![]() |
Pertanyaan ini mencakup perbuatan Allah subhânahu wa ta'ala. Berarti harus dicarikan jawaban dari Alquran, sebagai kalamullah.
Pertama, bahwa Allah subhânahu wa ta'ala telah menciptakan hati dengan potensi hati sebagai tempatnya perasaan dan berfikir (Qs. Al A'raf: 179). Berarti di dalam hati setiap manusia mengandung perasaan seperti suka, benci, dan perasaan lainnya. Dengan demikian, perasaan itu adalah ketetapan (qadar) yang Allah subhânahu wa ta'ala ciptakan dan tetapkan ada pada hati.
Perasaan-perasaan tersebut akan muncul ketika ada hal yang merangsang kemunculannya. Dan rangsangan itu didapat manusia saat berinteraksi dengan manusia, hewan ataupun benda. Dari yang dilihat, didengar, dipegang, dibau, bisa memunculkan perasaan tertentu, bisa suka, benci, dan lainnya.
Dan ketika manusia menaruh perasaan tertentu setelah berinteraksi, maka Allah subhânahu wa ta'ala mengetahui hal itu. Dan jika sudah nampak, penampakan dari rasa tersebut, berarti ya demikianlah yang diridai Allah subhânahu wa ta'ala dan demikian pula yang tertulis dalam lauh mahfuzNya.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
قُلۡ إِن تُخۡفُواْ مَا فِي صُدُورِكُمۡ أَوۡ تُبۡدُوهُ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُ ۗ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيرٞ
"Katakanlah, "Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya." Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 29)
وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡنٍ وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَانٍ وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِ ۚ وَمَا يَعۡزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثۡقَالِ ذَرَّةٍ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصۡغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرَ إِلَّا فِي كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
"Dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah, baik di Bumi maupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)." (QS. Yunus 10: Ayat 61)
Kedua, karena rasa sebagai ciptaan Allah subhânahu wa ta'ala maka manusia tidak dapat jatah pahala ataupun dosa. Adapun amalnya rasa ini yang akan dimintai pertanggungjawaban. Kepada apa sukanya? Kepada apa bencinya?. Karena apa sukanya? Karena apa bencinya?.
Misalnya seseorang benci pada kejahatan, karena kejahatan itu dibenci Allah subhânahu wa ta'ala. Maka benci seperti ini adalah benci yang benar, berbalas pahala. Misalnya seseorang suka pada kemaksiatan atau kejahatan, karena nafsu atau terbawa pengaruh teman, maka suka seperti ini tidak benar, maka berbalas dosa.
Allah subhânahu wa ta'ala berfirman;
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
"Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 31)
كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُۥ عِندَ رَبِّكَ مَكۡرُوهًا
"Semua itu kejahatan sangat dibenci di sisi Tuhanmu." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 38)
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 36)
Berdasarkan ayat 36 surah al Isra' tersebut, dapatlah kita peroleh kaidah bahwa perbuatan hati ataupun lahiriah itu harus terikat dengan hukum syara' karena ada pertanggungjawabannya. Artinya akan dikenai balasan dosa ataukah pahala.
Hal ini berbeda dengan pemaknaan ayat terkait Allah subhānahu wa ta'ala pencipta segala apa yang ada di alam semesta ini.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعًا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
"Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 29)
Kata مَّا pada ayat tersebut adalah isim mausul mewakili benda (dzat yang bisa dipegang, dilihat) bukan perbuatan manusia. Dan berposisi sebagai maf'ul (objek). Sehingga semua yang ada di alam ini diciptakan Allah subhânahu wa ta'ala untuk manusia, untuk dimanfaatkan manusia. Dari sini dapat diperoleh hukum bahwa asal semua benda itu untuk manusia, boleh dimanfaatkan manusia kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Dan atas apa yang diciptakan Allah subhânahu wa ta'ala itu, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban, juga tidak mendapatkan pahala ataupun dosa. Adapun perbuatan manusia atas benda itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Digunakan untuk apa dan bagaimana mendapatkannya, itu yang akan dipertanggungjawabkan.
Dari uraian ini, berarti sudah diperoleh perbedaan antara hukum benda dan perbuatan manusia.
Ketiga, bila amalnya rasa itu dimintai pertanggungjawaban berarti ada balasan dosa dan pahala. Sedangkan pahala dan dosa itu hanya diberikan kepada apa yang dilakukan, dikerjakan, diperbuat manusia di bawah pikiran sadarnya, bukan dalam kondisi hilang akalnya, bukan pula dalam kondisi terpaksa demi menyelamatkan dari kematian.
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan apakah jika seseorang menyukai sesuatu atau membenci sesuatu itu atas kehendaknya sendiri atau diciptakan Allah subhânahu wa ta'ala? Jawabannya, Allah subhânahu wa ta'ala adalah pencipta hati dengan potensi perasaan di dalamnya, adapun manusia saat menaruh perasaan pada sesuatu adalah buah ikhtiarnya ketika berinteraksi dengan lainnya.
Keempat, berdasarkan firman Allah subhânahu wa ta'ala berikut ini,
يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ
"Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuz)." (QS. Ar-Ra'd 13: Ayat 39)
Berdasarkan ayat tersebut, berarti amalnya perasaan, misal menyukai sesuatu atau membenci sesuatu atau lainnya bisa terwujud ketika Allah subhânahu wa ta'ala mengizinkan terjadinya. Dan setelah terjadi, berarti itulah yang diridai Allah subhânahu wa ta'ala dan yang tertulis dalam lauh mahfuzNya.
Kelima, dengan runtutan demikian, maka benarlah jika Allah subhânahu wa ta'ala menyuruh hambaNya untuk berusaha dan berdoa. Karena manusia tidak mengetahui apa yang tertulis di dalam lauh mahfuzNya.
Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda; "Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang menambah umur kecuali kebaikan" (HR. Tirmidziy)
Berdoa, supaya perasaannya adalah perasaan yang benar yang diridai Allah subhânahu wa ta'ala, jatuh pada hal yang diridai Allah subhânahu wa ta'ala.
Adapun usaha, adalah berusaha menjaga perasaannya dari hal yang dibenci Allah subhânahu wa ta'ala kepada apa yang diridai Allah subhânahu wa ta'ala.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَ ۚ وَسۡئَلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمًا
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 32)
Dengan demikian, usaha dan doa yang manusia lakukan, secara tidak langsung adalah upaya memohon ditetapkannya pada kebaikan dan ketaatan, sekaligus upaya mengungkap apa yang tercatat dalam lauh mahfuzNya. Dan pada usaha serta doa yang mampu manusia lakukan inilah, seharusnya menjadi konsentrasi manusia, karena usaha dan doanya akan dimintai pertanggungjawaban dan berbalas dosa atau pahala.
Khatimah
Cukuplah ayat berikut ini sebagai penutupnya.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
يُوْلِجُ الَّيْلَ فِى النَّهَا رِ وَيُوْلِجُ النَّهَا رَ فِى الَّيْلِ ۗ وَهُوَ عَلِيْمٌ بِۢذَا تِ الصُّدُوْرِ
"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati."(QS. Al-Hadid 57: Ayat 6)
Wallâhua'lam bis shawâb