Dalam syarah Hadist Arbain Ibnu Daqiiqil Ied dijelaskan bahwa malu adalah salah satu syariat para nabi-nabi terdahulu.
Sabda nabi, "...maka berbuatlah sesukamu", mengandung dua makna. Pertama, kalimat itu bukanlah perintah akan tetapi ancaman dan peringatan keras. Karena sebenarnya telah jelas apa-apa yang haq (harus dikerjakan) dan apa-apa yang batil (harus ditinggalkan).
Nah, umumnya manusia, apabila menasehati seseorang, kemudian orang tersebut tidak berubah baik, ia akan membiarkannya. Akan dikatakan kepadanya, "Terserah kamu". Jadi, ibarat itulah makna pertama dari sabda nabi tersebut. Sehingga pelajarannya, jangan melakukan sesuatu yang batil itu.
Makna kedua dari sabda nabi, "...maka berbuatlah sesukamu", adalah lakukankah setiap sesuatu yang tidak malu orang mengerjakannya. Artinya lakukan yang haq. Dan rasa malu itu mencegah seseorang berbuat maksiat atau kekejian.
Akhlaq Malu Yang Menghilang
Sabda nabi shallallaahu 'alahi wa sallam di atas menjadi penting untuk diketahui, dihafal, dan diamalkan oleh umat akhir zaman ini. Dimana, rasa malu yang itu bagian dari sifat fitrah manusia, kian terkikis. Bagaimana tidak terkikis, ketika manusia sudah menganggap bukan hal tabu untuk mengambil peran sebagai mucikari atau pelacuran. Bahkan pelacuran dianggap pekerjaan. Muncullah istilah pekerja seks komersial, na'udzubillahi min dzalik.
Fakta, Polda metro jaya beberapa waktu lalu menangkap seorang mucikari FEA di Johor Baru, Jakarta Pusat, disebutkan ada 21 anak yang diperjual-belikan FEA dengan jaringan di beberapa wilayah. (https://m.kbr.id/indonesia/09-2023/pemerintah-belum-serius-mengatasi-prostitusi-anak/112742.html).
Betul sabda nabi yang menyatakan bahwa rasa malu itu beriringan dengan iman dalam hati seseorang. Nabi bersabda, "Malu itu bagian dari iman" (HR. Bukhari).
Ketika iman masih ada, walau secuil, ia akan menjaga fitrah sifat malu. Sebaliknya, ketiadaan iman, bisa mencerabut fitrah sifat malu tersebut.
Benar yang difirmankan Allah subhaanahu wa ta'ala, bahwa manusia bisa lebih sesat dari binatang ketika punya hati, mata, pendengaran tapi tidak digunakan untuk memikirkan ayat-ayatNya. (QS. Al A'raf: 179).
Fenomena seseorang memilih sebagai mucukari, atau PSK adalah satu contoh dari hilangnya rasa malu dan lemahnya keimanan kepada Allah subhaanahu wa ta'ala.
Iman Dizona Tidak Aman
Iman adalah benteng bagi orang beriman. Ketika benteng itu diserang dari berbagai arah dan dengan berbagai sarana, lama-lama ia bisa ambruk. Jebol dan masuklah musuh-musuh iman.
Musuh-musuh iman bukan hanya setan. Ada yang berupa pemikiran, seperti liberalisme, konsumerisme, hedonisme, dan isme-isme turunan dari ideologi sekulerisme-kapitalisme lainnya.
Ketika musuh-musuh iman ini masuk, maka nafsu, jadi penguasa atas diri manusia. Nafsu akan menyisihkan sifat-sifat fitrah seperti malu. Akhirnya, berbuatlah manusia seperti kemauan nafsunya.
Muncullah berbagai perilaku yang kadang membuat manusia lainnya heran, 'Kok ada manusia yang berbuat begitu!'.
Ceritanya akan melebar tatkala musuh-musuh iman tadi menyerang suatu masyarakat atau negara. Masyarakat adalah komunitas dengan jumlah individu yang banyak dan diikat dengan perasaan dan peraturan tertentu. Demikian pula negara, cakupannya lebih luas lagi. Ketika benteng masyarakat atau negara jebol maka kerusakan perilaku bisa menimpa satu kaum, satu suku, hingga satu negara.
Misal, ketika tatanan sosial yang diterapkan di kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara adalah liberal-sekuler, maka perilaku yang hewanpun tidak melakukannya bisa dapat ruang. Seperti seks bebas, LGBT, prostitusi, dan perilaku menyimpang lainnya. Maksiat jadi cepat menyebar dan meningkat kuantitasnya.
Jadi, inilah bahayanya, ketika penduduk suatu kaum atau negara tidak menerapkan sistem kehidupan yang lahir dari keimanan kepada Al Khaliq (Allah subhaanahu wa ta'ala).
Adapun jika suatu kaum atau bangsa itu beriman dan menerapkan sistem dari Allah subhaanahu wa ta'ala maka keberkahan untuk umat atau bangsa tersebut.
Allah Subhaanahu wa ta'ala berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَ خَذْنٰهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)
Dengan demikian, mengatasi masalah eksploitasi anak, mucikari, PSK atau lainnya tidak cukup dengan mengembalikannya pada individu, tapi dibutuhkan masyarakat dan negara yang mendukung iman para individu rakyat, sehingga kokoh bentengnya baik dilapisan individu, masyarakat hingga negara. Dan masyarakat dan negara yang demikian hanya terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah, bi idznillah.
Khatimah
Ibarat buih di lautan Rasulullah mengibaratkan umatnya di akhir zaman. Tidakkah kita malu menjadi buih padahal Allah subhaanahu wa ta'ala menyebut kita sebagai umat terbaik? Berpegang pada Al Qur'an dan As Sunnah itulah yang akan merubah keadaan dari buih menjadi gelombang yang rahmatan lil 'alamin.
Wallahua'lam bis shawwab.