يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Tampilkan postingan dengan label income. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label income. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 November 2023

Middle Income, Dihitung Darimana?

Bila antar individu ada klasifikasi berpenghasilan rendah, menengah dan tinggi, tataran negarapun ada klasifikasi tersebut. Di tahun 2023 ini, bank dunia merilis posisi Indonesia sebagai negara dengan penghasilan menengah ke atas (upper middle income country). 

Penyebutan ini berdasarkan standar yang dibuat World Bank (Bank Dunia) dimana pendapatan perkapita Indonesia pada angka antara US$ 4.046 - US$ 12.535. Data BPS menyebut pendapatan domestik bruto per kapita di tahun 2022 adalah 71 juta atau US$ 4.783,9. (https://www.cnbcindonesia.com/research/20230704115738-128-451070/ri-naik-kelas-menengah-atas-mimpi-negara-maju-kian-nyata).

Sekarang, mari dihitung masing-masing, sudahkah pendapatan anda di tahun 2022 menembus angka 71 juta? Jika belum, ya harap maklum, penghitungan pendapatan perkapita itu adalah rata-rata. Jadi total pendapatan seluruh rakyat Indonesia dibagi jumlah rakyat Indonesia. Rakyat yang penghasilannya rendah bisa ditutup dengan kekayaan naga-naga penguasa ekonomi di negeri ini. 

Menolak Posisi Middle Income Country?

Menolak posisi middle income country sepertinya harus dilakukan Indonesia. Karena posisi ini menjadi tidak relevan, bila ukuran pendapatan negara dikembalikan ke fakta negeri ini. Negeri ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Dari minyak bumi, batu bara, timah, nikel, emas, dan lainnya. 

Penghasilan negara seharusnya dihitung dari kinerja negara dalam mengelola kekayaan alamnya, usaha perdagangan negara, dan aktivitas ekonomi negara yang lainnya, yang dari aktivitas itu menghasilkan pendapatan. Jadi penghitungannya murni dari penghasilan negara, dari aktivitas ekonomi negara. 

Adapun yang ditetapkan bank dunia tersebut berdasarkan pada pendapatan perkapita individu rakyat suatu negara. Jadi itu tidak mewakili negara. Melainkan mewakili ekonomi rakyat suatu negara. 

Jadi, apa yang disebut bank dunia itu lebih tepat disebut dengan posisi pendapatan rakyat Indonesia di kelas dunia. Terlepas dari kelemahan penghitungan pendapatan perkapita dalam sistem ekonomi kapitalisme tersebut. Dan juga standart global pendapatan perkapita yang tidak selalu tepat diterapkan disuatu negara tertentu. Karena harga barang antar negarapun berbeda.

Adapun jika bank dunia bermaksud mengklasifikasi pendapatan antar negara, seharusnya berdasarkan pada aktivitas ekonomi yang murni dilakukan negara dan penghitungan kekayaan yang dimiliki negara tersebut. Dengan penghitungan demikian, akan jelas posisi antar negara. Apakah sebagai negara miskin, kaya, penghasilan negara rendah, menengah atau tinggi. 

Dengan cara demikian pula, masing-masing negara akan serius mengelola kekayaan alam maupun SDM nya, sehingga akan bisa mengurangi potensi liberalisasi pengelolaan kekayaan alam, dan praktek swastanisasi berbagai sektor. 

Negara pun jadi produktif dan berpacu untuk meningkatkan daya saing. Negara tidak mudah membuka kran investasi, akan menekankan kepada kemandirian dan berfikir meningkatkan income negara bukan income investor. Dan akhirnya rakyat pun bisa menikmati kerja negara berupa pemberian layanan umum yang mensejahterakan seluruh rakyat.

Negara Dalam Islam Tidak Memerlukan Klasifikasi Tingkat Ekonomi

Keberadaan negara dalam Islam bukan untuk tujuan ekonomi. Hadirnya negara dalam Islam adalah untuk melaksanakan perintah Allah subhaanahu wa ta'ala. Wajib adanya negara untuk menegakkan hukum-hukum syariah baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, peradilan, pertahanan keamanan dan lainnya. 

Ekonomi adalah salah satu bidang yang syariah Islam mengaturnya. Pemimpin (Khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam adalah periayah (pengurus) urusan rakyat, dan wajib mengurusnya dengan syariah Islam.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Imam atau khalifah itu laksana penggembala dan dia bertanggung jawab terhadap gembalaannya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan tujuan demikian, maka sudah menjadi tugas negara untuk mengelola kekayaan milik negara dan milik umum. Dan penghasilannya untuk mensejahterakan rakyat, mewujudkan negara yang sejahtera. Adapun rakyat, bagi tiap laki-laki bertanggung jawab untuk mencari nafkah. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ اِلَّاۤ اَنْ تَكُوْنَ تِجَا رَةً عَنْ تَرَا ضٍ مِّنْكُمْ ۗ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu..." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 29)

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Demi Dia yang jiwaku ada ditanganNya, lebih baik bagi seseorang mengangkut kayu bakar dipunggungnya, daripada menemui seseorang untuk meminta uang, entah diberi atau tidak" (HR. Bukhari dan Muslim).

Negara dalam Islam tidak akan menggunakan standart penghasilan global untuk menyebut individu itu sejahtera atau tidak. Akan tetapi ukuran kesejahteraan jika kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) perindividu terjamin/tercukupi. Demikian pula dengan kebutuhan pokok kolektif seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Dengan demikian, negara dalam sistem pemerintahan Islam tidak direpotkan dengan standart global yang lahir dari ideologi kapitalisme. Negara dalam Islam akan fokuskan politik luar negerinya untuk menunaikan perintah Allah subhaanahu wa ta'ala yakni dakwah sehingga seluruh petak tanah, berdiri di atasnya hukum Allah subhaanahu wa ta'ala. 

Khatimah

Boleh-boleh saja membuat standart untuk menetapkan negara itu penghasilan rendah, menengah atau tinggi. Tapi itu hanya akan menjadi dugaan jika fakta dilapangan tidaklah demikian. Dan apakah arti penyebutan itu jika setiap rakyat tidak terjamin kebutuhan pokoknya? 

Wallahua'lam bis shawaab.

Dipun Waos Piantun Kathah