يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Selasa, 14 November 2023

Seteguk Air Dan Kerajaan

Bumi disebut juga dengan planet air. Karena banyaknya air yang dikandung bumi. Ada air yang nampak seperti lautan, yang tidak nampak seperti air tanah. 

Antara air laut dan air tanah, memiliki rasa yang berbeda. Air laut asin adapun air tanah tawar. Padahal air laut dan air tanah sama dari hujan. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

اَفَرَءَيْتُمُ الْمَآءَ الَّذِيْ تَشْرَبُوْنَ 

"Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum?"

ءَاَنْـتُمْ اَنْزَلْـتُمُوْهُ مِنَ الْمُزْنِ اَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُوْنَ

"Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?"

لَوْ نَشَآءُ جَعَلْنٰهُ اُجَا جًا فَلَوْلَا تَشْكُرُوْنَ

"Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin, mengapa kamu tidak bersyukur?" (QS. Al-Waqi'ah 56: Ayat 68- 70)

Air sebagaimana dengan sumberdaya alam lainnya adalah karunia Allah subhaanahu wa ta'ala untuk manusia. Seluruh makhluk di bumi ini membutuhkan air. 

Dikisahkan suatu hari, Khalifah Harun Ar Rasyid meminta air, ketika ia akan meminumnya, Ibnu As Sammak berkata, "Sebentar wahai amirul mukminin, jika engkau dilarang meminum air ini, berapakah engkau akan membayarnya?"

Amirul mukminin menjawab, "Setengah dari kerajaanku". Ibnu As Sammak berkata, "Minumlah

Ketika amirul mukminin meminumnya, Ibnu As Sammak bertanya lagi, "Jika air itu tidak bisa keluar dari tubuhmu, berapakah engkau akan membayarnya?"

Amirul mukminin menjawab, "Dengan semua kerajaanku". Ibnu As Sammak berkata, " Sesungguhnya kerajaan itu tidak senilai dengan seteguk air dan keluarnya air dari tubuh (buang air kecil), lebih pantas untuk tidak dinilai dengan sesuatu yang lain". 

Kisah tersebut menerangkan bahwa air itu lebih berharga daripada seluruh kekayaan dan jabatan. Maka sungguh benar jika kemudian Allah subhaanahu wa ta'ala mempertanyakan kepada manusia akan rasa syukur mereka akan nikmat air. Air yang telah memberikan kehidupan kepada bumi dan makhluk di dalamnya.  

Air, Kepemilikan Individu atau Kepemilikan Umum?

Siapa pemilik suatu benda, zat atau barang menjadi penting diketahui untuk menetapkan siapa pihak yang berhak mengelola dan memanfaatkan benda, zat atau barang tersebut.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadistnya mensabdakan, "Kaum muslimin bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam 3 hal yaitu; air, padang, dan api" (HR. Abu Daud)

Berdasarkan hadist tersebut, air menjadi komoditas umum, artinya kepemilikannya adalah kepemilikan umum, sehingga bisa dimanfaatkan bersama-sama. Air dalam cakupan  hadist ini meliputi lautan, sungai, danau, rawa, pantai, air sumber di pegunungan dan lainnya. 

Kepemilikan umum ini tanpa pengelolaan akan menimbulkan masalah. Bila hanya masyarakat saja masih bisa menimbulkan problem. Maka negaralah yang memiliki hak pengelolaan atas air ini. Negara mengelolanya untuk memenuhi hajat seluruh rakyat akan air. 

Jika ada pihak swasta semisal perusahaan mengambil air dari tempat-tempat sebagaimana disebutkan di atas dan air dijadikan komoditas ekonomi maka negara tidak boleh memberikan ijin atas hal ini. Karena air dari tempat-tempat tersebut adalah milik umum, dan dikelola negara untuk diberikan gratis dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyatnya. 

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian menjual kelebihan air karena Rasulullah telah melarang menjual air" (HR. Ahmad)

Adapun air tanah, kepemilikannya akan mengikuti siapa pemiliki tanah tersebut. Sehingga sumur-sumur yang digali oleh pemilik tanah, maka sumur tersebut menjadi miliknya. Adapun jika ada orang lain yang bermaksud mengambil air dari sumur tersebut harus ijin kepada pemiliknya. Dan jika pemiliknya mengijinkan maka menjadi sedekah bagi orang tersebut.

Pemilik sumur tersebut juga boleh mewakafkan sumurnya untuk umum. Dengan wakaf air akan menjadi amal jariyah baginya. Ustman Bin Affan radiyallahu 'anhu memberi teladan terkait hal ini. Beliau pernah membeli sumur dari orang Yahudi kemudian beliau wakafkan untuk kaum muslimin. 

Pengalian sumur di atas tanah pribadi ini tidak memerlukan ijin negara. Negara juga tidak boleh membatasi jumlah air tanah yang dikonsumsi rakyatnya. Terlebih pembatasan dalam rangka mengalihkan rakyat ke penggunaan air yang berbayar dan berpajak. Tentu hal demikian juga tidak benar.

Adapun jika terjadi penurunan permukaan tanah yang terjadi di kota-kota besar semisal Jakarta, Surabaya, Bandung sehingga menghantarkan pada aturan untuk mengajukan ijin penggunaan air tanah yang lebih 100 meter kubik perbulan baik pada rumah tangga atau kelompok, hal ini tidak boleh diarahkan untuk tujuan pemungutan pajak atau berpindah ke air yang berbayar. (https://amp.kompas.com/money/read/2023/10/27/083000926/aturan-baru-masyarakat-pakai-air-tanah-dari-sumur-wajib-izin-kementerian-esdm)

Pemerintah harus mengevaluasi faktor-faktor lain yang mungkin lebih dominan mempengaruhi turunnya permukaan tanah di kota-kota besar. Seperti kepadatan penduduk, beban bangunan yang ada di atas tanah, naiknya air laut karena iklim dan lain-lainnya. Adapun dari sisi rakyat juga harus memanfaatkan air sesuai dengan kebutuhannya.

Khatimah 

Setetes air memberi kehidupan. Selautan air bisa membinasakan ketika manusia ingkar kepada pencipta air. Bukankah Firaun mati dalam lautan air. Dan bukankah umat Nabi Nuh tenggelam dalam banjir air. Semoga kita bisa mensyukuri nikmat air dan menjadi hamba Allah subhaanahu wa ta'ala yang bisa mengelola dan memanfaatkan air dengan benar. Aamiin.

Wallahua'lam bis shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah