Pada
tanggal 25 November saya mendapatkan sms yang berisi ucapan selamat hari guru. Teman-teman
yang berprofesi sebagai guru mungkin juga mendapatkan ucapan selamat semisal
dengan itu. Hari guru memang tepat bila dijadikan sebagai moment untuk merenung
dan evaluasi diri para guru. Sudahkah layak disebut sebagai guru alias
pendidik? Sudah benarkah cara pengajaran dan pembelajaran yang diberikan?
Sudahkah mencerahkan pemikiran peserta didik atau malah sebaliknya menjadikan
peserta didik kian tenggelam dalam kubangan sekulerisme dan pemuja barat?.
Topik
pembicaraan yang selalu hangat dikalangan guru saat ini adalah seputar sertifikasi,
PPG, PLPG, UKG, tunjangan fungsional, impashing dan yang sejenis dengan itu. Semua
topik itu menjurus pada satu kata yaitu “uang”. Kenapa guru mendamba ingin
sertifikasi, pasti jawaban sebenarnya karena uang sertifikasi yang mengiurkan.
Tidak salah bila gurupun ingin kaya, juga tidak salah bila guru ingin segera
sertifikasi. Karena Rasulullahpun menginginkan umatnya menjadi umat yang kaya,
profesional tentunya dalam bingkai keimanan. Tapi kemudian yang bahaya adalah
apabila uang sebagai motivasi mengajar. Motivasi
materi dalam pendidikan menurut Imam al
Ghazali tidaklah benar. Dan menurut penulis ini adalah bahaya. Bila sudah dapat
uang bisa jadi guru mengajar asal-asalan, tidak ikhlas mengajar, padahal
harusnya semua amal seorang muslim itu karena Allah swt untuk mendapatkan ridho
Allah swt.
Imam
al Ghazali mendefinisikan pendidik sebagai pelita segala zaman, orang yang
hidup semasa dengannya akan mendapatkan pancaran nur keilmiahannya. Definisi al
Ghazali ini memberikan kedudukan yang mulia kepada pendidik. Namun nyatanya
sosok yang seperti itu kini masih sangat jauh. Cahaya yang dipancarkan guru
kian redup tergerus oleh sekulerisme kapitalisme. Senjata untuk memancarkan
cahaya itulah yang kini hilang dari pemahaman guru. Ibnu Miskawayh dalam
kitabnya Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A’rāq memberikan penjelasan bahwa shariat agamalah pegangan itu. Menurut
Ibnu Miskawayh shariatlah yang akan membiasakan manusia untuk berbuat baik dan
menyiapkan diri manusia untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan
mencapai kebahagiaan melalui berfikir dan penalaran yang akurat.
Dengan
demikian apabila guru paham shariat maka dia akan menjadi guru yang berkarakter
Islam, dia akan menasehati murid dengan shariat, akan meluruskan dengan shariat
dan akan mengajak anak didik taat shariat. Aturan apalagi yang bisa menjadikan
sukses pendidikan karakter yang dicanangkan oleh pemerintah kalau bukan
shariatnya Allah swt? Inilah kemudian kehadiran guru yang cerdas ideologis
sangat diperlukan. Guru yang cerdas sudah banyak, tapi kemudian guru yang cerdas
ideologis inilah yang masih sedikit dan dibutuhkan Indonesia. Tentunya
ideologis dengan mabda Islam.
Guru
cerdas ideologis setidaknya bisa menanam 7 kriteria yang seharusnya ada pada
pendidik. Tujuh kriteria itu adalah, pertama, bertakwa kepada Allah swt,
berlandas pada QS. 3: 102, QS. 33: 70, QS: 66: 12. Kedua, Ikhlas. QS. 4: 146. Ikhlas untuk mengapai ridho Allah. QS. 12: 24. Ketiga,
Berilmu, menguasai materi, dan terus meningkatkan kualitas dirinya
sehingga membedakan antara yang berilmu dan tidak. Empat, Menguasai variasi metode mengajar. Lima, Jujur, santun,
lemah lembut, sabar, pemaaf (QS. 3: 134). Enam, Menyuruh pada yang
ma’ruf (QS. 7 : 134). Tujuh, memiliki rasa
tanggungjawab yang tinggi (QS. 20. 132). Dengan tujuh kriteria inilah insyaAllah pendidik dalam filosofi Jawa yaitu orang yang bisa digugu dan ditiru dapat
terwujud. Wallahua’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar