يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Selasa, 27 Agustus 2019

VARIASI DAKWAH, SALING MELENGKAPI

Ada diskusi ringan dengan bulek dan pak lek. Perihal dakwah. Bulek bilang dakwah nya ustad A itu enak. Damai dan tidak perlu pusing-pusing berfikir. Opini itupun di amini oleh pak lek.

Pendapat seperti itu tentunya tidak hanya dimiliki oleh adik dari almarhumah ibu ini. Ada banyak penilaian yang orang lontarkan kepada setiap pengemban dakwah. Mulai dari yang ustadz itu lucu, sejuk hingga yang pak kyai –yang mohon maaf- kalau bicara sering mengeluarkan kata-kata kasar dalam bahasa jawa. Ada juga pendakwah yang mengajak berfikir pendengarnya dan jarang ada candanya. Orang desa menyebutnya tegang bin bikin ngantuk bin ga nyambung.

Ya itulah manusia. beragam karakter yang Allah SWT tetapkan. Beda kepala beda isinya. Beda bahasa nasehatnya. Satu yang sama dan tidak berubah bahwa mendakwahkan Islam adalah tanggungjawab semua orang Islam. Bukan hanya yang bergelar ustad, kyai, bu nyai, ustadzah, bu guru, pak guru, jebolan pesatren, atao hanya jebolan pendidikan keluarga saja, tapi setiap muslim. Tanpa titel pun bila dia muslim, maka punya taklif untuk menyamaikan Islam. Bahasa arabnya baligh hu ‘anna walau ayah –sampaikan dariku walau satu ayat-.

Nah, bab beda model dakwah ini alamiah, sealiran kaafahnya Islam.

Maksudnya begini. Islam itu kan ada bab tauhid, ibadah, akhlaq, muamalah, hukum sanksi hingga tata hukum bernegara juga ada. Nah, bermacam-macamnya kajian Islam ini wajar jika kemudian memunculkan ustad yang dakwahnya pada sisi tauhid/aqidah, ada yang dakwah akhlaqiyah, ada yang dakwah fokus pada ibadah, ada juga yang fokus manajemen qalbu, hingga ada yang dakwah siyasah Islam/politik Islam. Semua tipe pendakwah ini penting. Tidak ada yang lebih unggul dari lainnya. Sama-sama saling melengkapi pemahaman umat Islam akan ilmu Islam yang begitu luasnya.

Ini masih dilihat dari sisi konten dakwahnya. Belum lagi bila dilihat dari sisi ragam pendengarnya. Bermacam-macam pula. Orang desa tentu punya pola yang berbeda dengan orang kota. Kaum intelektual juga beda daya tangkapnya dengan petani/pedagang. Anak –anak dengan remaja juga beda. Keragaman ini menambah variasi dakwah para ustad/dzah/pak kyai/bu nyai/dan orang Islam pada umumnya dalam berdakwah. Akhirnya memunculkan dai-dai ada yang lucu menyapa kaum pinggiran, Ada dai memakai bahasa tinggi menghadapi kalangan intelektual, ada dai gaul menghadapi kalangan milenial, ada dai lewat literasi dan lain-lainnya.

Semua ragam variasi tersebut adalah rahmat. Saling mendukung, melengkapi dan meguatkan. Memperatajam bahwa sesungguhnya Islam itu agama yang sempurna. Dan pluralitas itu adalah sunnatullah. Bukan untuk dijatuhkan, dihantam apalagi ditendang. Astagfirullahal’adziim.

Kesimpulannya, tidak ada yang perlu di klasifikasikan dan tidak perlu dipermasalahkan. Makin beragam dai yang ada, makin cepat kebangkitan umat Islam asal tidak saling menjatuhkan. Makin cepat pula agama ini tersebar asal tidak perang internal. Dan itu pertanda kejayaan umat Islam dalam hitungan waktu. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah