Pengemis di negeri ini tidaklah
sedikit. Aksi dan gaya mereka pun bermacam-macam. Mulai dari pakaiannya yang
compang camping, kusut dan seolah hanya itu yang dimiliki. Adapula yang menggendong
anak kecil sehingga menyebabkan iba bagi yang melihatnya. Ada pula yang
berpura-pura cacat sebagaimana yang ditemukan oleh Dinas Kota Bandung beberapa
hari lalu. (www.detik.com).
Tentu, kita masih ingat berita
Maret 2016 dimana ditemukan beberapa pengemis kaya raya. Ambil contoh Siswari
yang saat dirasia sedang membawa uang tunai sebesar Rp. 400.000,00 serta
membawa 3 BPKB kendaraan roda dua. Dan masih memiliki tabungan deposito sebesar
Rp. 140 juta dan uang tabungan lain sebesar 16 juta. (www.tribunnews.com). MasyaAlloh, tentu
kita mempertanyakan mengapa mengemis menjadi pekerjaan yang dibanggakan oleh beberapa
rakyat di negeri ini. Sudah sebegitu rusakkah mental rakyat ini dan sudah tidak
perhatiankah pemerintah terhadap kesejahteraan warganya?
Sekulerisme Membentuk Mental
Pengemis
Secara naluriah, tentu tidak ada
orang yang ingin menjadi pengemis. Tapi mengemis bisa menjadi pilihan sukarela
ataupun terpaksa ketika memang ada yang menyeretnya untuk itu. Apabila
ditelusuri aksi mengemis di negeri ini
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem pemisahan urusan agama dalam
kehidupan. Karena ketika agama menjadi tanggungjawab pribadi individu,
sedangkan lingkungan dan Negara memberlakukan sebuah tatanan kehidupan yang materialis
jauh dari nilai nilai keimanan maka dapat dipastikan lamban tapi pasti akan
tereduksi ketaatan seseorang kepada Rabbnya dan akan semakin cinta terhadap
dunia.
Akibat dari hubbun dun-ya (cinta
dunia) ini tidak hanya dirasakan oleh individu tetapi juga aparatur Negara ini.
Sebagaimana saat ini bisa kita lihat para pegawai Negara yang telah terlibat
aksi pencurian uang Negara. Jalan-jalan mencari riski tidak lagi dilihat halal
atau haramnya. Tapi fokusnya adalah bagaimana bisa meraih uang banyak. Secara
mental pun tidak menyenangi perjuangan keras untuk meraih riski, maunya yang
cepat dan tidak banyak mengeluarkan energy. Dan pada akhirnya mengemis menjadi
salah satu pilihan. Meski harus melakukan aksi tipu muslihat semisal dengan menjadi
orang yang cacat, bahkan hingga membawa bayi untuk diajak mengemis.
Islam Melarang Umatnya Menjadi
Pengemis
Keberadaan pengemis tentu
memalukan bagi bangsa ini demikian pula bagi agama ini. Secara tegas Alloh swt
melalui sabda NabiNya telah mengingatkan bahwa mengemis atau meminta minta
adalah perbuatan tercela.
Dari Abu Hurairah, ia menceritakan aku pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda, “ Hendaklah salah seorang diantara kalian
berangkat mencari kayu bakar dan meletakkannya di atas punggung lalu bersedekah
darinya, sehingga dengannya ia tidak membutuhkan lagi pemberian dari orang lain
adalah lebih baik daripada orang yang meminta kepada seseorang lalu diberi atau
ditolak. Karena sesungguhnya tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di
bawah dan hal itu mulailah dengan orang yang berada di bawah tanggunganmu” (HR.
Bukhori)
Dari Samrah bin Jundub Ra ia
bercerita: Bahwa Rasulullah bersabda, “Meminta-minta itu merupakan aib yang
dicakarkan oleh seseorang kewajahnya sendiri. kecuali orang yang meminta kepada
penguasa atau dalam suatu urusan yang menjadi keharusan baginya” (HR. Abu
Dawud)
Untuk mengatasi masalah pengemis
ini, bagi negara dalam sistem Islam berkewajiban
untuk membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Menata kehidupan ekonomi
masyarakat yang mensejahterakan semua pihak. Dan mengelola kekayaan alam untuk
kepentingan rakyat. Teori ini dapat dilihat dari kebijakan Rasulullah saw
ketika ada seorang fakir yang meminta-minta maka beliau beri dia kayu bakar dan
memintanya untuk dijual dipasar. Maka tindakan Nabi ini memberikan petunjuk kepada
kita bagaimana cara mengatasi pengemis yaitu memberikan kepadanya modal untuk
bekerja. Bekerja adalah jalan memperoleh riski yang berkah. Bukan dengan
melarangnya tapi tidak diberikan solusi nyata.
Dalam Sistem ekonomi Islampun dilarang
memberikan hak pengelolaan kekayaan alam kepada asing maupun swasta. Hal ini
supaya kekayaan alam dapat dinikamati hasilnya secara utuh oleh rakyat dan
Negara tidak mengalami kerugian. Demikian pula adanya qadhi hisbah yang aktif
berkeliling untuk memberikan keamanan terhadap pelanggaran hak atas individu.
Sistem Islampun memberikan jaminan nafkah bagi muslimah mulai dari jalur
keluarga hingga ke Negara jika memang kondisi keluarga tidak mampu. Dan apabila
benar-benar dalam kondisi fakir maka Negara akan menjaminnya melalui baitul
bal. Inilah konsep periayahan Islam terhadap manusia sehingga menjadi pribadi
yang mulia dan bukan yang meminta minta. Wallahua’lam.
Artikel ini dimuat di web. visimuslim.net
Artikel ini dimuat di web. visimuslim.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar