يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Jumat, 01 Desember 2017

SUDAHKAH KITA MENCINTAI NABI SAW?

Mencintai Nabi Muhammad SAW adalah bagian dari yang diperintahkan Allah SWT. Dan menjadi bukti keimanan seorang hamba kepada beliau. Bahkan tidak sempurna iman seorang hamba hingga ia mencintai Nabi Saw melebihi cintanya kepada sesamanya -(QS. At Taubah:24)-.

Hal ini karena melalui Nabi Saw lah manusia bisa mereguk nikmat yang luar biasa. Nikmat iman dan Islam. Hal terindah apa bagi seorang muslim yang melebihi nikmat beriman kepada Allah Swt dan mentaatiNya? Inilah kenikmatan tertinggi. Maka layak bagi orang yang telah menunjuki jalan ini –yakni Rasulullah Saw-, dicintai oleh orang yang telah ditunjukinya.

Ada banyak teladan sahabat dalam mencintai Nabi Saw. Seperti kisah Abu Dujanah yang merelakan dirinya menjadi perisai bagi Nabi Saw. Dalam Sirah Ibnu Hisyam, Imam Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Lalu Abu Dujanah menjadikan dirinya sebagai perisai Rasulullah. Sehingga punggungnya terkena panah ketika melindungi Rasulullah dengan cara membungkukkan badannya. Akibatnya ia dihujani panah musuh dan anak panah pun memenuhi punggungnya”. Dalam riwayat lain disebutkan, ia tidak bergeming dari tempatnya. Allahu Akbar. Inilah contoh cinta tulus para sahabat kepada Rasulullah Saw. Rela dipertaruhkan nyawanya demi Nabiullah Muhammad Saw.

Lantas, bagaimana dengan kita yang hidup tidak sezaman dengan Nabi, hal apa yang bisa kita pertaruhkan sebagai bukti cinta kita kepada Rasul junjungan? Sungguh betapa malunya kita, tidak ada seujung kuku pengorbanan kita kepada Beliau dibandingkan dengan para sahabat. Lisan ini bila ditanya, “cintakah kepada Nabi Saw?”, Maka kontan menjawab; “cinta”. Tapi berkirim sholawat kepada Beliau tidak mau, mengikuti sunnahnya juga enggan, melaksanakan perintahnya masih pilih-pilih dan semau diri sendiri. Tentu sikap yang demikian ini bukan perwujudan cinta.

Menumbuhkan kecintaan kepada Nabi Saw dalam kehidupan yang sekuler dan hedonis seperti saat ini, memang tidak mudah. Jauhnya diri kita dari gambaran kehidupan Nabi Saw dan dekatnya diri dengan kehidupan yang tidak Islami adalah salah satu faktornya. Ilmu, berita ataupun sirah Nabi yang minim dikonsumsi, mengikis pengagungan dan hasrat untuk meneladani beliau. Oleh sebab itulah, meski sholawat sering kita ucap, minimal dalam sholat, tapi tidak memberikan kesan ke dalam hati. Semua hanya menjadi rutinitas tanpa ada pemaknaan yang berarti.

Bahkan setiap tahun umat Islam khususnya di negeri ini memperingati kelahiran Nabi –maulid Nabi Saw-. Peringatan tiap tanggal 12 Rabiul Awal ini, belum mampu membangkitkan spirit umat Islam untuk melanjutkan peradaban Islam yang telah Beliau bangun. Islam masih diambil sisi spiritualitasnya. Sehingga ketika keluar dari majlis peringatan ini, umat tidak menyadari kalau bertransaksi dengan riba adalah dosa, interaksi yang bebas antara laki-laki dan perempuan adalah dilarang, meninggalkan hukum syariat dalam berkehidupan adalah keliru. Akhirnya pilihan hidup dalam tatanan sekulerisme menjadi pilihan.

Moment peringatan lahirnya Nabi Saw adalah waktu yang tepat bagi pribadi muslim untuk melakukan muhasabah diri. Sejauh mana ia telah menempatkan Rasulullah Saw sebagai Nabinya? Teladan hidupnya? Dan ketaatan dalam menjalankan perintah dan menjauhi laranganya? Moment untuk membaca sirah agar kita mengetahui bagaimana perjuangan beliau dalam mendakwahkan agama ini. Pengorbanan yang mempertaruhkan nyawa pribadi hingga keluarganya. Kesyahduan beliau dalam ibadah dan munajat kepada Allah Swt. Ketawadhuan dan kemulian akhlaq beliau kepada sesama. Keteladanan beliau dalam mendidik dan membina masyarakat. Kharismatik beliau dalam kepemimpinan atas negara madinah. Keharmonisan rumah tangga beliau hingga keharuan bumi dan seisinya saat malaikat mengangkat ruh nya untuk kembali kepada Rabbul’izzati.

Adapun dalam tataran kehidupan bermasyarakat dan bernegara, moment peringatan lahirnya Nabi Saw adalah saat yang tepat untuk membuka lembaran sejarah bagaimana Rasulullah Saw memimpin Madinah pada waktu itu. Bagaimana Rasulullah menjalankan perannya sebagai kepala negara. Hukum apa yang Rasulullah Saw terapkan, bagaimana Rasulullah Saw mengatur roda ekomoni, pemerintahan, sosial dan pertahanan kota Madinah. Bagaimana politik Nabi Saw atas orang-orang non muslim yang hidup dalam negara Islam. Hingga bagaimana politik luar negeri Rasulullah Saw yang mampu membawa wilayah-wilayah lainnya tunduk pada Islam dan kepemimpinan Beliau. Membuka kembali sirah ini, kemudian direnungkan sudahkan tataran kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita meneladani Nabi Saw?

Maka, apabila hendak mengukur kecintaan kita kepada Nabi Saw, berarti menimbang sejauh mana kita meneladani Nabi Saw, baik dalam tataran kehidupan pribadi, bermasyarakat, hingga bernegara. Meneladani beliau karena keimanan bukan karena keberhasilan duniawi yang beliau torehkan. Karena mencintai dan meneladani Nabi adalah bagian dari iman. Dan sesungguhnya setiap apa yang beliau lakukan atas bimbingan wahyu. Sehingga orang-orang yang mengikuti beliau secara tidak langsung telah menjalankan wahyu ilahi.

Semoga seruan Allah Swt dalam QS. Al Baqarah: 208 dapat dipenuhi umat Islam, sehingga kehidupan Islam dengan diterapkannya syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan itu segera nyata.
‘Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu". Wallahua'lam.

Dipun Waos Piantun Kathah