Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al Hujurat: 13)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah SWT menerangkan bahwa makhluk yang Ia ciptakan plural. Ada laki-laki ada perempuan. Berbangsa-bangsa dan bersuku-suku menjadi indikasi keberagaman. Beragam warna kulitnya, beragam wilayah asalnya, beragam adat kebiasaannya, beragam makanan khasnya, beragam pekerjaanya, beragam kelompoknya, beragam agama yang dianutnya dan perbedaan lainnya. Jadi, pluralitas adalah sunnatullah.
Namun kalimat selanjutnya masih dalam ayat tersebut, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”.
Dengan sekian milyar kemajemukan yang melekat pada manusia, Allah SWT tetapkan bahwa yang paling mulia/paling tinggi kedudukannya disisi Allah SWT adalah yang paling bertakwa.
Hanya ada satu jalan untuk meraih takwa yaitu dengan mentaati Allah SWT sepenuhnya. Yakni dengan menjalankan seluruh ajaran Allah SWT yang termaktub dalam Al Quran maupun hadist Nabi SAW. Al Quran dan Hadist Nabi hanya ada dalam Islam. Bukan pada aliran kepercayaan, maupun agama lainnya. Jadi, hanya Islam yang bisa menghantarkan pada takwa. Keyakinan ini harus sepenuhnya dimiliki oleh umat Islam tanpa mendua dengan agama yang lain.
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali Imran: 19)
Jebakan argumen yang bermaksud menyelisihi keyakinan umat Islam datang siang maupun malam. Kaum liberal dengan jargon HAM hendak menjebak umat Islam untuk membenarkan apapun itu yang dilakukan oleh manusia selama tidak menganggu hak orang lain. Satu diantara ide sesat itu adalah pluralisme. Paham ini sengaja dihadirkan ketengah umat Islam untuk meruntuhkan keyakinan umat Islam akan agamanya lah satu-satunya yang benar. Untuk digiring kepada kebenaran yang bersifat general. Yakni semua agama adalah benar, aliran kepercayaan juga benar, bahkan tidak beragama juga benar.
Alasan mereka karena itu bagian dari hak asasi manusia. Jika keyakinan ini diamini oleh umat Islam, maka akan menghantarkan kepada syirik –menyekutukan Allah SWT-.
Ujaran lain yang sering dijadikan dalil untuk mendukung pluralisme adalah keyakinan bahwa Tuhan yang Haq itu adalah Allah SWT. Allah SWT yang Esa. Jadi hakikatnya –penganut agama lain ataupun aliran kepercayaan- itu juga menyembah Allah SWT. Walaupun dengan cara yang masih keliru.
Jawaban atas ujaran itu adalah fakta dihukumi adalah apa yang terindra bukan hakikat yang tak kasat mata. Padahal sudah jelas bahwasannya siapa nama Tuhan yang mereka sembah, apa yang mereka sembah, bagaimana cara mereka menyembah, dan tujuan amal mereka untuk siapa.
Jika membenarkan apa yang mereka lakukan berarti bagi umat Islam telah melakukan kesyirikan/ menyekutukan Allah SWT. Padahal syirik termasuk dosa besar yang tidak diampuni Allah SWT. Kecuali taubat dengan sebenar-benarnya taubat.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisa’: 48)
Inilah perangkap berbahaya bernama pluralisme yang disiapkan oleh kalangan liberal. Lantas bagaimana sikap seorang muslim seharusnya?
Pilihan Sikap Seorang Muslim
Tidak ada dalil dalam Al Quran maupun as Sunnah yang memerintahkan umat Islam mengakui pluralisme. Adapun yang ada adalah firman Allah SWT yang menjelaskan pluralitas atas makhluk yang diciptakannya. Dan pluralitas itulah yang wajib diakui dan diterima oleh umat Islam maupun umat manusia keseluruhannya.
Dengan demikian, dalam hal beragama tetaplah lakum diinukum wa liyadin. Tidak mengakui pluralisme bukan berarti memusuhi mereka yang berbeda agama. Namun sikap umat Islam adalah toleransi tanpa menciderai aqidahnya sendiri. Tanpa melukai dan menduakan Allah SWT. Berani menunjukkan identitas syariat Islam yang diwajibkan bagi umat Islam. Jadi, tetap berjabat tangan dan saling tolong menolong dalam kebaikan walau berbeda keyakinan.
Sebagaiman dicontohkan Nabi SAW dan para khulafaur rasyidin. Saat peristiwa fathul Makkah, Rasulullah tidaklah membalas segala penyiksaan yang dilakukan kaum musyrikin terhadap beliau. Rasulullah berikan pengampunan. Teladan juga datang dari Umar bin Khattab. Ia tegakkan keadilan terhadap seorang Yahudi. Bahkan Salahuddin al Ayyubi yang seandainya mau bisa menghabisi tentara Nasrani yang sebelumnya telah menumpahkan darah kaum muslim Palestina. Namun hal itu tidak beliau lakukan.
Kesimpulannya, umat Islam harus pandai memfilter isme-isme sesat yang sengaja di sodorkan di alam demokrasi ini. Demikian pula berita hoax yang bisa memicu perpecahan umat Islam hingga perselisihan antar umat beragama. Pasalnya, sistem demokrasi bukanlah sistem yang mampu mewujudkan kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin. Wa ma taufiqi illa billah. Wallahua’lam bis showab.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dipun Waos Piantun Kathah
-
Kamu, Pasti punya orang tua Ada bapak, ada ibu Senang pastinya kamu, memiliki kedua orang tua Tenang hidup bersama mereka Semua kebutuhan ...
-
Terhitung dari hari ini, Indonesia dipimpin oleh presiden dan wakil presiden baru. Pak Prabowo dan Pak Gibran. Baarakallaahu fiikum. Sebaga...
-
Presiden Jokowi menandatangani PP No 28 Tahun 2024 tentang kesehatan. Pada pasal 103 ayat 1 disebut upaya kesehatan sistem reproduksi anak s...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar