Jika negara memandang pendidikan adalah hal pokok/wajib, maka negara pasti menyelenggarakan pendidikan. Jika negara memandang rakyatnya harus berpendidikan maka negara akan mengusahakan bagaimana semua rakyatnya bisa mengenyam pendidikan. Negara memandang dirinya sebagai pengurus dan pelayan rakyat.
Pandangan negara terhadap pendidikan dan rakyatnya ini adalah hal yang mendasar. Jika hal mendasar ini belum benar, maka kebijakan turunannya bisa kurang benar hingga salah kebijakan.
Adapun pejabat negara harus menjalankan fungsi negara sehingga pandangannya atas pendidikan dan rakyat bukan pandangan personal tapi pandangan negara.
Terkait UKT
UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan, dalam pandangan penulis tidak perlu ada. Artinya ditiadakan saja. UKT itu bentuk ketidakadilan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Seolah memang manusiawi saat orang tua mahasiswa berpenghasilan rendah maka dikenai UKT rendah, dan saat orang tua mahasiswa berpenghasilan tinggi dikenai UKT tinggi.
Nah pertanyaan, apakah layanan dan fasilitas mahasiswa yang ber-UKT tinggi berkelas VIP? Semisal diberi buku kuliah gratis, bebas biaya KKN, mendapat layanan khusus terkait peminjaman buku di perpustakaan dan lain-lainnya?
Kalau ternyata yang berUKT tinggi, buku tetap beli sendiri, biaya KKN, biaya praktek dan lain-lainnya biaya mandiri, lantas uang UKT tinggi itu digunakan apa oleh kampus negeri?
Disinilah perlunya evaluasi terkait mana saja pembiayaan yang harus ditanggung negara dan mahasiswa. Sehingga tidak muncul hal lucu semisal uang UKT mahasiswa di PTN untuk menggaji tenaga pendidik atau kependidikan.
Dengan pembagian mana-mana yang harus ditanggung negara menjadikan penganggaran negara atas pendidikan tinggi jelas dan kampus tidak tersibukkan dengan kegiatan penggalangan dana. Demikian juga orang tua mahasiswa tidak terbebani dengan biaya kuliah yang ternyata untuk membiayai gaji pegawai kampus atau lainnya yang itu bukan tanggungjawab orangtua mahasiswa untuk membiayainya.
Lantas Bagaimana Jika UKT Tidak Ada?
Jika UKT tidak ada maka biaya kuliah mahasiswa sesuai dengan perincian hal apa saja yang harus dibiayai mahasiswa selama masa perkuliahannya. Kampus bisa merinci setiap semester apa saja kegiatan yang harus didanai mahasiswa. Dan itu menjadi biaya kuliah persemester bagi mahasiswa.
Adapun bila kampus negeri masih membutuhkan uluran tangan dari orangtua mahasiswa, semisal dalam pembangunan gedung kampus, itu bersifat opsional saja, boleh menyumbang boleh tidak, dan juga tidak ditentukan besarnya, karena penyelenggaraan pendidikan (semisal membangun gedung) itu tanggung jawab negara.
Dengan demikian, biaya kuliah sama untuk semua mahasiswa. Dengan layanan dan fasilitas yang sama juga. Dan tentunya, dibuat transparan sehingga mahasiswa mengetahui untuk apa saja uang yang mereka bayarkan ke kampus di setiap semesternya itu.
Adapun jalur beasiswa, negara harus tetap membukanya. Beasiswa prestasi sebagai penghargaan atas prestasi sehingga kedepan diharapkan bisa berkontribusi kepada negara. Dan juga beasiswa bagi keluarga tidak mampu untuk membuka peluang bagi semuanya untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Tirulah Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam
Islam menempatkan menuntut ilmu sebagai kewajiban. Setiap individu terkena kewajiban untuk menuntut ilmu. Secara personal individu muslim harus berusaha untuk menuntut ilmu. Dan secara kenegaraan, negara wajib menyelenggarakan pendidikan sehingga seluruh rakyatnya bisa berpendidikan setinggi-tingginya.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim" (HR. Ibnu Majah).
Dalam buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Raghib As Sirjani dikisahkan bahwa para orang tua sangat perhatian terhadap putra-putrinya. Bahkan khalifah Harun ar Rasyid (berada di Baghdad) membawa kedua anaknya yaitu Amin dan Ma'mun untuk mendengarkan kitab al Muwatha' Imam Malik di Madinah al Munawarah.
Adapun pembiayaan pendidikan dalam sejarah peradaban Islam, ada yang ditanggung negara, ada yang secara personal mewakafkan hartanya untuk pendidikan, dan ada juga biaya yang dikeluarkan peserta didik.
Khalifah Salahudin al Ayyubi telah membangun sekolah Shalahiyah, Nashiriyah dan Qamhiyah. Diceritakan bahwa Syaikh Najamuddin al Habusyani yang mengajar di sekolah al Shalahiyah diberi gaji 40 dinar per bulan, 10 dinar sebagai penanggungjawab wakaf dan enam puluh liter roti setiap harinya serta aliran sungai Nil setiap harinya.
Di Andalusia, Khalifah al Umawi al Hakam kedua memberikan wakaf sebanyak 27 sekolah untuk mengajar anak-anak orang miskin secara gratis. Sedang penguasa Maroko membangun sekolah khususnya di daerah Suez sekitar empat ratusan madrasah.
Al Halam menukil dari Bitrus al Bastani mengatakan bahwa dunia Arab ketika itu memiliki sekolah yang bertabur ilmu pengetahuan, tersebar luas dari Baghdad sampai Cordova. Terdapat 17 universitas. Di Universitas cordova terdapat perpustakaan dengan 600 jilid buku. Mereka belajar ilmu sharaf, nahwu, syair, biologi, matematika, kedokteran, kimia dan lain-lainnya.
Adapun orang-orang kaya banyak diantara mereka yang menjadikan rumahnya sebagai sekolah, menjadikan di dalamnya kitab-kitab disertai pula dengan gaji bagi yang menuntut ilmu di sekolah tersebut. Hingga Ibnu Jubair pengembara asal Andalusia mengemukakan apa yang dilihatnya di timur lantaran banyaknya sekolah dan tingginya kebutuhan yang diberikan oleh orang berwakaf, menyeru orang-orang Barat untuk sekolah di timur khususnya Damaskus.
Dari cuplikan di atas diperkirakan sangat kecilnya biaya yang dikeluarkan secara personal oleh seorang penuntut ilmu. Karena semua fasilitas pendidikan disediakan negara atau pewakaf. Bahkan penuntut ilmu dicukupi kebutuhannya.
Dapat diambil pelajaran betapa jelas pengaturan pembiayaan pendidikan dalam sistem pendidikan Islam. Pengaturan yang lahir dari kejelasan posisi masing-masing, antara negara dan penuntut ilmu. Sehingga penuntut ilmu tidak dibebani dengan biaya yang itu bukan menjadi tanggungjawabnya. Dan negara juga tidak lepas tangan dari apa yang menjadi tanggungjawabnya.
Khatimah
Sesungguhnya pengaturan akan pendidikan menjadi cermin bagi bangsa itu dalam memandang ilmu, pemuliaannya kepada ulama, ilmuwan dan para penuntut ilmu.
Penulis ingat statement seorang dosen saat masih kuliah dulu, "Jangan persulit orang untuk menuntut ilmu". Dan statement ini, pantas jadi renungan bagi pemangku kebijakan pendidikan.
Wallahua'lam bis shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar