Jangan sampai prinsip hidup halal ini terkena noda paham materialisme kapitalisme. Dari memilih yang halal karena melaksanakan perintah Allah subhaanahu wa ta'ala, gara-gara paham materialisme, seseorang bahkan sebuah negara bisa menjatuhkan pilihan halal demi keuntungan materi. Bukan lagi bentuk ketaatan kepada Allah subhaanahu wa ta'ala.
Label halal jadi ditujukan untuk sekedar meraup pundi-pundi keuntungan. Sedangankan dalam perilaku hidup keseharian tidak pernah sholat atau bolong-bolong, masih mengumbar aurat, pelaku riba, anti dengan pelaksanaan hukum syariat dan meninggalkan perintah Allah subhaanahu wa ta'ala lainnya.
Inilah pengaruh paham kapitalisme. Mengkapitalisasi 'halal' hanya demi satu tujuan yaitu meraih materi.
Wisata Halal Jangan Halalkan Yang Haram
Wisata yang disebut sebagai wisata halal bisa menjadi contoh dari mengkapitalisasi 'halal'. Konsep wisata halal ini bukan lahir dari negeri-negeri muslim. Melainkan dari negara Non OKI (Organisasi Konferensi Islam) yang melihat peluang income dari sektor wisata. Mereka benahi destinasi wisatanya dengan menyediakan kebutuhan beribadah bagi wisatawan muslim (tempat shalat) dan restoran halal. Kemudian disebutlah ini dengan wisata halal. Diantara negara yang ramah wisatawan muslim ini adalah Inggris, Perancis, Jepang, Thailand, Singapura, Malaysia, Australia dan lain-lain. (https://ekonomi.republika.co.id/berita/qw7icb440/bagaimana-sih-konsep-dan-pengertian-wisata-halal)
Konsep ini jika diadopsi negara non muslim tentu wajar. Tapi untuk negeri-negeri muslim tentu konsep wisata halal yang hanya melihat ada tidaknya tempat ibadah sholat dan tersedianya makanan/restoran halal tentu tidak cukup untuk melabeli bahwa wisata tersebut wisata halal. Ini konsep wisata halal masih parsial. Hanya sebagian yang halal, lainnya masih menghalalkan yang haram.
Misalkan destinasi wisatanya pantai. Kemudian di pantai tersebut ada tempat ibadah (mushola), ada restoran halal, ada bank syariah sedangkan pengunjung pantai diperbolehkan berjemur dengan pakai cawet dan penutup dada, aurat nampak dimana-mana, muda mudi pacaran ditempat wisata itu, akankah ini disebut wisata halal?
Pantainya halal dinikmati, tapi pemandangan aurat ini haram dilihat. Khalwat laki-laki dan perempuan juga tidak boleh. Yang demikian tentunya bukan tempat wisata yang ramah bagi muslim.
Dengan demikian melabeli wisata halal itu harusnya utuh. Wisata yang menjadikan seseorang berwisata tidak pulang dengan membawa dosa. Tapi dengan wisata, mentadabburi alam ciptaan Allah subhaanahu wa ta'ala bertambah imannya, dan ditempat wisata hal-hal yang diharamkan syariah dilarang dilakukan.
Negeri-negeri Muslim Harus Tegas
Negeri-negeri muslim seharusnya tidak terjebak dengan konsep dari negara non muslim yang memang tujuannya semata menggait devisa dari pariwisata. Negeri-negeri muslim harus jelas meletakkan kriteria wisata halal. Sehingga turis non muslim atau negara non muslimpun jadi mengerti bahwa halal itu bukan hanya makanannya, adanya tempat sholat tapi juga halal yang dilihat, halal yang dilakukan.
Hal ini harus dilakukan agar kemudian negeri-negeri muslim tidak dijuluki memanfaatkan label halal semata demi devisi. Adapun hukum Islam lainnya ditolak, karena tidak menyumbang devisa. Alias menjadi negeri sekuler.
Dari pariwisata ini ditargetkan tahun 2023 mendapatkan devisi $2,07- $5,95 miliar. Bila dikurskan 1 dolarnya 10 ribu didapat angka 20,7-59,5 triliun (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/29/penerimaan-devisa-pariwisata-ditargetkan-us29-59-miliar-pada-2023)
Angka yang besar, jadi wajar jika dalam sistem kapitalisme, pariwisata digenjot sebagai bidang yang wajib menyumbang kas negara.
Adapun jika negeri-negeri muslim mau untuk memilih yang 'halal' dalam pengurusan urusan negaranya, tidak akan direpotkan dengan pariwisata. Karena wisata dalam sistem Islam bukan sumber pemasukan negara.
Karena perintah Allah subhaanahu wa ta'ala atas alam ini adalah menjaganya sekaligus mentafakkurinya. Yaitu memikirkan kekuasaan Allah subhaanahu wa ta'ala yang dengannya bertambah iman seorang. Sekaligus menyegarkan pikiran dari penatnya urusan dunia yang melalaikan akan hakikat hidup di dunia ini. Sehingga setelah pulang dari berwisata imannya fresh, semangat menjalani kehidupan untuk beribadah mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh, badannyapun fresh.
Adapun pemasukan negara dalam sistem Islam dari pengelolaan kepemilikan umum (SDA dan lain-lain), pengelolaan kepemilikan negara (fai, kharaj, ghonimah, jizyah dll), dan zakat.
Pemasukan dari pengelolaan SDA ini bisa melimpah. Ambil contoh saja perolehan Indonesia tahun 2022 hingga April dari pengelolaan SDA didapat 74,4 triliun. Ditarget perolehan 121,95 triliun dalam setahun. (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/05/27/kemenkeu-catat-pendapatan-sumber-daya-alam-capai-rp744-triliun-pada-april-2022)
Pendapatan yang besar, padahal pengelolaan SDA sàat ini masih banyak yang diserahkan ke investor asing dan dalam negeri. Jika tambang-tambang SDA ini murni/utuh dikelola negara, pasti penghasilannya jauh lebih besar dari itu. Bisa untuk membuat kesehatan murah berkualitas, pendidikan murah/gratis berkualitas, wisata gratis dan lain-lainnya.
Tapi sayang, pengelolaan ala kapitalisme yang diterapkan. Akhirnya mengharap kas negara yang gendut sangat sulit. Bahkan yang makin gendut adalah hutang.
Khatimah
Semoga tulisan ini memantik pembaca untuk mendalami Islam seutuhnya. Karena setiap syariahNya maslahat bagi manusia. Dan hikmah maslahat ini akan utuh dirasakan manusia ketika hidup dalam sistem Islam sesuai manhaj nubuwwah. Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam menyebut sistem pemerintahan itu dengan khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Wallahu'alam bis shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar