يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Minggu, 19 Januari 2025

Bila Tak Malu, Lakukan Sesukamu!

Malu, salah satu perasaan yang Allah subhaanahu wa ta'ala tetapkan ada pada diri manusia. Sebagai qadar yang tidak terhapus, kecuali terlepasnya ruh dari raga. 

Nabi Adam dan Hawa sebagai manusia awal telah menampakkan perasaan malu mereka sesaat setelah memakan buah khuldi (QS. Taha: 121).

Malu yang ditampakkan oleh keduanya adalah karena mereka telah melakukan kemaksiatan. Yaitu melanggar apa yang Allah subhānahu wa ta'ala larang atas mereka. Melanggar larangan memakan buah khuldi.

Sungguh keduanya malu bercampur takut kepada Allah subhānahu wa ta'ala. Kemudian berdoalah keduanya (QS. Al A'raf: 23), hingga kemudian turunlah ampunan untuk keduanya (QS. Al Baqarah: 37). Setelah itu ditransmigrasi ke bumi (QS. Al A'raf: 24-25)

Malu dalam Hadist Nabi shallallāhu 'alaihi wa sallam 

Rasulullah shallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda, 

ْاِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الْاُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَع

ماَشِئْتَ 

" Sesungguhnya dari apa yang didapatkan manusia dari perkataan nubuwwah yang terdahulu adalah apabila kamu tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesuai apa yang kamu mau" (HR. Bukhari)

Dalam syarah hadist arba'in, Ibnu Daqiiqil 'Ied dijelaskan bahwa sabda Nabi, " فَاصْنَعْ  ماَشِئْتَ maka lakukanlah sesuai apa yang kamu mau" memiliki dua makna; pertama, yang dimaksud bukan perintah akan tetapi justru sebagai ancaman dan peringatan keras. Atau dengan bahasa lain " Terserah kamu, lakukan sesukamu!". Kedua, bermakna lakukanlah setiap sesuatu yang tidak malu bagi orang yang mengerjakannya.

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda, 

ِالحَيَاءُ مِنَ الْإِيْمَانِ وَ الْإِيْمَانُ فِي الْجَنَّة 

"Malu itu bagian dari iman dan iman tempatnya di surga" (HR. Tirmidziy)

Pengaitan malu dengan iman menjadi indikasi bahwa salah satu sifat orang beriman adalah memiliki rasa malu. Malu yang lahir dari keimanan kepada Allah subhānahu wa ta'ala menjadikan pemiliknya, menjadi malu berbuat maksiat. Karena ia merasa diawasi Allah subhānahu wa ta'ala. Menjadikan ia malu apabila meninggalkan perintah Allah subhānahu wa ta'ala.

Orang-orang yang memiliki malu demikian inilah, yang akan menggantarkan mereka ke surga. Sebagaimana disebutkan dalam hadist tersebut, " ... dan iman tempatnya di surga", artinya orang beriman yang memiliki rasa malu akan berada di surga, buah ia malu bermaksiat dan malu meninggalkan ketaatan kepada Allah subhānahu wa ta'ala.

Malu yang Terkikis 

Malu ibarat pagar bagi manusia. Sebagaimana pagar ketika rusak, maka mudah keluar masuk dari dalam maupun dari luar. 

Demikian pulalah ketika malu terkikis dalam diri seseorang. Betapa mudah ia keluar dari rel aqidah dan syariah Islam. Betapa mudah ia menerima pemikiran, opini, budaya, gaya hidup diluar Islam. 

Contoh perbuatan keluar dari aqidah dan syariah Islam seperti; tidak malu juga tidak merasa bersalah ketika lebih yakin dengan ramalan dukun dari pada tawakal kepada Allah subhānahu wa ta'ala. Tidak malu atau malah bangga bisa melakukan praktek perdukunan. Tidak malu ketika meninggalkan sholat. Tidak malu belum bisa membaca Alquran. Tidak malu meninggalkan syariah Islam dalam berekonomi, bersosial hingga berpolitik dan lain-lainnya. 

Contoh perbuatan mengikuti pemikiran dan life style diluar Islam seperti; tidak malu berbusana ketat, menampakkan aurat sebagaimana orang-orang barat. Tidak malu meniru-niru budaya valentin. Tidak malu berada dalam hiruk pikuk konser musik. Tidak malu bergaul bebas lepas dengan lawan jenis, dan lain-lainnya.

Rasa tidak malu sebagaimana disebutkan pada contoh di atas adalah hal yang terkategori tidak benar. Jika tidak benar berarti ada pelanggaran. Jika pelanggaran maka berbuah dosa. 

Terkikisnya rasa malu pada diri pejabat, itu memiliki efek yang lebih besar daripada rakyat biasa. Karena penguasa memiliki kekuasaan dan kekuatan. Contoh simple saja, ketika pejabat tidak malu melihat rakyatnya miskin, tidak memiliki rumah, tidak bisa membiayai anaknya sekolah, sedang ia sebagai pejabat hidup berkecukupan bahkan mewah, maka ia akan biasa saja melihat fakta itu, tidak gundah, hingga tidak pusing membuat kebijakan 'demi rakyat untuk rakyat'.

Khatimah

Kita memohon kepada Allah subhānahu wa ta'ala dengan usaha memupuk hati dengan keimanan, istiqamah di dalam beriman, dan  berusaha memahami serta mengamalkan ayat-ayatNya dan sabda NabiNya, malu yang sudah fitrah adanya ini, di arahkan pada penempatan yang benar. Aamiin aamiin yaa rabbal'aalamiin

Wallahua'lam bis shawāb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah