يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Minggu, 16 Juni 2024

Maka Sholatlah Untuk Tuhanmu dan Berkurbanlah

Hari Raya Idul Adha mengingatkan kita dengan Quran Surah Al Kautsar. Ayat ke-2 surah tersebut berisi seruan untuk berkurban. Allah subhaanahu wa ta'ala berfirman:

إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ

"Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak."

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ

"Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah."

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ

"Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus." (QS. Al-Kausar 108: Ayat 1-3)

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata, "Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam di belakang kami, tiba-tiba beliau tertidur sejenak. Setelah itu beliau terbangun seraya menyunggingkan senyuman. Kami bertanya kepada Beliau, "Wahai Rasulullah apa yang membuat engkau tersenyum?"". 

Beliau menjawab, "Telah turun satu surah untuk ku." Kemudian beliau membaca surah al Kautsar hingga akhir surah. Setelah itu beliau bersabda, "Apakah kalian tahu telaga Kautsar itu?"  

Kami menjawab, "Allah dan RasulNya lebih mengetahui." 

Beliau bersabda, "Al Kautsar adalah sebuah telaga yang terdapat di surga. Telaga itu dijanjikan Tuhan akan diberikan kepadaku. Padanya terdapat banyak sekali kebaikan. Yaitu sebuah kolam yang menjadi tempat kembali umatku pada hari kiamat kelak. Perkakasnya sejumlah bintang-bintang yang berterbaran di langit, sehingga seorang hamba akan bergetar melihatnya. Lalu aku (Rasulullah) berkata, "Tuhanku, itu adalah dari umatku". Allah berfirman, "Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah sepeninggalmu" (HR Muslim, Abu Dawud, Nasa'i).

Adapun firman Allah subhaanahu wa ta'ala فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ (Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah), maksudnya sebagaimana Allah subhaanahu wa ta'ala telah memberikan kebaikan yang banyak (dunia akhirat) dan juga telaga Kautsar, maka murnikanlah shalatmu demi Tuhanmu, baik sholat fardhu maupun sholat sunnah. Sembahlah Tuhanmu semata jangan menyekutukanNya dengan sesuatupun. 

Ikhlaskan juga kurbanmu, sembelihlah atas nama Tuhanmu. 

Adapun menurut Ibnu Jarir makna ayat tersebut, jadikanlah sholatmu seutuhnya untuk Allah subhaanahu wa ta'ala semata, bukan untuk tuhan-tuhan yang lain. Demikian pula hewan kurbanmu, jadikanlah untuk Allah subhaanahu wa ta'ala semata dan bukan untuk berhala-berhala. Jadikanlah itu semua sebagai tanda syukurmu atas kemuliaan dan kebaikan yang telah dikaruniakan kepadamu, tidak ada sesuatu yang sebanding dengan apa yang telah diberikannya.

Adapun ayat إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ (Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus) maksudnya, mereka yang membenci engkau (Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam) dengan hidayah dan kebenaran yang engkau sampaikan, bukti nyata dan cahaya yang engkau sandang, huwal abtar dialah yang hina, rendah dan tidak akan disebut-sebut lagi. 

As Sadyl mengatakan bahwa menurut pandangan budaya Arab, orang yang ditinggal mati oleh anak laki-lakinya disebut dengan al abtar (keturunannya terputus). Oleh karena itu Allah subhaanahu wa ta'ala menurunkan ayat tersebut. 

Arti al abtar sendiri adalah terputus penyebutannya dengan meninggalnya anak laki-laki mereka, maka nama ayah yang biasa disertakan pada anak laki-laki tidak akan disebut-sebut lagi. 

Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Nama beliau terus disebut meski anak laki-laki nya telah meninggal dunia. Nama beliau terus disebut sepanjang masa, sampai hari makhsar dan sampai hari dikembalikannya manusia.

Allahumma shalli wa sallim wa barik 'ala nabinnyina muhammad wa 'ala alihi. 

Itulah tafsir surah al Kautsar dalam tafsir Ibnu Katsir yang penulis ringkas pemaparannya. 

Hikmah

Dari paparan di atas, meskipun ketiga ayat itu diserukan kepada nabi muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi kandungannya berlaku bagi semua umat beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam. 

Pertama, Allah ta'ala memberikan nikmat (riski) bagi semua makhlukNya (Qs. Hud ayat 6). Maka bagi hambaNya yang beriman kepadaNya dan memahami hakikat riski dariNya, maka sudah seharusnya ia menunjukkan rasa syukurnya. Salah satunya sesuai dengan ayat ke-2 surah al Kautsar. Yaitu, mendirikan shalat untuk tuhannya -Allah subhaanahu wa ta'ala-, dan berkurban untuk tuhannya -Allah subhaanahu wa ta'ala.

Mendirikan shalat dan berkurban sebagai wujud syukur memiliki derajat lebih tinggi dari mendirikan sholat dan berkurban sekedar melaksanakan kewajiban sholat fardhu dan kesunnahan berkurban. 

Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mendirikan qiyamul lail hingga kaki beliau bengkak dan di tegur oleh Aisyah, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjelaskan itu sebagai wujud syukurnya kepada Allah subhaanahu wa ta'ala. 

Pelaksanaan ibadah sebagai wujud syukur kepada RabbNya, lahir dari faktor dalam diri yang ikhlas, di bawah kesadaran penuh atas posisi dia sebagai mahkluk/hamba Allah ta'ala dan bentuk terima kasihnya kepada Allah ta'ala. 

Adapun pelaksanaan ibadah karena pelaksanaan kewajiban muncul karena adanya faktor luar yaitu perintah Allah subhaanahu wa ta'ala. Bahkan kadang dalam pelaksanaannya masih terselip rasa keterpaksaan. Mengerjakannya untuk menggugurkan kewajiban dan terkadang dilakukan sekedarnya saja asal telah terlaksana. 

Kedua, mendirikan sholat dan berkurban untuk Allah subhaanahu wa ta'ala itulah diantara bentuk ibadah yang dipinta Allah subhaanahu wa ta'ala dari hambaNya yang telah diberi banyak kenikmatan. Sholat dalam ayat tersebut tidak dikhususkan yang fardhu. Artinya selain yang fardhu juga diseru untuk menambah dengan sholat sunnah. 

Berikutnya, yang Allah subhaanahu wa ta'ala pinta dari hambaNya yang telah banyak diberi nikmat adalah berkurban. Jika sholat tanpa biaya, adapun berkurban mengharuskan mengambil sebagian riski untuk dibelikan hewan kurban. Berkurban menguji keimanan seorang mukmin, menguji kesyukurannya kepada Allah subhaanahu wa ta'ala, dan menguji sifat berderma dalam dirinya.

Ketiga, adapun kebencian orang-orang fasik juga menimpa orang beriman selain menimpa Nabi dan Rasul. Maka tidak akan terputus kebaikan yang dilakukan seseorang, meski orang fasik mencelanya dan ia telah wafat. Amal kebaikan yang ia kerjakan akan menjadi pahala yang menyertainya saat di alam barsah, yaumul hisab dan berbuah surga di akhirat.

Adapun keburukan, kemaksiatan, kebatilan, juga tidak akan terputus. Ia akan menjadi dosa yang menemani pelakunya di alam barsah hingga hari penghisapaan dan bisa berbuah neraka di akhirat. 

Adapun perbuatan kemaksiatan di bumi ini, Allah sendiri yang akan memutusnya. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

... إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُصۡلِحُ عَمَلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

"... Sungguh, Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang yang berbuat kerusakan." (QS. Yunus 10: Ayat 81)

Adapun pemutusan kebatilan ter-akbar adalah dengan diturunkannya kiamat kubro. Di-akhirinya kehidupan dan masuklah periode penghisaban dan penentuan kehidupan yang kekal, surga ataukah neraka. 

Jadi, mereka yang membenci orang-orang beriman yang melakukan ketaatan, mereka telah terputus dari rahmat Allah subhaanahu wa ta'ala, sehingga mereka memiliki perilaku benci kepada pelaku kebaikan. Dan semoga kita tidak termasuk golongan tersebut. Aamiin.

Khatimah

Semoga Hari Raya Idul Adha ini, meningkatkan iman kita, rasa syukur kita, ketaatan kita, dan terjalin ukhuwah dengan sesama muslim lainnya. Aamiin. Dan dengan ibadah kurban, semoga Allah subhaanahu wa ta'ala bersihkan diri kita dari kelemahan iman, keburukan akhlaq dan perpecahan diantara umat Islam. Aamiin.

Wallahua'lam bis shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah