يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Sabtu, 12 Maret 2016

Bakti Murid Pada Gurunya

Tulisan ini terinspirasi dari kegiatan pembelajaran kemarin sore. Presentasi dari semua kelompak baik dan memang mereka cerdas-cerdas. Dalam hitungan waktu yang tidak lama bisa menyusun kata menjadi kalimat sebagai jawaban dari lembar kerja yang mereka kerjakan. Hem, tidak perlu saya melirik itu karya copy paste dari web atau buku pastinya semuanya itu adalah sumber belajar yang bisa menjadi pilihan bagi mereka.

Presentasi terasa terkesan ketika salah satu mahasiwa bercerita kisah bakti Hasyim Asyari kepada gurunya Kyai Kolil.. MasyaAlloh.. mau brebes ini air mata. Sebegitu besarnya penghormatan yang beliau berikan kepada gurunya. Dan buah dari khidmatnya beliau menjadi orang mulia hingga hari ini sebagaimana doa gurunya.

Nah sekarang mari kita tengok pendidikan saat ini. Disekolahan umum maupun di madrasah tidak jarang guru mengeluhkan tingkah murid sekarang. Dimana rasa hormat pada gurunya kian menurun. Tidak sedikit murid yang berani dengan gurunya. Bahkan guru sering menjadi bahan pembicaraan bagi murid-muridnya.

Sebenarnya bukan sebuah penghormatan yang agung yang guru harapkan, tapi bagaimana kemudian murid memiliki akhlaq kepada orang yang lebih tua dan yang telah memberikan kekayaan intelektualnya kepada diri mereka. Guru yang telah mengajarkan kebaikan, memberikan ilmu pengetahuan maka memang sudah selayaknya murid menghormati gurunya sebagai tanda terima kasih mereka.

Bila kondisi tidak seduai harapan maka koreksi tidak cukup untuk murid. Gurupun harus instropeksi diri. Bila kita ingat sabda Nabi saw " ibda'binafsik" mulailah dari dirimu sendiri. Artinya, bagaimana guru sekarang meneladani karakter para guru zaman dulu yang bisa melahirkan murid berkarakter emas. Dan Rasulullah adalah sosok guru pertama yang melahirkan generasi mulai para sahabat dan sahabiyah. Generasi terbaik sepanjang masa. Demikian pula guru zaman ini harus belajar bagaimana kepribadian para ulama yang ikhlas mengajarkan ilmu yang berbuah taat dan bakti para muridnya. Barokah ilmunya dan mulia hidupnya.

Pembicaraan ini tentu belum cukup bila tidak dikaitkan dengan sistem kehidupan saat ini. Karena bagaimanapun juga sistem kehidupan yang diterapkan akan mempengaruhi pola pikir dan pola sikap seseorang. Kapitalisme yang mengenolkan peran Tuhan dalam kehidupan melahirkan kemiskinan ruhiyah dalam kehidupan. Sikap individualis, materialis, hedonis dan permisif diakui ataupun tidak telah menjamah dunia pendidikan. Bila guru terkena jiwa matre maka bisa dipastikan mengajarnya bukan lillahi ta'ala. Bila sudah demkian maka orientasi kerja bukan untuk ibadah sehingga kesadaran bahwa mengajar adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban akan terlalaikan. Demikian pula jika murid terkena virus hedonis. Tidak lagi mau belajar giat untuk meraih ilmu tapi inginnya jalan pintas untuk meraih nilai. Bila gurunya hanya mengejar uang dan muridnya mengejar nilai masih pantaskah guru meraih penghormatan dari murid? Demikian pula wajar bila murid menjadi bermoral negatif karena niatnya bukan mencari ilmu tapai mencari nilai. Padahal yang bisa menuntun laku seseorang adalah ilmunya bukan angka pada rapotnya.

Perlu kita cerna nasehat Ali radiallahu 'anhu "ilmu itu lebih baik daripada harta karena ilmu akan menjaga dirimu sedangkan kamu menjaga harta. Ilmu itu sebagai hakim sedangkan harta sebagai yang dihakimi. Para pengumpul harta akan meninggal dunia sedangkan pengumpul ilmu akan tetap ada. Badan mereka memang mati tetapi kepribadian mereka akan abadi dihati semua orang".

Apa yang dinasehatkan oleh Ali r.a adalah benar. Dan sudah seharusnya bagi kita yang menjadi pendidik menginternalisasikan ajaran-ajaran Islam dalam diri sehingga tanpa mengeluarkan statement sang guru telah mengajarkan kepada muridnya tentang akhlaq dari perilaku guru yang mereka lihat. Wallahua'lam..





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah