezi.

Al Muhadzab ad Dakhwar Abdurrahim bin Ali Hamid seorang dokter sekaligus mewakafkan universitas kedokteran Ad Dakhwariyah yang didirikannya.

Dari beberapa contoh di atas, tampak bahwa secara personal baik sebagai penguasa atau rakyat sama-sama berlomba untuk terlibat dalam wakaf dibidang pendidikan. Inilah yang menjadikan Islam kala kekhilafahan Islam mencapai puncak peradabannya. Muncul para ilmuwan dan penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia yang belajar di kampus-kampus Islam.

Khatimah

Meskipun sejarah bukan sumber hukum, namun siapa yang bisa mengambil hikmah kejayaan peradaban Islam dimasa kekhilafahan Islam, maka tindakan benar bila kemudian umat Islam saat ini meneladani sebab-sebab kejayaan peradaban Islam tersebut. 

Wallahu'alam bis shawwab. 








Minggu, 28 Agustus 2022

Non Biner, Fakta Atau Mengada-ada?

Ada yang menarik dari tanya jawab dosen UNHAS dengan mahasiswa saat pengenalan kehidupan kampus. Sebagaimana diberitakan laman viva.co.id bahwa sang dosen menanyai jenis kelamin mahasiswa tersebut. Dan mahasiswa menjawab, bahwa dirinya non biner atau non binary (https://www.viva.co.id/amp/gaya-hidup/kesehatan-intim/1511878-viral-mahasiswa-diusir-dosen-mengaku-non-biner-apa-itu-non-biner?page=1)

Tidak Konsentrasi Atau Lupa Definisi?

Jika dilihat dari pertanyaannya, siswa SD pun bisa paham dengan pertanyaan itu. Merekapun akan menjawabnya dengan mudah. 

Tapi, kenapa tidak untuk si mahasiswa tersebut? Apakah ia sedang tidak konsentrasi atau lupa definisi atau menguji sang dosen? 

Setelah viral, ternyata mahasiswa tersebut membawa surat pernyataan permohonan maaf kepada fakultas hukum dan dosen yang memintanya keluar saat masa pengenalan kehidupan kampus bagi Maba. Dan masalah ini dianggap selesai. (https://nasional.tempo.co/read/1626907/kasus-perundungan-mahasiswa-non-biner-di-unhas-dianggap-selesai)

Ketika mahasiswa sudah bisa memberikan jawaban dengan istilah non biner itu artinya ia telah mempelajari ilmu tentang gender. Memang, jawaban sang mahasiswa keliru, akan menjadi betul jika pertanyaan sang dosen diganti dengan apa identitas gendermu?

Pertanyaan apa jenis kelaminmu itu hanya memiliki dua jawaban yaitu laki-laki atau perempuan. Jika pertanyaan demikian tidak bisa dijawab oleh seorang mahasiswa itu aneh. Anatomi tubuhnya itukan dilihatnya setiap hari. Sangat tidak mungkin bila ia tidak mengerti jika ciri berjenis kelamin laki-laki itu apa. Kecuali jika memang betul tidak ada kelamin laki-laki atau perempuan padanya. 

Dalam ilmu gender ada namanya identitas gender. Identitas gender ada yang sesuai dengan jenis kelaminnya, ada juga yang tidak. Nah, non biner ini disebut netral karena individunya memilih menyebut dirinya untuk tidak maskulin juga tidak feminim. 

Wallahua'lam, apa betul bisa manusia tidak menampakkan kelakiannya atau keperempuanannya. Kalaupun jika seseorang menampakkan dua perilaku laki-laki dan perempuan sekaligus itu artinya juga tidak netral. Jadi non biner itu bisa dikatakan faktanya tidak ada. 

Sedalam apapun manusia melakukan penelitian dan pengkajian tidak akan bisa teori/ilmu yang ia temukan menolak sunnatullah. Allah SWT telah menetapkan bahwa manusia diciptakan terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Manusia tidak akan bisa keluar dari sunnatullah ini. 

Jadi, dari kasus mahasiswa tersebut, pelajaran yang bisa dipetik, janganlah kita tidak konsentrasi atau lupa definisi atau amnesia dengan identitas diri kita sebagai manusia makhluk ciptaan Al Khaliq yakni Allah SWT.

WHO dan Kekeliruannya

Dikutip dari sehatq.com bahwa WHO menyebut bahwa gender dan seks (jenis kelamin) tidak selalu beriringan. Banyak identitas gender tidak sejalan dengan jenis kelaminnya. Mereka terkategori golongan transgender bagian dari LGBT (https://www.sehatq.com/artikel/pengertian-gender-dan-perbedaannya-dengan-seks)

Perilaku adalah hasil dari proses. Perilaku adalah hasil bentukan. Manusia berperilaku tidaklah ujug-ujug berperilaku begini dan begitu. Manusia terlahir dari bayi yang ia berkata saja tidak bisa. Ia hanya menangis. Setelah berjalannya waktu kedua orang tuanya atau anggota keluarga lainnya mendidiknya, melatihnya, mengajarinya hingga ia bisa berbicara, berbuat hingga ia baligh. Saat ia baligh berfungsi akal yang Allah SWT anugerah kan kepada tiap manusia. 

Ketika maklumat (informasi, ilmu, teori, ajaran, teladan) yang diberikan kepada anak adalah benar, tumbuhlah ia menjadi sosok manusia yang benar sesuai fitrah penciptaannya. Laki-laki berperilaku/berbuat sebagaimana laki-laki. Demikian pula yang perempuan. Tumbuh dan menjalankan fitrah sebagai wanita.

Mereka menjadi orang-orang normal yang memiliki pemikiran yang normal pula. Berfikir normal adalah berfikir sebagaimana fitrah penciptaannya. 

Adapun mereka yang menyimpang dari fitrahnya maka akan terjadi penyimpangan dalam berfikir yang berujung menyimpang pula perbuatanya, perilakunya. Karena setiap orang itu berbuat sesuai dengan pemikirannya. 

Dengan demikian, jika teori bahwa gender dan jenis kelamin ini tidak selalu beriringan dibiarkan berkembang di masyarakat, maka akan bermunculan orang-orang yang mengaku non biner, transgender, dan kawan-kawannya.

Ini adalah teori/kesimpulan yang diambil dari melihat fakta adanya orang yang berperilaku menyimpang dari jenis kelaminnya. Dan pengambilan kesimpulan atau teori yang demikian tidaklah tepat/benar. Karena fakta perilaku yang keliru seharusnya diluruskan perilaku itu, bukan kemudian dijadikan sebagai kebenaran untuk kemudian dilegalkan perilaku menyimpang tersebut.

Atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) pun ini dalam Islam tidak dibenarkan. Karena melawan sunnatullah dan berlanjut pada pelanggaran hukum syariah lainnya. 

Dengan demikian, ajaran yang betul adalah identitas gender haruslah sama dengan jenis kelaminnya, dan bagi yang mengalami penyimpangan pemikiran dan perilaku harus diluruskan, dibina untuk kembali ke jalan yang benar sesuai fitrah penciptaannya.

Kecuali bagi mereka yang sejak lahir memiliki 2 alat kelamin sekaligus maka setelah aqil baligh kecenderungan perilakunya dan anatomi tubuhnya lebih mengarah ke jenis kelamin laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dipilih salah satu sesuai fakta mana yang lebih dominan.

Keluar dari Fitrah Merendahkan Martabat Manusia 

Martabat seorang manusia yang keluar dari fitrahnya pasti rendah. Maka hal wajar jika mereka yang masuk kategori LGBT di masyarakat tidak diterima atau mendapatkan perlakuan yang berbeda. Itu adalah hukum alam. Ketika melawan kodrat, melawan sunnatullah sudah sewajarnya bila mendapatkan balasan demikian.

Itu masih hukuman sosial dari masyarakat. Adapun hukuman dari Allah SWT tentu lebih besar dari itu. Ada hukuman di dunia dan di akhirat.

Bila demikian, maka seruan dari WHO ataupun organisasi liberal lainnya yang meminta untuk tidak diskriminatif dan tidak mengucilkan tapi menerima keberadaan mereka yang menyimpang atas nama HAM adalah keliru. Seruan yang seharusnya adalah merangkul mereka, menjelaskan bahwa pilihan identitas gendernya keliru, mengajak mereka untuk kembali kepada fitrahnya sebagai laki-laki atau perempuan. Membina mereka untuk menjadi pribadi yang shalih shalihah. Inilah bentuk kepedulian dengan mereka bukan malah memfasilitasi dan membiarkan mereka dijalan yang tidak benar.

Islam Memuliakan Manusia

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)

Martabat manusia, tinggi rendahnya derajat manusia, sebagaimana dalam ayat tersebut tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya. Lantas, kenapa manusia merepotkan dirinya dengan identitas gender dengan jenis kelaminnya. 

Sungguh, sia-sia pengorbanan manusia untuk melawan sunnatullahNya. Andaikan energi, biaya, waktu dan lainnya untuk mengejar gelar takwa maka Allah SWT yang memberinya jenis kelamin akan memuliakannya di dunia dan di akhirat. 

Rasulullah SAW bersabda:  " Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut" (HR. Abu Daud)

Dari Ibnu Abbas r.a, "Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki" (HR. Bukhari)

Dalam hadist lainnya, Ibnu Abbas meriwayatkan " Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki" (HR. Bukhari)

Abu Hurairah meriwayatkan, " Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki" (HR. Abu Daud)

Begitu tegas Islam menjaga identitas jenis manusia. Ketegasan ini adalah untuk kemuliaan martabat manusia itu sendiri. Allah SWT sebagai pencipta manusia, sudah seharusnya ciptaanNya berjalan sesuai ketentuan penciptanya 

Khatimah

Bersyukur manusia seharusnya. Dikarunia anatomi tubuh sempurna lengkap dengan kejelasan jenis kelaminnya. Bayangkan bagaimana andaikan penentu jenis kelamin itu tidak ada. Lewat mana manusia akan kencing dan bagaimana akan berkembang jumlah manusia. 

Fitrah kelaki-lakian dan keperempuan sudah melekat dengan jenis manusia saat dicipta. Maka menjalankan peran sesuai sunnatullah itulah yang menjadikan hidup nyaman, tentram, diridhoi Allah SWT. 

Bukankah pula tidak ada riwayat yang menjelaskan di alam kubur akan ditanya apa jenis kelaminmu? Apa gendermu? Lalu, kenapa manusia malah melawan kodrat jenis kelaminnya yang itu malah menjadi pemberat siksa kubur dan api neraka?

Wallahua'lam bis showwab.














 




Jumat, 12 Agustus 2022

Kuliah Murah Berkualitas, Adakah?

Hasil analisis kompas.id menyebutkan bahwa biaya kuliah diperguruan tinggi semakin melambung dan tidak diiringi kenaikan upah masyarakat. Disebutkan bahwa  bagi orang tua lulusan SMA jika menabung 20% dari penghasilan selama 18 tahun,  tidak akan cukup membiayai biaya kuliah anaknya, (https://www.kompas.tv/amp/article/313846/videos/biaya-kuliah-anak-makin-mencekik-menabung-18-tahun-pun-tak-mampu-menutup?page=all)

Inilah kondisi yang menghantarkan pada statement di sebagian masyarakat, bahwa kuliah itu mahal. Kata mahal ini terlontarkan karena ketidakmampuan ekonomi mereka menjangkau biaya kuliah. 

Adapun jika kondisi ekonomi mereka berkecukupan bahkan lebih, walau dipakai untuk membiayai pendidikan tinggi, dan kebutuhan lainnya, maka bagi klaster ini, tidaklah mahal kuliah di perguruan tinggi.

Prinsip Layanan Pendidikan yang Tergeser

Salah satu prinsip layanan pendidikan yang harus dilaksanakan oleh negara dan juga lembaga pendidikan swasta adalah mempermudah peserta didik untuk bisa mengakses pendidikan.

Prinsip ini diambil dari beberapa dasar. Pertama, pendidikan adalah amanat UUD. Mencerdaskan rakyat adalah kewajiban negara. Kedua, pendidikan adalah hak setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam pasal 31 UUD 1945. Ketiga, semua rakyat berhak mendapatkan keadilan sebagaimana sila ke lima pancasila, termasuk keadilan dalam bidang pendidikan.

Dengan dasar ini, negara yang berkesadaran akan menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan mampu dijangkau rakyatnya dimanapun dan siapapun. Demikian pula masyarakat yang berkesadaran untuk mengambil peran penyelenggaraan pendidikan, juga seharusnya bertindak demikian.

Tidak berhenti pada penyelenggaraan pendidikan, tetapi berlanjut pada penerapan prinsip mempermudah peserta didik untuk mengenyam pendidikan. Mempermudah bukan terbatas pada akses transportasi menuju tempat sekolah/kuliah semata, ada hal yang lebih mendasar dari itu adalah kemudahan pembiayaan pendidikan. Dari besarnya biaya pendidikan yang terjangkau hingga gratis, dan teknis pembayarannya.

Jika prinsip mempermudah pembiayaan ini diterapkan maka sebenarnya beasiswa itu tidak perlu ada. Karena negara telah memfasilitasi pendidikan dasar hingga perguruan tinggi untuk semua kelas ekonomi.

Prinsip mempermudah biaya pendidikan inilah yang telah tergeser. Pergeseran ini seiring dengan kapitalisasi pendidikan. Pendidikan dijadikan industri jasa yang menjual ilmu dengan rakyat sebagai user -pengguna- atau pelanggannya. Konsep inilah yang menjadikan sekolah ataupun kuliah seolah bertransaksi jual beli ilmu. Akhirnya, biaya pendidikan tidak semakin memudahkan orang tua. Tapi dari hari ke hari makin mahal, kian terpilih orang tua yang mampu mengkuliahkan anaknya.

Adapun beasiswa pada dasarnya bukanlah bagian mempermudah pembiayaan pendidikan. Karena faktanya beasiswa tidak untuk semua. Jadi, beasiswa malah menggalihkan perhatian yang seharusnya negara mampu menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bisa diakses semua kelas ekonomi menjadi kabur. Dan juga melanggengkan praktek kapitalisasi pendidikan.  

Pendidikan Tinggi Terjangkau Di Sistem Kapitalisme?

Jika mewujudkan pendidikan tinggi gratis itu menjadi utopis di sistem kapitalisme saat ini, maka bagaimana jika mewujudkan pendidikan tinggi terjangkau?

Pendidikan tinggi yang terjangkau artinya melibatkan orang tua untuk pembiayaan pendidikan. Dengan dana orang tua dalam menyekolahkan atau mengkuliahkan anaknya masih dalam cakupan kemampuan orang tua.

Pendidikan terjangkau ini bisa diwujudkan jika;

Pertama, mahasiswa tidak ditarik biaya persemester (UKT atau semisalnya), uang gedung dan tarikan lainnya. Mereka hanya membiayai kebutuhan kuliah dan hidup mereka. Dari buku kuliah, biaya peralatan kuliah yang bersifat untuk dimiliki masing-masing, biaya praktek mandiri, dan biaya hidup (ngekos dll).

Kedua, sistem ekonomi yang diterapkan negara bukan sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Sehingga seluruh kekayaan alam milik umum dan negara  dikelola sepenuhnya oleh negara dan dipergunakan hasilnya untuk rakyat. Baik diwujudkan dalam pembiayaan pendidikan, kesehatan, keamanan, pembangunan infrastruktur dan lainnya. Dengan kekayaan alam Indonesia di darat dan di laut jika dikelola dengan tepat, diprediksi akan mencukupi kebutuhan dalam negeri Indonesia.

Ketiga, para laki-laki sebagai penanggung nafkah dijamin mendapatkan pekerjaan. Apakah dengan dibukakan lapangan kerja atau diberi modal untuk membuka usaha, sehingga mereka berpenghasilan dan bisa mencukupi kebutuhan pokok keluarganya.

Keempat, tidak diterapkan konsep kapitalisme dalam mengelola perguruan tinggi.

Inilah diantara hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan pendidikan yang terjangkau untuk semua.

Pendidikan Tinggi dalam Islam Dijamin Terjangkau

Pendidikan tinggi sebagai salah satu jenjang pendidikan, maka sudah barang tentu akan difasilitasi dalam sistem Islam.  Penjenjangan hanyalah strategi untuk efektivitas ketercapaian tujuan pendidikan.

Prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan adalah melaksanakan amanah Allah SWT akan wajibnya setiap muslim untuk menuntut ilmu. Dan juga tuntutan bagi manusia untuk menggali ilmu pengetahuan dan juga teknologi sebagaimana Allah SWT cantumkan dalam QS Ar Rahman ayat 33. Allah SWT berfirman:

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا  ۚ لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطٰنٍ

"Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah)." (QS. Ar-Rahman 55: Ayat 33)

Sebagian tafsir menjelaskan maksud kekuatan (sulthan) pada  ayat tersebut adalah ilmu pengetahuan.

Dalam sejarah peradaban Islam diuraikan bagaimana umat Islam telah mendahului Barat dalam kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologinya. 

Keberhasilannya tersebut berkat keseriusan kekhilafahan Islam pada waktu itu dalam memfasilitasi pendidikan dan para ilmuwan. Maka wajar muncul para ilmuwan muslim dibidang kedokteran, fisika, arsitektur, geografi, astronomi, kimia, apoteker, geologi, gempa, topografi, meteorologi, matematika, mekanika dan lainnya. 

Pembiayaan pendidikan ditanggung sepenuhnya oleh negara dan masyarakat kaya (aghniya') diperbolehkan berwakaf dalam bidang pendidikan. 

Pembiayaan pendidikan ditanggung negara karena keberadaan negara dalam Islam adalah sebagai periayah (pengurus) urusan rakyatnya. Dan pendidikan merupakan kebutuhan primer rakyat. Sehingga negara berkewajiban untuk menyelenggarakannya. Dan tidak menjadikan pendidikan sebagai komoditi yang dikomersilkan. Adapun jika rakyat harus mengeluarkan biaya pendidikan, akan dibuatkan mekanisme yang memudahkan rakyat.

Pembiayaan pendidikan dalam sistem Islam diambil dari salah pos baitul mal. Pos baitul mal ada pos zakat yang hanya untuk 8 asnaf sebagaimana ketentuan dalam al Quran. Berikutnya pos pemasukan dari pengelolaan kekayaan milik umum dan negara, dan dari pos inilah pembiayaan pendidikan diambil. 

Ekonomi Islam yang juga anti krisis dan inflasi menjadikan perekonomian negara dan juga keluarga muslim stabil. Dan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok oleh negara menjadikan pendidikan bukan hal mahal dalam sistem Islam.

Inilah Islam, sebagai dien -agama- yang kamil sempurna. Diterapkan Islam secara kaffah maka berkah itu tidak berhenti di dunia, tapi hingga di akhirat. Sebaliknya berpalingnya umat Islam dari sistem Islam maka sebagaimana kondisi yang saat ini kita lihat. 

Khatimah

Pendidikan itu penting. Sehingga iqra', firman pertama yang diturunkan Allah SWT. Dengan membaca manusia dapat ilmu. Dengan membaca manusia tertunjuki. Dengan menuntut ilmu, Allah SWT memudahkan jalan hambaNya menuju surga. Lantas kenapa menempuh pendidikan tidak dimudahkan?

Wallahua'lam bis showwab. 



 



















Selasa, 19 Juli 2022

Kunci Penyelenggaraan Pendidikan, Apakah?

Pendidikan bukanlah bidang yang bersifat statis. Walau teori simple pendidikan adalah memproses peserta didik untuk menjadi baik bersifat tetap.

Bukti dari dinamisnya pendidikan diantaranya dilihat dari sudut perkembangan pendekatan, metode, teknik, dan taktik pembelajaran.  Manajemen kurikulum yang sering berubah, perkembangan sarana dan prasarana pendidikan,  manajemen lembaga pendidikan yang responsif demi meraih 'gelar' lembaga pendidikan profesional, berdaya saing internasional. 

Meskipun negara sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan, kenyataan nya, dari dahulu swasta/masyarakat ikut mengambil peran dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun, orang dulu memandang  menempuh pendidikan di sekolah negeri terasa 'wah', dan tidak bila sekolah di lembaga swasta.

Tapi anggapan itu sekarang telah berubah. Sekolah negeri tidak lagi menjadi incaran semua wali murid. Bahkan sekarang sekolah negeri harus bersaing dengan sekolah swasta untuk mendapatkan peserta didik. 

Fakta atas hal itu adalah kasus Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2022. Dikutip dari harianjogja.com (22/6/2022) bahwa 328 SD (negeri dan  swasta) di Gunungkidul kekurangan murid.  Melansir dari beritajatim.com (16/7/2022) bahwa di Kabupaten Ponorogo, SD Negeri yang memenuhi pagu ditiap tahunnya hanya SDN 1  Mangkujayan. Adapun dari radarjombang.jawapos.com (17/7/2022) disebutkan bahwa SDN 372 di Bawean muridnya hanya 6 anak.

Peserta Didik Dicari atau Mencari Sekolah?

Faktor yang beragam diungkap sebagai penyebab sedikitnya murid saat ini. Dari faktor kebijakan zonasi, wali murid yang lebih memilih sekolah bermutu, jarak sekolah dengan tempat tinggal siswa yang jauh, jarak antar sekolah yang berdekatan, hingga faktor keberhasilan Keluarga Berencana (KB) yang menyebabkan sedikitnya anak usia sekolah. 

Secara teori,  penyelenggaraan pendidikan adalah tanggungjawab negara.  Menjadi tugas negara untuk mencerdaskan anak bangsa. Ketika negara memahami hal ini maka pembangunan lembaga pendidikan berkualitas akan didirikan dimanapun itu untuk menampung semua anak usia sekolah. Demikian pula rakyat yang memahami wajibnya menuntut ilmu akan mencari lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka.

Berbeda jika kesadaran tanggungjawab pendidikan ini belum sempurna disadari oleh negara. Penyelenggaraan pendidikan akan asal ada sekolah. Demikian pula jika kesadaran  untuk berpendidikan ini belum dimiliki orang tua pun demikian calon peserta didik. Dalam kondisi ini sekolah harus mencari, membujuk mereka untuk bersekolah. 

Jadi, persoalannya bukan pada peserta didik itu dicari atau mencari sekolah, tapi bagaimana negara dan rakyat harus sama-sama memiliki kesadaran dan memahami fungsi dan kedudukannya masing-masing dalam pendidikan. Tidak ada kesadaran pendidikan maka tidak ada pendidikan.

Berbenah dari Masalah

Munculnya fenomena sekolah gulung tikar. Sebagaimana terjadi di tiga SMA/SMK swasta di Bali (bali.tribbunnews.com, 5/7/2022). Marger sekolah sebagaimana SDN III Pogalan tempat saya bersekolah. Kini SDN III Pogalan itu sudah tidak ada. Kebijakan zonasi yang plus minus, hingga menuai kritik dari masyarakat untuk dievaluasi lagi. Semua kondisi itu adalah buah dari suatu proses. 

Ada dinamika kesadaran pada masyarakat. Dulu, kesadaran masyarakat pada aspek sekolah umum. Kini, kesadaran itu berkembang. Pemahaman bahwa ilmu umum tidak cukup untuk mencerdaskan putra/putri mereka, maka dipilihlah oleh wali murid sekolah yang menampung dua keilmuan tersebut. Bermuncullah SDI Integral, boarding school, pesantren modern, dll. 

Kesadaran masyarakat akan kualitas pendidikan pun berubah. Dulu, ketika sekolahan jumlahnya belum banyak, belum juga variatif, tidak panjang pikir, orang tua memilihkan sekolah untuk putra/putri mereka. Adapun sekarang, mutu, kurikulum, program sekolah, output menjadi hal urgent dalam pertimbangan memilih sekolah. 

Kondisi ini, akhirnya  sampai memunculkan persaingan dalam mencari murid diantara sekolah-sekolah yang ada baik negeri maupun swasta. 

Dengan demikian, jika pendidikan bukanlah bidang yang bersifat statis, maka sudah seharusnya lembaga pendidikan berbenah. Berbenah bukan dalam rangka mendapatkan peserta didik. Tapi berbenah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bisa membentuk siswa beriman, bertakwa, paham urusan agamanya, memiliki kompetensi dibidang kehidupan dengan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan inovatif, murah dan mudah dijangkau untuk semua kalangan. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan juga swasta yang bermaksud berwakaf dan berjariyah lewat pendidikan.

Pendidikan dalam Islam 

Pendidikan dalam Islam dibangun dari kesadaran aqidah. Dimana Allah SWT memerintahkan kepada setiap hambaNya untuk berlapang-lapang dalam majelis Ilmu (QS. Mujadalah; 11). Allah SWT juga melarang hambaNya melakukan sesuatu tanpa ilmu (QS. Al Isra': 36)

Dan melalui sabda NabiNya disebutkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah). Adapun dari qaul sahabat dari Mu'adz bin Jabal ia berkata; ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu.

Dengan landasan inilah negara dalam sistem Islam menyelenggarakan pendidikan. Pun demikian rakyat semangat menempuh pendidikan. Jadi, kesadaran negara dan rakyat dibangun dari paradigma yang sama  yaitu aqidah Islam.

Inilah yang menjadikan negara dalam sistem Islam menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan primer rakyat yang harus dipenuhi negara. 

Sebagai contoh sebagaimana diterangkan oleh Prof. Dr. Raghib As Sirjani dalam bukunya Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia bahwa penyebaran sekolah-sekolah dalam peradaban Islam dimulai abad 4 H/abad 10 M. Dimana dimasa itu Eropa tidak mengalami pertumbuhan pengetahuan kecuali hanya bagian kecil. Bahkan masih dimasa kegelapan dan kebodohan diberbagai bidang.

Contoh sekolah yang telah dibangun dimasa kekhilafahan Islam sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Jubair bahwa di Baghdad ada sekitar 30 sekolah. Tidak ada sekolah kecuali dibangun seperti istana megah. Dimana sekolah yang paling besar adalah sekolah Nidzamiyah yang di bangun oleh Nidzam Al Mulk. Sekolah ini dibangun 457 H dan diperbarui tahun 504 H. Disekolah ini semua fasilitas terpenuhi. Guru langsung dipilih oleh Nidzam Al Mulk. Diantara gurunya adalah hujatul Islam Al Ghazali. Dana yang disiapkan Nizham Al Mulk setiap tahunnya adalah 300 ribu dinar (1 dinar= 4,25 gram emas). 

Selain sekolah yang dibangun oleh kekhilafahan, para penguasa, orang-orang kaya berlomba-lomba membangun sekolah dan mewakafkannya dengan segala sarana demi keberlangsungan sekolah dan penuntut ilmu. Banyak diantara mereka yang menjadikan rumahnya sebagai sekolah, menjadikan di dalamnya kitab-kitab, disertai pula gaji bagi yang menuntut ilmu. Saking banyaknya sekolah yang berdiri Ibnu Jubair pengembara asal Andalusia (Sekarang Spanyol) menyeru orang-orang Barat untuk pergi ke timur untuk menuntut ilmu. MasyaAllah. 

Khatimah

Kesadaran berpendidikan yang dibangun dari aqidah akan menghasilkan energi luar biasa bagi negara dan rakyat. Tidak lagi berfikir keuntungan duniawi dalam penyelenggaran pendidikan. Demikian pula rakyat tidak berfikir apa imbal balik dari dana pendidikan yang telah dikeluarkannya. 

Lahir dari kesadaran aqidah bahwa menyelenggarakan pendidikan tuntutan dari Allah SWT. Dan menuntut ilmu juga kewajiban dari Allah SWT. Sehingga tujuan penyelenggara pendidikan dan penuntut ilmu bukan tujuan kerja. Karena kerja sebagai bagian dari jalan riski seseorang itu status hukumnya berbeda dengan kewajiban menuntut ilmu.

Allah SWT berfirman;

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا قِيْلَ لَـكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَا فْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَـكُمْ ۚ وَاِ ذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَا نْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ ۙ وَا لَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."(QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 11)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَكَاَ يِّنْ مِّنْ دَآ بَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَا ۖ اللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِ يَّا كُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

"Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 60)

Kesadaran pendidikan yang lahir dari aqidah Islam ini, akan sulit ditemukan di sistem sekuler-kapitalisme saat ini. Karena sistem kapitalisme telah menjadikan pendidikan sebagai institusi jasa, dan membentuk pemahaman materialistis dalam diri peserta didik. 

Kesadaran shahih tentang pendidikan dan pengaturan sistem kehidupan yang benar hanya bisa terwujud ketika umat Islam kaffah dalam menjalankan seluruh syariahNya. Wallahua'lam bis showab. 


Jumat, 10 Juni 2022

Dag Dig Dug Tenaga Honorer!

Dag dig dug itu mungkin gambaran hati tenaga honorer yang tidak lulus PPPK ataupun CPNS 2021. Walau masih ada peluang mengikuti tes PPPK dan CPNS 2022/2023, jika ada tes.

Kecemasan mereka itu wajar, karena pada 31 Mei 2022 Menteri PANRB telah mendatangani Surat Edaran Menteri PANRB tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mencantumkan mulai 28 November 2023 tenaga honorer dihapus. 

Hingga Juni 2021, ada 410.010 tenaga honorer. Dan yang lulus PPPK dan CPNS 2021 sebanyak 51.492, sehingga tenaga honorer tersisa 358.518. Mereka ada yang bekerja sebagai tenaga pendidik, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh, dan tenaga administrasi. (https://m.republika.co.id/amp/rczb84318)

Hononer Ada Karena Apa?

Tenaga honorer adalah sebutan untuk mereka yang bukan PNS dan bukan PPPK.

Dikutip dari accurate.id, bahwa PP No 56 tahun 2012 menyebutkan, tenaga honorer adalah mereka yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lainnya di dalam pemerintahan agar bisa melakukan tugas tertentu di dalam instansi pemerintah. (https://accurate.id/lifestyle/honorer-adalah/). 

Mengutip penyataan Pakar Kebijakan Publik Unair bahwa proses seleksi dan rekrutmen tenaga honorer ini beragam karena masing-masing instansi menyelenggarakan. ( https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6119389/soal-penghapusan-tenaga-honorer-begini-saran-pakar-unair/amp)

Nah, kesimpulannya, tenaga honorer itu ada atau diangkat/direkut untuk menjalankan tugas/kerja yang jelas, akan tetapi gaji mereka tidak tentu, sesuai kemampuan instansi yang mengangkatnya.

Walau demikian, tenaga hononer ini biasanya tekun kerja karena ada harapan dilubuk hati yang dalam bisa diangkat menjadi PNS. Makanya, ada yang sampai tahunan atau puluhan tahun rela menjadi tenaga honorer.

Lantas, Kenapa di Hapus? 

Dikutip dari kompas.com, salah satu alasan penghapusan tenaga honorer adalah ketidakjelasan sistem rekrutmen yang berdampak pada pengupahan yang di bawah UMR. 

Langkah penghapusan honorer ini, tidak secara otomatis tenaga non ASN tidak dibutuhkan. Akan tetapi untuk pengangkatannya diusulkan melalui sistem outsourcing agar sesuai kebutuhan dan penghasilan layak sesuai UMR. ( https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/05/063100965/alasan-tenaga-honorer-dihapus--pengupahan-tidak-jelas-dan-kerap-di-bawah?)

Sistem Outsourcing, Belum Selesaikan Masalah

Tenaga honorer diangkat oleh instansi bukan dengan ketidakjelasan tugas kerjanya. Karena juga tidak mungkin instansi mengangkat pekerja kalau tidak membutuhkan tenaga pekerja tersebut. 

Jika masalahnya ada pada penggajian tenaga honorer yang tidak tentu/di bawah UMR, maka harusnya ini yang diselesaikan. Cukup mudah solusinya, yaitu membuat aturan/kebijakan gaji honorer yang harus sesuai UMR dan ketentuan jaminan kesejahteraan lainnya. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak berani membuat kebijakan mengaji honorer sesuai UMR? 

Berikutnya, jika sistem rekrutmen honorer oleh perinstansi penyebab penggajian tenaga honorer menjadi tidak sama/hingga dibawah UMR, maka solusinya dibuatkan aturan sistem rekut non PNS baik di instansi pusat dan daerah. Sehingga melindungi dari rekutmen tenaga yang tidak dibutuhkan juga.

Mekanisme ini akan menjadikan tenaga honorer yang sudah mengabdi tidak kehilangan pekerjaannya dan jika akan merekrut tenaga baru juga jelas tugas kerjanya.

Penyelesaian dengan outsourcing memang memudahkan pemerintah. Karena tidak sibuk melakukan rekrutmen, training pegawai, mengurusi pengajian dan lain-lainya. Tinggal menghubungi pihak perusahaan outsource/ perusahan penyedia tenaga outsourcing.

Pertanyaannya, akahkah tenaga pendidikan diambil dari perusahaan outsource? Padahal jumlah tenaga honorer pendidikan mencapai  ratusan ribu orang. Kalau kemudian mereka tidak terekut lewat tes PPPK dan CPNS, bagaimana dengan murid-murid yang selama ini mereka ajar? Akan terjadi penumpukan jam mengajar bagi guru PNS yang ditinggal guru honorer. 

Akankah efektif proses pembelajaran yang demikian? Akankah fokus, guru PNS mengajar melebihi maksimal jam mengajarnya? Akankah murid mendapatkan perhatian penuh dari gurunya? 

Padahal pendidikan adalah memproses sumber daya manusia negeri ini untuk menjadi sosok yang beriman, bertakwa, berkepribadian, berdaya saing dan menyiapkan mereka sebagai agent of change. Hal ini membutuhkan tenaga pendidik yang mukhlis, muhsin, profesional/kafaah, yang harus dijamin kesejahteraannya oleh negara. 

Adapun tenaga teknis mungkin masih bisa di atasi dengan outsourcing. Adapun tenaga kesehatan dan penyuluh akahkah juga dengan sistem outsourcing?

Bagi perusahan penyedia layanan outsourcing, tentu berita ini, baik bagi mereka. Tapi dapat dipastikankah bahwa tenaga honorer itu layak diterima perusahaan outsourcing untuk kemudian bisa kembali bekerja diinstasi selama ini mengabdi? Atau malah menambah pengangguran?.

Jadi, sistem outsourcing belum menyelesaikan masalah. 

Sistem Rekut Pegawai dalam Islam

Islam memiliki mekanisme rekutmen pegawai yang jelas.

Pertama, rekrutmen pegawai di dasarkan pada hukum syara'. Sehingga aqad antara pekerja dengan negara jelas. Pun demikian pula gaji dan kesejahteraan pegawainya. Aqad yang mendasarinya adalah aqad ijarah. Dengan rakyat yang terekut sebagai ajir dan negara sebagai musta'jir. Tidak ada istilah honorer yang ada adalah pegawai negara.

Kedua, negara merekut tenaga kerja sesuai kebutuhan. Sehingga pemerintah akan melakukan identifikasi tenaga yang dibutuhkan, jumlahnya berapa, kualifikasinya seperti apa. Baru kemudian dilakukan rekrutmen. 

Ketiga, jaminana gaji dan kesejahteraan pegawai terjamin. Rasulullah SAW bersabda; " Apabila salah seorang diantara kalian mengontrak tenaga seseorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya" (HR. Ad Daruquthni)

 Dalam hadist qudsi, Rasulullah SAW bersabda; " Allah SWT berfirman, " Ada tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti. Seseorang yang telah bersumpah atas nama Ku, lalu berkhianat; seseorang yang menjual orang merdeka, lalu menikmati hasil penjualannya; seseorang yang mengontrak pekerja lalu pekerja tersebut menunaikan transaksinya, sedangkan dia tidak memberikan upahnya" (HR. Bukhari)

Pegawai negara ini akan digaji dari Baitul Mal pos kepemilikan negara. Sumber income pos ini dari harta fa'i, ghanimah, jizyah, usyur dan lainnya. 

Nah, makanya masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz, pegawai digaji sampai 300 dinar. MasyaAllah. Jika perdinar sama dengan 4,25 gram emas, maka angka itu sama dengan 1.275 gram emas. Bila diuangan mengikuti harga emas sekarang tentu angkanya sangat besar.

Mekanisme demikian tentu tidak akan diterapkan oleh negara yang menganut sistem kapitalisme. Dimana sistem ini, hitung-hitungan untung rugi dengan rakyatnya.

Jadi, sistem rekut pegawai dalam Islam ini hanya bisa diterapkan oleh sistem pemerintahan Islam. Dimana, pemerintah dalam Islam ada untuk meriayah/mengurus rakyat sehingga rakyat sejahtera. Dan sistem pemerintahan dalam Islam itu disebut dengan khilafah. Adapun khilafah yang akan tegak kembali sebagaimana sabda Nabi SAW adalah khilafah 'ala minhajin nubuwah (khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian).

Khatimah

Kapan seorang kepala keluarga dikatakan sukses? Ketika ia mampu menghantarkan orang-orang yang di bawah kepemimpinannya merasakan kesejahteraan. Pun demikian pula dengan kepala negara. Jadi, sejahterakan hononer yang sudah mengabdi, sehingga mereka tidak terdzalimi.

Wallahua'lam bis showwab. 



 









Jumat, 06 Mei 2022

Berkerudung Ala Manusia Gurun, Nggak Open Minded?!

Salah satu pewancara peserta program Dikti yaitu Rektor ITK Budi Santoso Purwakartiko menulis pada akun medsosnya bahwa "Dua belas mahasiswi yang diwawancarai tidak ada satupun yang menutup kepala ala manusia gurun sehingga otaknya benar-benar open minded" (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220430172500-20-791837/itk-buka-suara-usai-rektor-sebut-hijab-peserta-lpdp-manusia-gurun)

Menuai Reaksi

Postingan terkait berita tersebut di web cnnindonesia.com  menuai puluhan komentar dari pembaca. MasyaAllah, komentar yang semoga saja bisa mengusir ion negatif yang menjadi penyebab profesor tersebut menulis seperti itu. Aamiin. 

Ilmu dan Amal

Tulisan adalah amal perbuatan yang mewakili amal lisan. Jadi seharusnya sebelum menulis dipikirkan, dicari dulu ilmunya.

Bukankah di dunia pendidikan kita diajari untuk "thinking before doing". Dan di dalam agama kita diajari "al ilmu qobla amal". Mungkinkah kaedah ini belum sampai pada seorang profesor?

Maybe yes maybe no. Al insanu mahalul khoto' wa nissyan -manusia tempatnya salah dan lupa-. Lantas, haruskah kita memaklumi tulisan tersebut?

Sikap Seorang Muslim

Membaca tulisan pak profesor tersebut, saya pribadi tidak terima. Karena itu ungkapan merendahkan, mengejek, mencaci seorang muslimah yang berkerudung. Seolah mengandung makna berkerudungnya muslimah di negara bergurun tidak boleh ditiru atau salah. Dan otak muslimah berkerudung tidak open minded. 

Tahukah kita, bahwa Nabi Muhammad Saw telah mengingatkan dalam sabdanya,

سباب المسلم فسوق و قتاله كفر

"Mencaci seorang muslim berarti ia fasik, membunuh seorang muslim -tanpa alasan haq- berarti ia kafir" (HR. Muslim).

Fasik, maukah label ini menempel pada diri kita? Tentunya orang beriman tidak mau. Terlebih, bagi orang fasik, Allah SWT sediakan balasan sebagaimana firmanNya:

وَاَ مَّا الَّذِيْنَ فَسَقُوْا فَمَأْوٰٮهُمُ النَّا رُكُلَّمَاۤ اَرَا دُوْۤا اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَاۤ اُعِيْدُوْا فِيْهَا وَ قِيْلَ لَهُمْ ذُوْقُوْا عَذَا بَ النَّا رِ الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تُكَذِّبُوْنَ

"Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir), maka tempat kediaman mereka adalah Neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, "Rasakanlah azab Neraka yang dahulu kamu dustakan."" (QS. As-Sajdah: Ayat 20)

Bagi seorang muslim, sudah ada panduan dalam menyelesaikan persoalan. Apapun masalahnya ada solusinya dalam Islam.

Terkait tulisan profesor tersebut maka:

Pertama, bagi profesor tersebut harus tabayun kepada umat Islam. Menjelaskan makna, maksud, tujuan dari tulisan tersebut apa?

Secara eksplisit orang memahami kalimat itu pemberian cap muslimah berkerudung ada yang ala manusia gurun dan tidak. Dan ini harus dijelaskan. Cacian ini tidak hanya menyinggung muslimah di Indonesia juga muslimah di negara yang bergurun. MasyaAllah, sungguh luas objek sasarannya. Selain itu juga menyudutkan muslimah berkerudung yang mengikuti gaya berkerudung dinegara bergurun tidak open minded.

Adakah makna-makna implisit dari kalimat tersebut? Harus profesor jelaskan. Seorang guru besar dengan ketinggian ilmunya, tidak jarang tulisannya multitafsir.

Berikutnya, pak profesor harus meminta maaf. Publik gaduh, marah, indikasinya bisa dilihat diberbagai komentar yang ada. Khususnya meminta maaf pada objek yang disindir dari tulisan tersebut. Bahkan hingga ke muslimah di negara-negara bergurun. 

Dalam kitab Riyadhus Shalihin dijelaskan bahwa taubat dari kesalahan/kemaksiatan yang berhubungan manusia, maka bisa ditebus atau ditaubati dengan 4 hal. Yaitu meninggalkan perbuatan salah tersebut, menyesali atas perbuatan salah tersebut, berjanji tidak mengulangi kesalahan tersebut selamanya dan mengembalikan hak yang diambil/dilanggar dari saudaranya atau meminta maaf atau meminta keridhoannya. 

Kedua, bagi umat Islam khususnya para muslimah, yang harus dilakukan adalah meminta klarifikasi atas tulisan profesor tersebut. Tidak ditelan begitu saja. Bukankah Allah SWT mengingatkan dalam firman Nya

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنْ جَآءَكُمْ فَا سِقٌ   بِۢنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْۤا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا   بِۢجَهَا لَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat: Ayat 6)

Selanjutnya, melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan menjelaskan ketidaktepatan atas hal yang dilakukan profesor tersebut. Sehingga umat selamat dari ajaran yang tidak benar. Dan terlindungi dari mengikutinya atau mendukungnya. 

Terakhir, bila profesor tersebut mengakui kesalahannya dan meminta maaf, maka mari kita maafkan dan kita doakan semoga beliau dan seluruh umat Islam selalu dalam hidayah dan taufiqNya. Aamiin.

Khatimah

Sungguh, sama bahayanya antara orang bodoh dan orang pandai yang tidak bertakwa. Bagaimana menjadi orang bertakwa (muttaqin), sedangkan takwa itu  bukan menjadi tujuan dalam sistem pendidikan sekuler-kapitalisme?. Lantas, masihkah negeri ini mau mempertahankan sistem sekuler-kapitalisme?

Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai hamba yang bertakwa walau belum hidup dihabitatnya seorang muslim, yaitu hidup dalam sistem Islam. Aamiin aamiin yaa mujiibassaailiin.

Wallahua'lam bis showwab.









Senin, 27 Desember 2021

Kamu Itu Cerdas!

Menjadi cerdas pasti menjadi keinginan kita semua. Cerdas dalam definisi Islam bukan mereka yang rapotnya berjajar angka 100, atau yang bertanda huruf kapital A+. Orang cerdas adalah orang yang mampu menyiapkan sebaik-baik bekal dan sebanyak-banyak bekal untuk kehidupannya yang kekal abadi. Yakni kehidupan di akhirat.

Cerdas dalam menyiapkan bekal untuk kehidupan akhirat bukan berarti sholat terus tanpa mengurusi urusan lainnya ya. Malah kalau menyengsarakan diri dengan tidak mengurusi apa yang menjadi kebutuhannya di dunia, tidak cerdas namanya. Jadi yang cerdas adalah menjadikan seluruh aktivitasnya bisa bernilai ibadah. Sehingga semua yang dikerjakannya bisa menjadi bekal menuju kehidupan di akhirat. 

Nah, kecerdasan demikian ini disebut dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini menjadi pondasi untuk kecerdasan-kecerdasan lainnya. Sebagaimana di sebutkan oleh Masrukhul Amri bahwa kecerdasan dikategorikan menjadi 7 kecerdasan. 

1. Kecerdasan Linguistik

Wujud dari kecerdasan ini adalah kemampuan dalam bercerita, berceramah, memberi informasi, menyusun kata-kata, menafsirkan, menerjemahkan, berdebat, berdiskusi dan lain-lainnya. Jika kita memiliki kemampuan sebagaimana disebutkan berarti kita memiliki kecerdasan linguistik. Nah, kecerdasan ini bisa di implementasikan sebagai editor, penerjemah, jurnalis, pengajar bahasa, sekretaris dan lainnya.

2. Kecerdasan Logis-Matematis

Penampakan dari kecerdasan ini adalah kemampuan mengurus keuangan, melakukan estimasi, melakukan kegiatan akutansi, berhitung, melakukan kalkulasi, audit, mengklasifikasi dan lainnya. Apabila kita memiliki kemampuan tersebut bisa diimplementasikan untuk mengambil profesi auditor, akuntan, analis komputer, pendidik MIPA, ahli statistic dan lainnya.

3. Kecerdasan Spasial

Adapun kecerdasan spasial terkait kemampuan membayangkan, menciptakan penyajian visual, melukis, memberi ilustrasi, membuat dekorasi, fotografi, membuat film dan lainnya. Apabila dalam diri kita ada ciri-ciri tersebut maka dapat di aplikasikan dengan bekerja sebagai arsitek, desainer interior, fotografer, seniman, insinyur, perencana kota dan lainnya.

4. Kecerdasan Musikal

Kecerdasan musikal terkait kemampuan bernyanyi, memainkan alat musik, melakukan improvisasi, mengkritik gaya musik, membuat aransemen, menjadi dirigen, dan lainnya. Nah, untuk yang memiliki kecerdasan musikal ini bisa diimplementasikan dengan menjadi musikus, ahli terapi musik, pencipta lagu, guru musik, dirigen paduan suara dan lainnya. 

5. Kecerdasan Kinestetik Jasmani

Kecerdasan kinestetik jasmani berupa ketrampilan menyeimbangkan, berjalan, berlari, membuat kerajinan tangan, ikut dalam proses manufaktur, mendramatisi, bermain, menari, olahraga dan lainnya. Profesi yang bisa dipilih bagi yang memiliki kecerdasan ini diantaranya ahli terapi fisik, aktor, ahli mekanik, pengrajin, pendidik mapel penjas, atlet, tukang jam dan lainnya.

6. Kecerdasan Antarpribadi

Kecerdasan ini berupa ketrampilan melayani, berkomunikasi, berdagang, memberi nasehat, meyakinkan, memberi motivasi, menginspirasi, berlindung, melakukan konfirmasi, wawancara dan lainnya. Adapun profesi yang bisa dipilih bagi yang memiliki kecerdasan ini diantaranya sebagai manager, kepala sekolah, ahli sosiologi, psikolog, humas, pemandu perjalanan dan lainnya.

7. Kecerdasan Intrapribadi

Kecerdasan Intrapribadi adalah kemampuan dalam melaksanakan keputusan, bekerja sendiri, mengambil inisiatif, merencanakan, mengorganisasi, bermeditasi, memahami diri sendiri, dan lainnya. Adapun profesi yang bisa dipilih sebagai psikolog, ahli terapi, pembimbing dan penyuluh, pengusaha, perencana program dan lainnya.

Dari sekian jenis kecerdasan yang telah dibahas, mana yang ada pada diri kita? Sadarkah kita selama ini akan kecerdasan yang kita miliki tersebut? Bila dengan membaca tulisan ini, kita tersadarkan, maka tindak lanjutnya adalah gunakan dan asah kecerdasan tersebut. Sehingga kita bernilai guna bagi diri dan orang lain. Bukankah sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain? Tapi, jangan menabrak syariat Islam dalam mengimplementasikan kecerdasan ya!

Jadikan spiritual quotient (kecerdasan spiritual) sebagai pijakan dari sekian kecerdasan yang kita miliki. Sehingga implementasi dari semua kecerdasan tersebut bernilai ibadah dan menjadi amal shalih sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat. Aamiin. Semoga tulisan ini bermanfaat. Aamiin.


Selasa, 16 Februari 2021

Indonesia Butuh Menteri Bervisi Akhirat

SKB 3 menteri tentang Penggunaan Seragam Sekolah dan Atribut di Lingkungan Sekolah, hangat diperbincangan publik. SKB tersebut intinya sebagaimana di sampaikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim bahwa hal untuk memakai atribut keagamaan itu adalah milik individu guru, murid dan orang tua siswa (republika.co.id, 4/2/2021). Jadi, satuan pendidikan ataupun pemerintah daerah tidak boleh memaksakan seragam dengan atribut keagamaan ataupun tanpa atribut keagamaan kepada pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik.

Kekuasaan Sekuler vs Islam

Sekulerisme paham yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Salah satu produk dari sekulerisme adalah memberikan kebebasan penuh kepada individu untuk menentukan perbuatannya. Sehingga orang lain tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusan yang dianggap asasi. Seperti dalam hal beragama, berpenampilan, berpendapat, kepemilikan dan lainnya. Termasuk penguasa juga haram ikut campur dalam hal tersebut.

Lain hal nya dalam Islam. Allah 'azza wa jalla berfirman, 

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya" (QS: Al Maidah: 2)

Rasulullah SAW bersabda: " ...Muslim yang satu adalah bersaudara dengan muslim yang lain..." (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah merubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka hendaklah merubah dengan lisannya, maka jika tidak mampu maka hendaknya merubah dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman" (HR. Muslim No 49)

Berdasar dalil al Quran dan Al Hadist di atas, jelas bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan individualisme. Islam menghendaki umatnya menjadi umat yang  bertakwa. Saling taawun -tolong menolong- dalam kebaikan. Dan setiap perintah Allah SWT dan RasulNya adalah kebaikan. Termasuk berjilbab dan berkerudung. 

Melalui sabda NabiNya, seseorang yang ditangannya ada kekuasaan untuk menggunakan kekuasaannya itu untuk mencegah kemungkaran. Dan setiap pelanggaran syariat Islam adalah kemungkaran. Termasuk membebaskan individu muslim memilih berpakaian sesuai ajaran agamanya ataukah tidak. Yang seharusnya dilakukan penguasa/pemangku kebijakan adalah membuat peraturan yang menjadikan hukum-hukum Allah SWT terterapkan oleh setiap individu muslim. Bukan malah melemahkan ketaatan mereka dengan dalih kebebasan, HAM, toleransi dan keberagaman.

Jadi, tidak membuat SKB 3 menteri tentang Penggunaan Seragam Sekolah dan Atribut di Lingkungan Sekolah, jalan yang menyelamatkan. Karena keberadaan SKB itu representasi ketundukan kepada paham sekuler-liberal. Sedangkan sekuleriame dan liberalisme bertolakbelakang 180 derajat dengan Islam. 

Kekuasaan dan Akhirat

Kesuksesan seseorang dilihat dari banyaknya bekal yang disiapkan untuk kehidupan abadi -akhirat-. Dari Abu Ya'la yakni Sadad Ibn Aus ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengintropeksi dirinya dan suka beramal untuk kehidupannya setelah mati. Adapun orang lemah ialah orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya dan berharap kepada Allah dengan harapan kosong" (HR. Tirmidzi)

Dengan dasar tersebut, bagi seorang muslim, profesi apapun harus dikaitkan dengan akhirat. Termasuk penguasa, baik presiden, menteri, gubernur, kepala sekolah dan lainnya. Jika seorang penguasa berorientasi akhirat, setiap kebijakan yang dibuatnya akan sejalan dengan ketentuan syariat. Bukan ketentuan dengan standard manusia. Tapi standard syara' pedomannya. Dan penguasa yang demikian akan mengajak orang-orang yang dipimpinnya meraih keselamatan dunia akhirat. 

Penguasa yang akhirat oriented akan amanah, menjalankan fungsi kekuasaan di dunia tapi visi tiap deferensi aturannya ditujukan untuk keselamatan hingga di akhirat. Inilah penguasa yang selamat dan menyelamatkan. Wallahua'lam.

Kamis, 28 Januari 2021

Kurikulum Mengikuti Dunia Industri, Tepatkah?

Diwaktu pandemi seperti saat ini, tidak salah bila pada bertanya nasib pendidikan. Bahkan mereka bertanya-tanya mau jadi apa setelah lulus sekolah. Kekhawatiran yang menjadi indikasi orientasi sekolah saat ini. Untuk jadi apa, mau kerja dimana?. 

Pendidikan memproses manusia -peserta didik-  Memproses manusia berarti membutuhkan beberapa variabel. Diantaranya; kurikulum, pendidik, sarana prasarana, pembiayaan, layanan dan lainnya. Semua variabel bekerja sistemik memproses peserta didik sesuai tujuan pendidikan. 

Tujuan pendidikan yang tercantum dalam Sisdiknas seiring waktu mengerucut pada satu tujuan, yakni mematchingkan output pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Hal ini bisa disimpulkan dari program Kemendikbud yakni  mengawinkan pendidikan vokasi dengan DUDI.

Ditjen Vokasi Kemendikbud melakukan perombakan kurikulum SMK demi tercapainya program link and match. Ada 5 perubahan: pertama, mata pelajaran yang bersifat akademik dan  teori akan dikontekstualkan. Misal mapel matematika menjadi matematika terapan. Kedua, Prakerin minimal 1 semester dan bisa lebih. Ketiga, adanya mata pelajaran project base learning dan ide kreatif dan kewirausahaan. Keempat, SMK menyediakan mata pelajaran pilihan selama 3 semester. Kelima co curricular wajib di tiap semester berupa membangun desa dan pengabdian masyarakat (medcom.id, 8/1/2021)

Bahaya Kurikulum Menyesuaikan DUDI

Bahaya mendasar dari penyesuaian kurikulum dengan dunia industri adalah bergesernya orientasi dan tujuan pendidikan. Pendidikan diselenggarakan untuk mendidik akal dan perilaku manusia. Memberikan bekal ilmu dan pengalaman belajar guna mengarungi kehidupan. Yang dengannya manusia bisa selamat dunia akhirat. Merekut peserta didik untuk dijadikan ilmuwan, berkepribadian mulia, memiliki soft dan hard skill. 

Pendidikan menjadi kewajiban negara untuk menyelenggarakannya. Sebagaimana wajib nya negara menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Negara berupaya Keras menyiapkan lapangan kerja dengan menutup pengelolan SDA oleh asing dan swasta. Sehingga luas terbuka lapangan kerja untuk rakyat. Jadi tidak mengikuti kebutuhan Dudi hingga merombak kurikulum.

Jadi, merombak kurikulum demi mengawinkan pendidikan vokasi dengan DUDI akan mempertajam sekulerisasi pendidikan. Mata ajar agama porsinya semakin minimal dan kurang diperhatikan siswa. Mindset siswa, jadi berubah. Sekolah yang seharusnya untuk menuntut ilmu menjadi untuk kerja. Padahal sukses seseorang tidak cukup diukur dari bekerja atau tidak bekerja. Terlebih bekerja disistem kapitalis saat ini fokus untuk kepentingan pribadi. Sehingga banyak orang bekerja tapi tidak peduli dengan problem masyarakat, bangsa dan negara?. Orientasi sekolah untuk dunia semata, sehingga implementasi agama dikesampingkan. 

Orientasi Pendidikan dalam Islam

Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk peserta didik yang beraqidah Islam, bersyakhsiyah Islam dan memiliki skill bekal mengarungi kehidupan. Sehingga pendidikan diorientasikan mencetak peserta didik yang bahagia dunia akhirat. Berilmu dan menguasai ketrampilan dibidangnya.

Negara dalam sistem Islam akan menyediakan lapangan kerja bagi setiap rakyat yang berkewajiban bekerja yakni kaum laki-laki. Dan negara tidak sibuk dengan korporasi swasta dan asing. Karena kekayaan alam tidak boleh dikuasai dan di kelola swasta dan asing. Jadi negara totalitas melayani dan mengayomi rakyat. 

Dengan mekanisme demikian, peserta didik menjadi tenang dalam belajar. Bisa fokus dalam menimba ilmu. Hingga ia lulus layak meraih gelar ilmuwan yang siap berkontribusi bagi agama dan negara. Mewujudkan peradaban gemilang yang diberkahi Allah 'azza wa jalla

 أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (QS. al A'raf: 96) Wallahua'lam bis showwab.

Senin, 29 Juni 2020

UKT DIRINGANKAN ATAU DIGRATISKAN?

Situasi pandemic covid 19 seperti saat ini, menjadi sarana uji sistem manajerial pendidikan yang selama ini diterapkan negara. Manajerial yang baik akan nampak mutunya disaat pendidikan dilanda konflik. Masih bisa  menjamin keberlangsungan pendidikan ataukah tidak?. Bisa menjaga mutu pendidikan ataukah tidak?. Akan nampak pula totalitas layanan pendidikan yang diselenggarakan negara.

Turunkan UKT

Pandemi corona menghantarkan kepada kebijakan pembelajaran daring/pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran daring meminta sebagian aliran dana mahasiswa berpindah. Biasanya dipakai untuk biaya transportasi menjadi biaya beli pulsa.  Yang itu berarti mahasiswa mengalami double pembiayaan. Pertama biaya UKT telah terbayarkan. Kedua, biaya untuk membiayai pembelajaran daring.  Belum lagi biaya mengerjakan tugas dan lain-lainnya.

Sebenarnya bagi tenaga pendidik pembelajaran daring inipun juga menjadi beban. Akan tetapi beban itu dirasa tidak seberapa. Lain halnya dengan  mahasiswa dimana mayoritas masih menengadahkan tangan kepada ke dua orang tuanya.

Maka adalah wajar jika mahasiswa menuntut UKT mereka diturunkan. Sebagaimana dilansir dari radarmalang.jawapos.com dimana mahasiswa UB menutut penuruan uang UKT. Mereka mempertanyakan penggunaan uang UKT selama masa PJJ. Tuntutan penurunan UKT sebenarnya telah terdengar sejak pandemi Corona dari mahasiswa diberbagai kampus.

Keluhan mahasiwa tersebut akhirnya dijawab oleh kemendikbud dengan menganggarkan 1 trilyun rupiah untuk bantuan UKT yang diutamakan untuk mahasiswa PTS. Adapun untuk mahasiswa PTN kemendikbud menyiapkan Permendikbud no 25 tahun 2020 dimana mahasiswa yang memiliki kendala finansial selama covid 19 akan diberikan keringanan UKT (kompas.com, 21/6/2020). Sebelumnya plt. Dirjen Dikti telah meminta kampus untuk mensubsidi pulsa kepada mahasiswa (kompas.com, 2/6/2020)

Pandemi Menjadi Jalan Kuliah Gratis?

UKT adalah dana mahasiswa yang digunakan untuk membiayai operasional kampus. Bagi kampus UKT menjadi salah satu sumber utama pemasukan PT. Meskipun sudah ada kucuran dana dari pemerintah. Namun jumlahnya terbatas, sehingga tidak cukup mendanai kebutuhan kampus. Oleh karena itu kampus menarik UKT dan pembiayaan lain dipikulkan kepada mahasiswa.

Adanya  kebijakan kemendikbud untuk mensubsidi UKT  tentu berpengaruh terhadap pendapatan kampus. Akan tetapi seharusnya, teori penjaminan penuh atas penyelenggaraan pendidikan adalah  hingga kemendikbud mengenolkan UKT. Baik dimasa pandemi Corona ataupun tidak. Dengan demikian semua lapisan bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Bahaya yang harus dipahami ketika negara tidak totalitas menanggung pendanaan pendidikan tinggi adalah terjadinya komersialisasi pendidikan. UKT menjadi salah satu jalannya disamping iuran lain yang harus ditanggung mahasiswa. Inilah yang menjadikan biaya kuliah mahal dan banyak lulusan SMA sederajat tidak mampu melanjutkan ke jenjang PT. Dan kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan tidak tereksplorasinya potensi mereka, terbatasnya wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan daya saing.

Dengan demikian, harus ada upaya serius dari negara untuk mengelola sumber-sumber pemasukan negara. Keterlibatan asing dalam pengelolan SDA harus dihentikan. Mengubah mindset dari fasilator menjadi pengurus/pelaksana/periayah rakyat. Sehingga rakyat bukan menjadi sumber dana dengan negara penyedia fasilitasnya. Akan tetapi negara sebagai penyedia layanan pendidikan dengan rakyat sebagai pihak yang dilayani. Inilah jalan menuju pendidikan tinggi yang berkwalitas dan gratis.

Meneladani Sistem Pendidikan Islam

Ghiroh -semangat- menuntut ilmu dimasa Peradaban Islam sangat tinggi. Hal itu karena menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Sehingga  negara harus menjamin terlaksanakannya perintah Allah SWT tersebut. Dengan menyelenggarakan pendidikan, memfasilitasi, mendanai pendidikan atau mengratiskannya untuk semua.

 Digambarkan oleh Raghib as Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia bahwa dimasa Peradaban Islam para khalifah dan rakyat sama antusianya untuk menuntut ilmu. Banyak sekolah didirikan, perpustakaan, lembaga riset, hingga organisasi keilmuan.  Kesejahteraan bagi ilmuwan dan pendidik juga dijamin negara. Masa Sultan Salahuddin al Ayyubi telah mengaji syaikh Najmudin al Habusyani 40 dinar/bulan (jika 1 gram emas 500rb, 1 dinar =4,25 gram, maka 40 x 4,25 x 500.000 = 85 juta/bulan). Besaran gaji yang fantastis.

Maka tidak heran dimasa peradaban Islam bermunculan para ilmuwan. Seperti Az Zahrawi penemu teori bedah, Ibnu Sina bidang kedokteran, al Khazani ahli fisika, al Khawarizmi ahli matematika, Abu Yusuf al Kindi ahli mata, ulama fiqih, hadist dan lain-lain.

Inilah gambaran pendidikan dimasa peradaban Islam. Pendidikan yang dibangun dari Aqidah Islam. Dimana pendidikan dipandang sebagai bagian bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT. Sehingga negara memberikan jaminan penuh atas pelaksanaan pendidikan. Wallahua'lam bis showab.

Sumber:
https://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2020/06/28/72598/ukt-diringankan-atau-digratiskan/

Dipun Waos Piantun Kathah