يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Selasa, 01 November 2022

Gelar Akademik Indikator Kepakaran, Selalukah?

Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada Sabtu, 22 Oktober 2022 memberikan gelar Honaris Causa kepada kepala Staff Kepresidenan Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. Rektor Unnes Prof. Dr. Fathur Rahman, M.Hum mengatakan gelar kehormatan tersebut diberikan karena Moeldoko memiliki komitmen besar dalam bidang pengembangan sumber daya manusia. (https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6364649/moeldoko-sandang-gelar-doktor-honoris-causa-dari-unnes-ini-kontribusinya/amp)

Honoris Causa 

Honoris causa sebagai gelar penghormatan tanpa melalui proses perkuliahan S3 terlebih dahulu. Gelar ini diberikan kepada tokoh-tokoh yang memiliki kompetensi yang luar bisa di bidangnya (pemikiran, karya dan pengabdian). 

Gelar ini diberikan oleh pihak kampus kepada tokoh yang dalam pandangan kampus memiliki kompetensi yang kampus maksudkan. Pemberian gelar doctor honoris causa memberikan efek positif bagi kampus maupun bagi individu yang mendapatkan gelar tersebut. 

Bagi kampus, akan menambah SDM yang bekerja untuk perguruan tinggi dan keberadaan tokoh pada kampus bisa menjadi magnet dalam membuat citra positif bagi kampus. 

Adapun bagi individu yang dianugerahi gelar tersebut, akan menambah kemudahan bagi ybs untuk berkontribusi dan berkiprah di perguruan tinggi dan masyarakat. Dan  manfaat positif psikologis.

Rekam Jejak Akhlaq

Dalam penganugerahan gelar doctor honoris causa Jenderal (Purn) Moeldoko menuai kritik dari mahasiswa. Faktor apa yang dikritik mahasiswa? 

Sebagaimana diinformasikan bahwa Moeldoko memiliki riwayat pelanggaran HAM (https://nasional.tempo.co/read/1648201/demonstrasi-mahasiswa-warnai-penganugerahan-doktor-honoris-causa-moeldoko-dari-unnes)

Tokoh lain yang pernah mendapatkan gelar doktor HC dari UNNES adalah mantan ketua umum PSSI Nurdin Halid dimana beliau memiliki jejak korupsi (https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5370581/nurdin-halid-dapat-gelar-doktor-honoris-causa-dari-unnes)

Rekam jejak akhlaq atau aspek afektif inilah secara sistemik telah rusak. Sistem kapitalisme yang berasaskan sekulerisme (memisahkan agama dari urusan dunia) dan saat ini diterapkan negara-negara di dunia, menyeret bidang pendidikanpun untuk fokus pada kognitif. Dan meliberalkan tingkah laku dengan asas kebebasan berperilaku sebagai salah satu pilar demokrasi. 

Maka tidak aneh ketika riwayat akhlaq ini tidak menjadi prioritas dalam menentukan kelayakan seorang tokoh untuk mendapatkan gelar doktor honoris causa. 

Adapun bagi mereka yang masih hidup jiwa kemanusiaannya, akan mempertanyakan pemberian gelar doktor HC tersebut, sebagaimana aksi yang dilakukan mahasiswa. 

Gelar Akademik dan Keilmuan

Gelar akademik adalah gelar keilmuan. Untuk mendapatkan gelar akademik normalnya seseorang harus menempuh bangku perkuliahan, mengeluarkan sejumlah uang pendidikan yang tidak sedikit. Terlebih kapitalisasi pendidikan menjadikan pendidikan sangat mahal.

Gelar akademik di sistem kapitalisme ini tidak jarang bisa dengan mudah didapatkan. Orang bilang asal ada uang ijazah bisa didapatkan. Oleh karena itulah dijumpai beberapa kasus jual beli ijazah. 

Ketika ijazah menjadi komoditi maka gelar itu tidak lagi menjadi gelar keilmuan seseorang. Gelar tidak lagi menjadi indikator keilmuan seseorang. Dan merusak dunia pendidikan yang seharusnya menghasilkan pribadi berilmu, berakhlaq mulia. Pembelian ijazah itu sudah menunjukkan perilaku yang menyimpang baik dari pihak pembeli maupun kampus yang memperjualbelikan ijazah. 

Dan bila hal ini diterus-teruskan akan mengumpulkan pribadi rusak di negeri ini. Demikian pula sama dengan menabung benih-benih kerusakan lembaga pendidikan di Indonesia. 

Akhirnya, gelar akademik tidak selalu menunjukkan kepakaran seseorang dibidang ilmu tertentu. Dan gelar akademik pun tidak selalu berkorelasi dengan kemuliaan akhlaq seseorang. 

 Ijazah dalam Peradaban Islam

Dikutip dari buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani bahwa pemberian ijazah kepada murid sudah ada sejak permulaan penyebaran Islam. Awal perkembangan Islam, ijazah diberikan kepada murid sebagai izin untuk memberikan fatwa atau mengajar. Kalangan ulama hadist mendefinisikan ijazah sebagai izin untuk meriwayatkan, baik meriwayatkan hadist maupun kitab. Metode ijazah sebagai bentuk pemeliharaan dari kesalahan yang terjadi diantara hadist-hadist yang mulia.

Seiring perkembangan waktu, ijazah/gelar akademik inipun tidak sebatas diberikan pada ilmu syariat. Di abad ke-4 hijriah pakar ilmuan kedokteran Sinan bin Tasbit memberikan ijazah bagi setiap orang yang ingin bekerja sebagai dokter. Ijazah ini diberikan setelah memberikan ujian yang diambil sebagai bukti kekuatan dalam bidang yang dikehendaki dalam pekerjaan tersebut. Lembaga pendidikan Ad Dakhrawiyah di Damaskus memberikan ijazah Muhadzabudin ad Dakharawi bagi alamah Alaudin bin Nafis. Setelah menerima ijazah ini, ia diijinkan bekerja di rumah sakit besar dimasa itu.

Dengan demikian, pemberian ijazah merupakan kebiasaan terdahulu peradaban Islam. Dan ijazah tidak bisa dengan mudah didapatkan, juga tidak diperjualbelikan, juga bukan untuk kepentingan dunia pihak/individu tertentu. Tapi ijazah yang dengannya seseorang akan mendapatkan gelar akademik tertentu, harus ditempuh dengan menuntut ilmu dan melewati ujian atas bidang ilmu yang ditekuninya. Dengan metode inilah kapabilitas ulama dan ilmuwan di masa lalu luar biasa. Karya yang mereka hasilkan hingga kini terus berguna bagi umat manusia.

Dan hal berikutnya yang menunjukkan kehebatan peradaban Islam  adalah bahwa metode ijiazah ini baru ditemukan pada universitas di Eropa lebih dari 10 abad kemudian setelah Islam menetapkannya. Dan kini, ijazah diberlakukan oleh seluruh lembaga pendidikan di dunia. Jadi, pelopor ijazah adalah peradaban Islam.

Khatimah

Sungguh peradaban Islam tiada tertandingi. Peradaban ini menghasilkan para ilmuwan sekaligus menghasilkan generasi yang beriman, bertakwa, berakhlaq mulia. Tidak sebagaimana peradaban kapitalisme saat ini. Iman dan takwa terabaikan dengan pemisahan agama dari kehidupan (sekuler), kerusakan moralpun ada dimana-mana. Bahkan lembaga pendidikan sebagai lembaga para intelektual pun tidak bersih dari kerusakan pemikiran dan akhlaq. Semoga umat Islam segera sadar bahwa peradabannyalah yang haq. Aamiin.

Wallahua'lam bis showwab.




 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah