Ijtima ulama I dan II mengubah atmosfer perpolitikan di Indonesia. Kesadaran ulama akan persoalan bangsa memunculkan beraneka ragam reaksi. Seperti munculnya statement larangan ulama dibawa ke dalam kancah politik praktis. Padahal KH. Ma’ruf Amin seorang ulama, malah maju jadi cawapres. Atau juga muncul statemen ijtima ulama bukan ijtima ulama MUI. Pertanyaannya, apakah kemudian ulama yang tidak masuk MUI tidak diakui keulamaannya?
Ulama bangkit, pedulilah ulama kini dengan masalah politik. Kebangkitan ulama ini wajar jika digoncang oleh kubu pengusung sekulerisme, kapitalisme dan demokrasi. Ibarat minyak dengan air, sistem Islam memang tidak bisa menyatu dengan demokrasi. Namun masalahnya, bukan pada adu argumennya. Tapi mana yang benar, karena kebenaran itulah yang harus dipilih. Dan ukuran benar tidaknya itu adalah kembali kepada kitabullah dan sunnah Nabi SAW.
Oleh karena itu, sudah seharusnya ulama peduli dengan politik. Bahkan wajib memiliki kesadaran politik. Berpolitiknya ulama adalah untuk memberikan pencerahan kepada umat, apa itu politik. Sehingga umat Islam sadar bahwa kehidupan bernegara itu diatur oleh politik. Baik pendidikan, ekonomi, pemerintahan, kehidupan bersosial hingga hal terkecil semisal harga cabe. Semuanya tergantung sistem politik apa yang diterapkan oleh negara.
Dengan sadar politik umat Islam tidak lagi phobi dengan politik. Umat Islam jadi tahu perbedaan politik demokrasi dengan politik Islam dalam mengurus urusan rakyat. Sehingga rakyat bisa membaca kesalahan kebijakan yang diterapkan penguasa. Kemudian melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Hingga kemudian tumbuh kesadaran umum dalam diri umat bahwa ada tanggungjawab dipundak mereka untuk menerapkan syariah Allah SWT. Inilah tujuan ulama berbicara politik, memberikan pencerahan kepada umat.
Dan ketika ada penguasa yang berbuat dzalim, melanggar syariat Islam, maka ulamalah pihak pertama yang berkewajiban angkat bicara. Mengingatkan penguasa tersebut, walau itu beresiko dengan nyawa sebagai taruhannya. Karena gelar ulama yang menempel dipundaknya adalah menjadi penanda sebagai pewaris para Nabi. Pewaris Nabi dalam menegakkan kebenaran. Menegakkan kalimat Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Pahlawan syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib dan orang yang menghadap penguasa yang zalim dan kejam untuk menyuruhnya berlaku baik dan mencegahnya berbuat kejahatan lalu dia dibunuh oleh penguasa”. (HR. Al Hakim).
Inilah peran politik ulama dalam Islam. Peran untuk membangkitkan kesadaran tauhid umat, ketaatan yang kaffah kepada Allah SWT. Sehingga umat meninggalkan sistem demokrasi dan menginginkan penerapan syariah Allah SWT. Yang dengan begitu, keadilan dapat dirasakan oleh seluruh alam beserta isinya.
Allah SWT berfirman, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al A’raf: 96). Wallahua’lam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dipun Waos Piantun Kathah
-
Kamu, Pasti punya orang tua Ada bapak, ada ibu Senang pastinya kamu, memiliki kedua orang tua Tenang hidup bersama mereka Semua kebutuhan ...
-
Terhitung dari hari ini, Indonesia dipimpin oleh presiden dan wakil presiden baru. Pak Prabowo dan Pak Gibran. Baarakallaahu fiikum. Sebaga...
-
Presiden Jokowi menandatangani PP No 28 Tahun 2024 tentang kesehatan. Pada pasal 103 ayat 1 disebut upaya kesehatan sistem reproduksi anak s...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar