Rakyat atas Hutang Negara
Bagi rakyat kecil, kepala mereka tidak sanggup mikir tentang hutang-hutang negara. Mereka sudah pusing memikirkan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan harian mereka.
Jadi, mau hutang menumpuk umumnya rakyat kecil tidak mau ikut mikir. Paling menthok memberi komentar tanpa tahu bagaimana solusinya.
Beginilah sedikit potret hubungan rakyat dengan kondisi negaranya. Hal ini tidak lepas dari sistem pengelolaan bermodel kapitalisme.
Sistem ini, memang egois. Negara difungsikan sebagai fasilitator dan regulator. Rakyat dijadikan sebagai pelanggan. Lantas siapa yang menjadi periayah? Pelayan?
Dalam sistem kapitalisme dibuat kondisi sistematik dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Maknanya rakyat menjadi subjek dan objek. Subjek yang ikut mendanai pembangunan dan objek -pembeli- dari fasilitas yang disediakan negara.
Hal ini dapat dilihat dari pengaturan sistem kesehatan, punggutan pajak diberbagai sektor, individu rakyat bertanggungjawab sendiri atas kesejahteraan dirinya, politik oligarki, ekonomi liberal apapun bisa dimiliki individu selama memiliki kapital akhirnya bukan rakyat tersejahterakan melainkan para investor -pemilik modal-.
Fasilitator dengan pelayan itu tidak sama. Fasilitator penyedia fasilitas dengan prinsip tidak mau rugi. Ibarat pedagang dan pembeli. Jadi jangan kaget kalau fasilitas umum berbayar. Dari WC berbayar, tol berbayar, tempat wisatapun berbayar, pendidikan berbayar, kesehatan belum sakit sudah suruh bayar, pajak diberbagai sektor dll.
Kalau pelayan itu penyedia layanan dengan prinsip melayani. Ibarat orang tua melayani anak-anaknya. Gratis dengan penuh tanggung jawab memenuhi semua kebutuhan anaknya.
Ketika penguasa melayani rakyat sebagaimana orang tua melayani kebutuhan anak-anaknya pasti akan menumbuhkan empati, simpati, kasih sayang antara penguasa dan rakyat. Saling peduli diantara kedua belah pihak. Bukan seperti pengurusan dalam kapitalisme yang menjadikan ego penguasa yang menonjol. Betapa sedikit penguasa yang tidak bisa tidur melihat masih banyak rakyatnya kelaparan, tidak punya rumah layak, tidak mampu kuliah dll. Sedang mereka punya fasilitas super.
Kini, jika negara berjibun hutang, rakyat juga enggan mikir. Bahkan mau seperti apa negara ke depan juga tidak mikir. Yang mereka pikirkan bagaimana bisa mencukupi nafkah hariannya. Mendoakan penguasa pun juga jarang atau tidak sama sekali. Padahal pemimpin yang dicintai rakyatnya, salah satu cirinya adalah didoakan rakyatnya.
Mau negara berhutang berbunga rakyat juga tidak mau tahu. Padahal bunga bank haram hukumnya. Jika sudah tidak ada lagi kepedulian dengan keharaman maka apa yang diharapkan dari tiap suapan nasi yang masuk ke mulut? Padahal itu Bulog menyimpan 1 juta ton beras yang akan disalurkan ke rakyat. Beginilah bila hidup di sistem kapitalisme. Halal dan haram tidak dipisahkan. Semua dilahap asal ingin. Astagfirullah.
Sekilas Pengelolaan Pangan dalam Islam
Islam memiliki mekanisme yang berbeda dengan kapitalisme dalam pengaturan pangan. Sebagaimana pengelolaan di bidang lainnya, bidang panganpun tidak diliberalisasi, tidak ribawi, tidak terikat dengan ketentuan pasar global.
Pengelolaan pangan sebagai kebutuhan pokok rakyat diurus dengan prinsip politik luar negeri dan dalam negeri.
Politik luar negeri negara Islam -khilafah Islam- adalah mengemban dakwah dan jihad fii sabiilillaah. Sehingga produksi pangan disiapkan untuk mencukupi kebutuhan untuk dakwah juga jihad.
Adapun di dalam negeri, pangan kebutuhan primer rakyat. Sehingga negara bertanggungjawab dengan menjamin pangan yang cukup bagi rakyat. Prinsip melayani rakyat bukan mencari laba dari rakyat. Prinsip bebas riba/bunga dalam mencukupi kebutuhan rakyat. Dan seluruh rakyat pun diharamkan melakukan praktek riba.
Teladan Khalifah Umar bin Khattab bisa ditiru. Beliau menjamin kesejahteraan rakyatnya. Disuatu malam Khalifah Umar bin Khattab keliling kota ditemani pembantunya. Saat ia keliling ia mendengar suara tangis anak yang kelaparan. Maka Khalifah Umar bin Khattab menemui keluarga tersebut. Dan didapatinya bahwa ibu dari anak tersebut sedang memasak batu untuk mengelabuhi anaknya. Maka seketika itu, Umar bin Khattab mengambil bahan makan dari Baitul mal dan dipanggul sendiri sampai ke rumah keluarga tersebut. MasyaAllah. Dan bagaimana dengan penguasa saat ini? Masih adakah yang seperti Umar bin Khattab?
Khatimah
Hutang Bulog hanya salah satu contoh. Karena total hutang negara ini hingga September 2021 adalah 6.711,52 triliun (contan.co.id, 4/11/2021).
Dibalik megahnya gedung pencakar langit ada hutang melilit. Masihkah mau hidup di sistem kapitalistik?
Wallahua'lam bis showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar