Adapun skala nasional sebagaimana disebutkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bahwa angka stunting di Indonesia di angka 24,4 % dari 23 juta balita. Jika dibulatkan sekitar 6 jutaan balita dengan status stunting. (https://www.detik.com/jateng/berita/d-5963721/angka-stunting-di-indonesia-244-bkkbn-melebihi-standar-who/amp)
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek.
Anak-anak balita ini bila dibiarkan stunting maka dimasa dewasanya tidak senormal lainnya. Untuk itulah pemerintah Indonesia berjuang untuk mengatasi stunting ini.
Ketika Stunting Tidak Diatasi
Dari kajian beberapa sumber disebutkan bahwa stunting ini memiliki efek buruk bagi pribadi anak saat ini dan dimasa dewasanya. Berefek buruk pula pada pembangunan manusia Indonesia. Dan juga berefek negatif pada APBN Indonesia.
Efek buruk bagi pribadi anak akan mereka rasakan saat mereka mulai bisa berfikir. Disaat balita, belum muncul sifat malu, mereka santai saja. Tapi ketika sudah bisa membandingkan, mereka akan minder dari teman-temannya.
Bahkan menurut Grantham Mc Gregor dan Baker Henningham stunting bisa mempengaruhi tingkat kognitif anak, kapasitas belajar di sekolah, prestasi, upah kerja saat dewasa, beresiko terkena penyakit seperti diabetes dan lainnya. (https://feb.ub.ac.id/id/polemik-stunting-dan-pembangunan.html)
Perkembangan balita yang demikian, tentu berpengaruh tidak baik bagi masa depan keluarga dan bangsa. Enam jutaan anak bila dibiarkan stunting, akan mengurangi kontribusi mereka pada keluarganya dan juga kontribusi mereka pada bangsa Indonesia.
Keterbatasan secara fisik, kognitif, psikis inilah yang menjadikan para penderita stunting diusia dewasanya kurang produktif dan lemah dalam bersaing. Produktivitas ekonomi yang rendah inilah yang menjadikan stunting disebut mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 2-3 % dari produk domestik bruto pertahunnya. Prosentase segitu jika dikalkulasikan sekitar 260-390 triliun pertahun (https://feb.ub.ac.id/id/polemik-stunting-dan-pembangunan.html)
Tentu nominal yang lumayan jika itu masuk ke dalam APBN.
Itulah diantara dampak negatif stunting yang mengharuskan negara ini tidak berpedoman pada ketentuan WHO. Dimana WHO menetapkan bahwa masalah kesehatan masyarakat dianggap kronis jika prevalensi stunting di atas 20%.
Seharusnya, sudah cukup untuk dikatakan kronis jika di dalam negara ada stunting, berapapun angkanya. Mengapa? Karena stunting bukan faktor kesehatan yang pokok mendasarinya, akan tetapi faktor gizi (makanan pokok).
Negara seperti Indonesia adalah negara subur, menanam singkong bisa tumbuh subur hingga menghasilkan ketela. Daunnyapun bisa dimasak. Menanam padipun juga mudah. Demikian pula dengan tanaman lainnya. Kalau kemudian terjadi krisis bahan makan pokok di negara ini, itu janggal. Jika ada rakyat hingga tidak tercukupi kebutuhan makannya, ada yang tidak tepat dalam pengurusan mereka secara pribadi dan juga peran negara.
Dengan demikian, masalah stunting ini berawal dari adanya kebutuhan pokok (makan) di masyarakat yang tidak terpenuhi. Dan kondisi ini akan terus ada selama sistem kapitalisme yang diterapkan. Karena sistem kapitalisme tidak memberikan jaminan per individu atas terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat.
Pembahasan ini diluar kasus stunting karena faktor genetik. Adapun stunting karena genetik, dicukupi gizi seperti apapun ia tetap kerdil, sudah dipilih Al Khaliq untuk menjadi kerdil. Dan untuk kasus stunting genetik ini, negara tidak ikut andil. Tapi bertanggungjawab untuk mensejahterakan mereka.
Mengatasi Stunting Menggandeng Asing
BKKBN telah menggandeng swasta dan asing dalam menurunkan angka prevalensi stunting di negara ini.
Diantara lembaga tersebut adalah Tanoto Foundation, PT Amman Mineral Nusa Tenggara, Yayasan Bakti Barito, PT BCA Tbk, dan Amerika Serikat yaitu USAID ( https://www.detik.com/jateng/berita/d-5963721/angka-stunting-di-indonesia-244-bkkbn-melebihi-standar-who/amp)
Memang negara harus serius mengatasi stunting. Negara melalui lembaganya hingga perangkat desanya telah mengenggam nama-nama anak dengan stunting. Jika stunting karena faktor kebutuhan pokok/makan/gizi yang tidak terpenuhi maka bisa dipastikan mereka masuk daftar keluarga miskin. Sehingga menyatukan data keluarga miskin dengan anak pengidap stunting bisa mudah di lakukan.
Dengan glontoran dana dari APBN, APBD, APBDesa dan semua perangkat / SDM pemerintahan, mengapa masih menggait swasta dan asing?
Seharusnya hal ini tidak dilakukan. Karena persoalan stunting ini (diluar stunting genetik) bukan persoalan teramat sulit diatasi. Tinggal keseriusan kerja dari semua pihak terkait untuk mendata secara rutin, memberikan pendidikan gizi, stunting dan pola hidup sehat, pengawasan yang kontinyu dan memecahkan faktor penyebab utamanya yaitu terjaminnya kebutuhan pokok (makan) rakyat.
Jadi, tanpa swasta dan asing seharusnya pemerintah bisa mengatasi stunting ini.
Menjalin kerjasama dengan swasta dan asing bisa membuka celah lepas tanggungjawab negara dengan diserahkannya kepada swasta dan asing. Lebih dari itu, kerjasama dengan asing dalam menyelesaikan masalah yang itu faktor penyebabnya tidak terkait dengan negara asing, malah menunjukkan kelemahan bangsa ini. Ketakberdayaannya dan melemahkan kualitas SDM negara ini dalam mengatasi persoalan teknis stunting.
Keterlibatan AS khususnya melalui USAID menunjukkan betapa negara AS memiliki power di negara berkembang. Sehingga mereka bisa mudah meraih hati pemerintah untuk terlibat dalam penyelesaian problem internal bangsa ini. Padahal data hingga Desember 2021 diseluruh wilayah AS masih ada sekitar 6 jutaan anak stunting. (https://www.antaranews.com/infografik/2615789/prevalensi-dan-jumlah-balita-stunting-di-dunia)
Selain dari hal itu, bahwasannya, dipertimbangkannya posisi suatu negara dimata dunia, salah satunya ditentukan oleh kemandirian bangsa itu dalam membangun dan menyelesaikan masalah bangsanya. Bukan banyaknya melibatkan asing atau swasta.
Manusia Normal Dimata Islam
Pencegahan stunting adalah bagian untuk mewujudkan manusia Indonesia yang normal. Nah, manusia normal itu yang seperti apa?.
Dalam prespektif penulis, manusia normal adalah manusia yang secara fisik sehat. Akalnya berfungsi dengan baik, tidak hilang potensinya untuk berfikir. Hatinya hidup bisa untuk berfikir atau perasaan. Dan memahami dirinya sebagai makhluk memiliki kewajiban kepada Tuhannya -Allah SWT-, dirinya dan sesamanya.
Allah SWT dalam banyak ayatnya menyebut ulul albab yaitu orang yang berakal, orang yang berfikir, berakal sehat. Sebagaimana dalam ayat berikut;
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ لَّا يَسْتَوِى الْخَبِيْثُ وَا لطَّيِّبُ وَلَوْ اَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيْثِ ۚ فَا تَّقُوا اللّٰهَ يٰۤاُ ولِى الْاَ لْبَا بِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung." (QS Al-Ma'idah 5: Ayat 100)
Manusia normal dalam pandangan Islam adalah ditandai dengan berfungsi akal mereka dengan benar. Akal digunakan untuk berfikir sehingga manusia memahami peran ia sebagai khalifatullah di bumi. Untuk itulah beban hukum -taklif hukum- syara' dalam Islam dimulai sejak manusia baligh. Dan dibebaskan dari beban hukum bagi mereka yang baligh tapi tidak berakal (hilang potensi akalnya/gila).
Meskipun hanya dari satu indikator bahwa manusia normal adalah yang berakal sehat, tidak bermakna stunting (kerdil) tidak dipandang masalah dalam Islam.
Sistem pengaturan kesejahteraan dalam Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap rakyatnya tercukupi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan dan papan). Jika ada rakyatnya stunting (diluar faktor genetik) maka menjadi evaluasi atas penjaminan kebutuhan pokok (makan) oleh negara.
Penjaminan negara atas kebutuhan pokok -makan- rakyatnya juga bentuk penjaminan negara kepada rakyatnya agar tercukupi gizinya sehingga bisa tumbuh dan berkembang secara normal fisiknya, sehat akalnya. Dengan akal sehat maka seseorang akan produktif didunia, punya kontribusi pada umat dan tentunya dengan akal sehat pula seseorang bisa memahami hakikat dirinya sebagai hamba Allah SWT yang mengharuskan ia bertakwa dan berakhlaq mulia.
Dengan mekanisme yang demikian, dalam sistem Islam bisa zero stunting yang disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan makanan (gizi dan nutrisi).
Khatimah
Stunting memang masalah, tapi manusia dengan lemah akal itu jauh lebih masalah.
Sehatkan akalnya, sehatlah fisiknya. Rusak akalnya, rusak moral manusia.
Islamlah sistem yang jika diterapkan secara kaffah dan benar bisa mewujudkan manusia yang normal -sehat fisik, akal dan hatinya-, selamat di dunia dan di akhirat, bi idznillah.
Wallahua'lam bis showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar