Sebagaimana disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Fadil Zumhana bahwa Kejaksaan Agung telah menghentikan sedikitnya 1070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif).
Apa itu Restorative Justice?
Peraturan Kejaksaan No 15 tahun 2020 mendefinisikan restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. ( https://www.hukumonline.com/berita/a/mencermati-definisi-restorative-justice-di-beberapa-aturan-lt61de82f63f2cf/?page=2).
Di Indonesia, keadilan restoratif ini hanya diberlakukan pada tindak pidana ringan. Tindak pidana ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya 7.500 (dengan penyesuaian), penghinaan ringan, kecuali pelanggaran lalu lintas. (https://www.hukumonline.com/klinik/a/tindak-pidana-ringan-tipiring-lt5876e928ba1b4).
Dengan adanya restorative justice ini, akan mengurangi jumlah napi di lembaga pemasyarakatan sekaligus mengurangi pengeluaran uang negara. Pemberlakuan restorative justice salah satu solusi yang diambil Kejagung untuk menekan jumlah napi di lembaga pemasyarakatan.( https://m.liramedia.co.id/read/1070-perkara-di-kejagung-dihentikan-lewat-restorative-justice)
Restorative Justice Tidak Cukup
Kemanusiaan, betul harus dijunjung. Tapi, ketika hingga ribuan kasus pidana dihentikan dengan restorative justice, apakah menjamin pidana ringan tidak makin subur?
Ketika napi kian memadati lembaga pemasyarakatan, seharusnya dievaluasi kenapa atau apa faktor penyebab kian banyak pelanggaran. Itu yang harus disolusi.
Kalau tujuan perberlakuan keadilan restorarif sekedar mengurangi penduduk penjara, maka itu menyelesaikan masalah tanpa mengatasi penyebab maraknya tindak pidana.
Betul, jumlah napi yang dipenjar berkurang, tapi tindak pidana bisa terus meningkat.
Seharusnya akar penyebab banyaknya pelanggaran itulah disolusi. Sehingga hukum tetap tegak, tidak berubah menyesuaikan kondisi dan kepentingan tertentu.
Jenis-Jenis Sanksi di Indonesia
Sebagaimana dikutip dari hukumonline.com, jenis-jenis sanksi di Indonesia sekurang-kurangnya ada 3, yaitu; sanksi pidana, sanksi perdata dan saksi administratif.
Sanksi pidana terkait pelanggaran yang menyangkut kepentingan umum. Adapun sanksi perdata terkait pelanggaran perorangan dan tidak terkait langsung dengan kepentingan umum. Sedangkan sanksi administratif terkait pelanggaran administrasi.
Kesimpulannya, sanksi yang dijatuhkan adalah atas pelanggaran yang berkaitan manusia dengan manusia lainnya. Dan dihukumi dengan hukum manusia.
Sanksi dalam Islam
Islam tidak cukup dengan ibadah ritual. Islam agama komplit. Sistem sanksipun Islam punya.
Konsep sistem sanksi Islam lahir dari aqidah Islam. Manusia sebagai hambaNya Allah SWT yang telah diberi seperangkat aturan. Aturan/hukum itu ada dalam Al Qur'an dan Al Hadist.
Sebagaimana Allah SWT terangkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT (QS. Adz Dzariyat: 56). Maka setiap perbuatan manusia tidaklah bisa dipisahkan dari Allah SWT. Walaupun terkait hubungan horizontal (hubungan dengan sesama manusia).
Maka pelanggaran dalam hablum minannas tetap terkait dengan hubungan vertikal dengan Allah SWT.
Atas pelanggaran tersebut, Allah SWT telah tetapkan sanksinya. Dan sanksi dari Allah SWT ini bersifat pasti dan tidak berubah-ubah. Sistem sanksi ini hanya bisa diterapkan oleh Negara Islam yaitu khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Negara berdasar demokrasi-sekuler-kapitalisme tidak akan mau menegakkannya.
Jenis sanksi yang ditetapkan Allah SWT dan RasulNya tidak berubah karena alasan penjara padat dengan tahanan, atau uang negara terkuras untuk pembiayaan napi. Pelaksanaan hukuman ini adalah hukum syara', jadi tidak ada lobying.
Jenis Sanksi Dalam Islam
Ada 4 macam sistem sanksi dalam Islam.
Pertama, hudud. Hudud adalah hukuman yang menjadi hak Allah SWT. Hudud dijatuhkan atas 7 kejahatan, yaitu; berzina (QS. An Nur: 2), qadzaf (QS. An Nur: 4-6), mencuri (QS. Al Maidah: 38), minum khamar (hukum cambuk berdasarkan hadist Nabi SAW, memberontak (hukuman mati), riddah/murtad (hukuman mati berdasarkan hadist Nabi SAW), pembegalan (haribah) hukumannya bisa hukuman mati atau tangan dan kaki dipotong secara bersilang, disalib atau dibuang dari daerahnya).
Semua kejahatan itu sudah ditetapkan Allah SWT hukumannya. Ada juga yang digali dari hadist Nabi SAW. Hukuman ini bersifat pasti dan manusia tidak bisa mengubah hukumannya.
Kedua, jinayat/qishash. Jinayat adalah hukuman yang berkaitan dengan berbagai perbuatan yang melanggar hak-hak individu, dimana si korban bisa memaafkan dan menerima uang diyat (tebusan) atau mengajukan tuntutan hukum atas pelaku. Contohnya: sengaja membunuh seorang muslim. Maka keluarga korban bisa mengajukan tuntutan hukum (hukuman untuk pembunuhan sengaja adalah qishas sebagaimana dalam QS. Al Baqarah: 178) atau memaafkan pelaku dan menerima uang diyat.
Ketiga, at ta'zir. Ta'zir adalah hukuman berkaitan hak-hak masyarakat. Ta'zir ini lingkup kejahatan diluar hudud dan jinayat, akan tetapi berkaitan berbagai hal yang menganggu masyarakat. Sanksi ta'zir ditetapkan oleh hakim.
Salah satu ta'zir adalah apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab yang menghukum seorang ulama yang memberikan kesaksian palsu. Umar menghukum ulama tersebut dengan memberi cat hitam di wajahnya, dicukur rambutnya dan dipertontonkan di depan umum dengan duduk menghadap ke belakang di atas keledai.
Keempat, mukhalafat. Mukhalafat adalah sanksi yang menjadi hak negara. Yaitu ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan negara.
Misalnya pelanggaran naik kendaraan di atas kecepatan yang dizinkan negara. Hukumnya bisa ditentukan qadhi/hakim atau juga oleh negara.
Inilah sekelumit sistem sanksi dalam Islam. Dimana sanksi yang dijatuhkan bisa menjadi jawabir (penebus dosa) dan jawazir (pencegah).
Khatimah
Untuk kaum muslimin,
Betul hukum sanksi manusia bisa membuat orang jera bahkan taubatan nasuha. Tapi, jika sang Khaliq sudah menetapkan hukum alangkah takaburnya manusia jika meninggalkannya.
Sampai kapanpun langit tidak mampu digapai manusia. Bumipun tidak mampu ditembus manusia. Tidakkah kita renungkan, benarkah hukuman yang dibuat manusia bisa menebus dosa dan membuat Allah SWT ridho?
Wallahua'lam bis shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar