Menjawab fakta tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaaan, Riset dan Teknologi meluncurkan Permendikbudristek No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Melebarnya Definisi Kekerasan
Penulis bukan orang yang lahir dimasa penjajahan ataupun awal-awal kemerdekaan. Tapi, cerita orang-orang tua dulu, bahwa seorang siswa di jewer oleh guru itu hal biasa. Namun hasil didikan guru tersebut nyata menjadikan murid serius belajar dan berakhlaq baik.
Kini, setelah ide kebebasan, HAM masuk ke kancah sosial dan pendidikan, muncul banyak persoalan yang disebut kekerasan. Menyuruh murid bila si murid merasa tidak nyaman bisa masuk kekerasan psikis. Apalagi menjewer dan mencubit. Langsung masuk pasal kekerasan fisik. Kenapa? Karena definisi kekerasan dikembalikan ke perspektif korban. Bukan perspektif edukasi ataupun perspektif agama.
Kriteria kekerasan yang meluas ini adalah keberhasilan barat dalam mengkampanyekan HAM dan kebebasan. Dan fakta lainnya, ketika kebebasan ini yang dituruti, moral pelajar kian hari kian buruk. Akhirnya, tujuan pendidikan yang paling mendasar yaitu mengubah orang tidak baik menjadi baik, terasa sangat sulit diwujudkan.
Perspektif Islam Terkait Kekerasan
Islam sebagai agama yang diridhai Allah subhaanahu wa ta'ala, menetapkan bahwa segala perbuatan harus terikat dengan hukum syara'. Hukum syara' ada di dalam Al Qur'an dan Al Hadist.
Islam juga menetapkan benar dan salah dalam perspektif syariah. Bukan akal dan perasaan manusia. Apa yang dikatakan baik oleh syara', pasti baik bagi manusia. Sebaliknya, apa yang dikatakan syara' buruk maka buruk bagi manusia.
Dengan ketentuan demikian, definisi kekerasan inipun baliknya kepada hukum syara'. Tidak bisa tiap hal yang dilihat mata itu berupa tindakan fisik kemudian langsung disebut kekerasan.
Sebagai contoh, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat disaat mereka berumur 7 tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur diantara mereka" (HR. Ahmad)
Dalam hadist tersebut ada perintah memukul. Memukul ini harus dikembalikan ke bentuk pukulan yang dikehendaki hukum syara'. Yaitu pukulan yang tidak menyakitkan sehingga menimbulkan luka fisik. Jadi pukulan yang bersifat edukasi. Maka ketika ada seorang ayah menjewer atau mencubit dengan kasih sayang dan tidak menyakitkan, bukanlah terkategori kekerasan fisik. Jadi perspektif kekerasan ini dikembalikan ke hukum syara, bukan ke si anak.
Kalau dikembalikan ke perspektif anak (sebagai korban cubitan) tentu mereka menyebut itu kekerasan.
Demikianlah Islam, didikan dari penerapan syariah Islam pada keluarga muslim dan negara Islam waktu itu (yakni kekhilafahan Islam) nyata bisa melahirkan pribadi yang berkepribadian mulia dan bisa menjalankan peran sebagai khalifah di muka bumi ini.
Semisal sosok 4 Khulafaur Rasyidin, para sahabat nabi yang dijamin masuk surga, Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar Rasyid, Salahudin Al Ayyubi, Muhammad Al Fatih, Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Sina, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya.
Kisah keagungan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana selama masa kepemimpinan beliau sampai-sampai serigala hidup rukun dengan domba. Tidak saling terkam. Inilah kemuliaan akhlaq sang Khalifah, keberkahannya sampai menular kepada perilaku hewan.
Nah saat ini, bisa menjadi koreksi, banyaknya kasus kekerasan pelajar, saling terkam, baik dengan lisan ataupun perbuatan, mungkinkah karena rusaknya moral pejabat? Dan ditinggalkannya syariah Islam? Sehingga negeri ini jauh dari keberkahan dan rahmat Allah subhaanahu wa ta'ala.
Akhirnya, kejahatan dan kekerasan merebak dimana-mana. Moral kian rusak. Akhlaq jauh dari yang diridhai Allah subhaanahu wa ta'ala.
Belum cukupkah fakta ini sebagai pendorong untuk bertaubat dan kembali kepada syariahNya?
Wallahu'alam bis shawwab.