Kegiatan responsif atas kemajuan umat yang semakin giat mempelajari Al Qur'an dan mengamalkannya. Perkembangan positif dan sudah seharusnya para ulama, akademisi, praktisi dan peneliti Al Qur'an menyambut kebangkitan kesadaran umat ini untuk semakin diaruskan ke arah mewujudkan pribadi berkarakter Al Qur'an.
Multaqa tersebut menghasilkan 6 butir rekomendasi Multaqa Ulama Al Qur'an Nusantara. Berikut ke-enam rekomendasi tersebut dan tanggapan penulis yang keilmuan penulis jauh di bawah para peserta acara tersebut. Jadi mohon dimaklumi dan mohon maaf apabila ada hal yang tidak berkenan.
Tapi, penulis tetap berharap, semoga tanggapan penulis ini bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.
Rekomendasi 1:
Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Agama perlu terus memberikan perhatian penuh kepada upaya peningkatan pelayanan, pengawasan dan evaluasi pendidikan Al Qur'an, baik dari sisi bacaan, hafalan, dan implementasinya di tengah masyarakat.
Tanggapan:
Penulis sebagai praktisi pendidikan TPA dan Diniyah memandang bukan semata perlu tetapi keharusan bagi Kementerian Agama untuk meningkatkan pelayanan, pengawasan, dan evaluasi pendidikan Al Qur'an baik dari sisi bacaan, hafalan dan implementasinya di tengah masyarakat.
TPA dan Diniyah bagian dari lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan Al Qur'an, lahir dari kesadaran umat untuk mencerdaskan anak-anak Islam untuk bisa baca tulis Al Qur'an, menguasai materi keislaman lainnya, dan menjadi pribadi shalih-shalihah, tentu lembaga non formal ini harus diperhatikan oleh Kementerian Agama.
Program dari layanan untuk meningkatkan kualitas bacaan, hafalan dan implementasi Al Qur'an ditunggu para pendidik TPA dan Diniyah. Kemenag harus menggencarkan program tahsin, tahfidz Al Qur'an sehingga tidak hanya pendidik tapi umat Islam keseluruhannya bisa membaca al Quran dengan benar. Demikian pula program tahfidz sehingga jumlah penghafal Al Qur'an menjamur.
Adapun pengawasan dan evaluasi untuk menjamin mutu layanan program-program tersebut sudah pasti harus diselenggarakan. Jadi, pengawasan disini bukan mengawasi ketaatan seseorang dalam melaksanakan perintah Allah SWT dan RasulNya.
Demikian pula Kemenag harus menyadarkan umat Islam untuk mengimplentasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, menjadi pribadi berkarakter Al Qur'an dengan mengimplementasikan Al Qur'an dalam kehidupan.
Rekomendasi 2:
Di tengah heterogenitas kehidupan masyarakat Indonesia, perlu diarusutamakan wasathiyah sebagai metode berfikir, bersikap, dan beraktivitas sehari-hari. Sehingga terwujud keberagaman yang moderat, toleran, ramah dan rahmah di tengah kebinekaan Indonesia.
Tanggapan:
Mengutip pernyataan Prof. Quraish salah satu pemateri dalam acara tersebut bahwa untuk bersikap wasathiyah harus memahami makna wasathiyah. Wasathiyah tidak bisa dimaknai secara tekstual sebagai tengah-tengah. Tapi wasathiyah adalah ketegasan seseorang untuk bersikap adil. Inilah pemahaman yang harus diambil umat Islam.
Adil dalam Islam adalah lawan dari zalim. Dan adil akan terwujud jika seorang muslim melaksanakan ajaran dalam Al Qur'an dan as Sunnah. Sebaliknya, kezaliman adalah saat seorang muslim melanggar ketentuan Al Qur'an dan as Sunnah.
Wasathiyah sebagai istilah yang bersumber dari Al Qur'an, QS. Al Baqarah: 143. Maka mendefinisikan wasathiyahpun harus dengan tafsir Islam bukan tafsir dari barat.
Karakter umat wasathiyah dalam tafsir Ar Razi disebutkan ada 4 yaitu: umat yang adil, umat pilihan, terbaik, dan pertengahan antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar). (Majalah Al Waie, edisi Juli 2021)
Tafsir ini berbeda dengan memaknai wasathiyah dengan moderat/moderasi. Moderat/moderasi istilah dari barat yang dibangun dari asas sekulerisme. Yaitu jalan tengah dimana agama ditempatkan dilingkup pribadi sedang urusan bernegara bermasyarakat berhukum pada selain agama. Hal ini bertentangan dengan Islam yang memiliki syariah diseluruh aspek kehidupan manusia.
Menafsirkan wasathiyah dalam makna tengah-tengah atau moderat akan mengaburkan pemikiran seorang muslim antara yang haq dan batil. Menjadikan seorang muslim takut menunjukkan identitas keislamannya ditengah keberagaman yang sekuler liberal sebagaimana kondisi saat ini.
Rekomendasi 3:
Melihat antusiasme masyarakat Indonesia dalam mempelajari dan mendirikan lembaga Al Qur'an, Kementerian Agama, khususnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren perlu segera menindaklanjuti usulan revisi Permen No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang salah satunya mengatur penjenjangan Pendidikan Al Qur'an di Indonesia mulai tingkat dasar hingga tinggi
Tanggapan;
Kesadaran masyarakat untuk mempelajari dan mendirikan lembaga pendidikan Al Qur'an harus didukung oleh pemerintah terlebih Kemenag. Tanpa negara harus repot menyadarkan, umat Islam sudah berduyun-duyun untuk mempelajari dan mendirikan lembaga pendidikan Al Qur'an. Maka pemerintah harus memfasilitasi dan mempermudah operasional kegiatan pendidikan Al Qur'an.
Dalam sistem pendidikan Islam mapel Al Qur'an menjadi mapel wajib bagi setiap siswa dijenjang dasar dan menengah. Untuk pendidikan Islam saat ini (MI,MTs, MA) sudah terimplementasi.
Adapun permasalahannya adalah siswa muslim yang menempuh pendidikan di sekolah umum tidaklah mendapatkan mapel Al Qur'an. Hanya mapel PAI itupun seminggu tidak lebih dari 2 JP. Maka materi agama siswa muslim di sekolah umum ini sangat kurang sekali. Maka wajar jika dijumpai siswa lulusan sekolah umum yang belum lancar membaca Al Qur'an.
Sebagai usulan solusi; bisa dengan menambah jam pelajaran PAI, membuka ekskul agama Islam untuk materi-materi keislaman dan atau mewajibkan setiap siswa di sekolah umum untuk menempuh pendidikan TPA/Diniyah. Atau juga mewajibkan setiap muslim menempuh pendidikan formalnya di lembaga pendidikan Islam.
Rekomendasi 4:
Desain kurikulum pendidikan Al Qur'an perlu disusun secara berjenjang dan berkesinambungan dengan memuat materi kekhususan ilmu-ilmu Al Qur'an ditambah dengan wawasan kebangsaan, keagamaan dan isu-isu global dengan dalam bingkai wasathiyah Islam
Tanggapan:
Kurikulum pendidikan Al Qur'an haruslah disusun dengan tujuan untuk menjadikan para siswa memahami Al Qur'an dengan benar, menghafal dengan tujuan yang benar, mengamalkan Al Qur'an dengan benar sesuai tuntunan Al Qur'an dan as Sunnah, mendakwah Islam secara kaffah sebagaimana seruan dalam Al Qur'an untuk berislam kaffah.
Mengamalkan Al Qur'an sudah pasti akan menjadikan seseorang cinta pada negaranya. Adapun berhukum dengan hukum Allah SWT itu juga seruan dalam Al Qur'an. Jadi fungsi pendidikan Al Qur'an salah satunya haruslah bisa menjadikan para santrinya mengamalkan Islam sebagaimana dalam Al Qur'an dan juga Al Hadist.
Rekomendasi 5 :
Melihat fungsi sanad yang sangat penting bagi verifikasi data dan keabsahan jalur keilmuan, maka lembaga-lembaga Al Qur'an perlu memperhatikan ketersambungan sanad, baik dari sisi bacaan, pemahaman, maupun pengalaman. Kementerian Agama juga perlu memfasilitasi proses dokumentasi, dan pencatatan jalur sanad keilmuan ulama Al Qur'an di Indonesia.
Tanggapan;
Mempelajari Al Qur'an sebagai kewajiban maka sudah selayaknya umat Islam untuk mempelajari Al Qur'an. Demikian pula berbagi atau menyebarkan ilmu bagian dari kewajiban. Dimasa kekhilafahan Islam seseorang diperkenan mengajarkan Al Qur'an ataupun Al Hadist setelah mendapatkan ijin atau ijazah dari ulama/lembaga tempat ia menempuh pendidikan.
Jadi, secara formalnya memang keberadaan ijin/ijazah mengajar ini penting, tapi secara umum setiap muslim memiliki kewajiban untuk mendakwahkan Islam walau hanya satu ayat yang ia ketahui. Hal ini sebagaimana perintah Rasulullah SAW.
Dan saat ini dengan kemajuan teknologi, belajar Islam menjadi sangat mudah. Bisa tanpa tatap muka. Sehingga muncul komunitas tahfidz lewat medsos, komunitas ODOJ, dan kajian-kajian keislaman yang menjamur. Jadi, tidak ada orang menuntut ilmu agama yang tidak bersanad. Selama yang diajarkan berdasarkan al Qur'an dan Al Hadist maka itu pasti bersanad.
Dan tidak ada belajar tanpa guru. Meski guru itu tidak selalu berwujud orang secara langsung. Semisal belajar dari buku. Buku ada, juga karena ada penulisnya. Bukankah para imam fiqih, imam hadist, dan para ulama Islam lainnya yang mereka tinggalkan adalah buku dan itu yang menjadi referensi/rujukan dalam belajar Islam saat ini? Dan perintah dalam Al Qur'an adalah iqra' bacalah!
Memperhatikan sanad keilmuan selama tidak ditujukan untuk membatasi kepada sanad ulama atau lembaga tertentu yang diakui maka itu boleh-boleh saja. Namun, misalnya, jika yang diakui yang sejalan dengan proyek moderasi Kemenag saja, tentu yang demikian memecah belah umat, mematikan gerakan umat untuk mempelajari agama, dan membentuk asobiyah golongan.
Dan yang harus dipahami pula bahwa istilah moderasi/moderat bukanlah berasal dari Islam. Jadi, sanad moderasi beragama ini tidak ada sanadnya dalam Islam.
Selain itu, jangan sampai mereka yang belajar Islam kepada barat bahkan kepada non muslim, disebut sanad keilmuannya tidak bermasalah. Pulang dari pendidikan di luar negeri mengusung moderasi, pluralisme, kesetaraan gender, sekulerisme-kapitalisme, istilah-istilah ini tidak bersanad kepada Rasulullah SAW.
Rekomendasi 6:
Menghimbau kepada masyarakat, orang tua, para pendidik dan pengelola lembaga pendidikan Al Qur'an, agar menanamkan ajaran Al Qur'an secara komprehensif, mendalam, moderat, sebagaimana pernah dilakukan para ulama pendahulu, sehingga Al Qur'an benar-benar dapat menjadi petunjuk dan rahmat bagi umat, bangsa dan semesta.
Tanggapan;
Dalam pengamalan ajaran Islam suri teladannya adalah Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, tabiin, tabiut tabiin, ulama dan orang-orang shalih shalihah yang benar.
Bukan menanamkan ajaran Al Qur'an yang moderat. Karena moderat bukanlah istilah yang lahir dari Al Qur'an dan Al Hadits. Tidak ada sanadnya dalam islam. Tapi, istilah yang bersanad pada Barat. Karakter muslim moderat sebagaimana dikeluarkan oleh Rand Corporation adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, termasuk didalamnya gagasan HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum sektarian, serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasaan.
Karakter moderat yang demikian tentu mengajak umat Islam untuk mencampur adukkan antara yang haq dan yang batil. Padahal tanpa kata moderatpun ajaran Islam jika diamalkan mengikuti petunjuk Nabi SAW pasti rahmatan lil 'alamin.
Khatimah
Allah SWT memberikan cahaya kepada langit dan bumi. Dengan dienul Islam cahaya itu menyinari seluruh alam. Tapi, saat Islam ditafsirkan dengan tafsir barat maka padamlah cahaya itu. Seiring dengan tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Semoga pendidikan Al Qur'an yang digagas oleh Kementerian Agama ini tidak memadamkan cahaya Islam tapi menjadikan Islam semakin bersinar dan menyinari alam semesta sebagaimana label yang diberikan Allah SWT, Islam rahmatan lil 'alamiin. Aamiin aamiin yaa mujiibassaailiin.
Wallahua'lam bis showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar