يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Rabu, 08 Februari 2023

Tukar Peran, Shahihkah?

Pahlawan devisi begitu gelar yang diberikan kepada mereka yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Sumbangan devisa dari TKI atau sekarang disebut Tenaga Migran Indonesia (PMI) tahun 2021 mencapai 130 triliun.( https://www.cnbcindonesia.com/market/20220427154802-17-335405/wow-pekerja-migran-indonesia-kontribusi-devisa-rp-130-t)

Memang angka yang besar. Dengan angka segitu bisa diperkirakan berapa rata-rata kirimin uang kepada keluarga di tanah air, dengan jumlah pekerja yang terdata di tahun 2021 sebanyak 3,25 juta TKI. (https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/jumlah-pekerja-migran-indonesia-capai-325-juta-pada-2021)

Gaji Yang Menyilaukan dan Tekanan Sikon

Cerita dari tenaga migran akan mudah dan gaji yang lumayan bekerja di luar negeri mendorong lainnya berusaha keras untuk bisa menyusul. Walau hanya asisten rumah tangga gajinya wow juga. 

Tapi, saat mendengar ada yang pulang bawa anak, ada yang disiksa majikan, membuat nyali kaum hawa mengerucut untuk membulatkan tekad bekerja di luar negeri.

Tapi, melihat ekonomi keluarga yang berkekurangan, suami yang tak bergaji tetap, sedang kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan masih berkesulitan, menyentak hati wanita yang sebenarnya sudah banyak tugas rumahnya, berinisiatif meninggalkan pekerjaan rumahnya sendiri, memilih untuk menjadi pekerja migran. 

Mereka yang masih single dan melihat peluang kerja yang sulit ditanah air, tertarik juga untuk mengais rezeki di negara tetangga.

Antara gaji yang dipikiran besar dan bisa membantu ekonomi keluarga, menutup rasa takut resiko buruk di luar negeri. Bekerja yang mubah bagi wanita sedang melaksanakan tugas sebagai istri dan ibu itu wajib dipinggirkan. Nafkah yang harusnya suami yang banting tulang, tak sedikit suamipun menyerahkan punggung istri untuk menunaikannya. 

Negarapun membuka pintu bagi wanita untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri. Karena negara mengakui tidak bisa menjamin lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. 

Diputuskanlah untuk menjadi pekerja migran. Hingga tak sadar adanya perdagangan manusia dibalik jasa penyaluran tenaga kerja di luar negeri. Seperti kasus 87 wanita CTMI (Calon Tenaga Migran Indonesia) yang digagalkan keberangkatannya di Bandara Juanda Sidoarjo, Sabtu, 28/1/2023.(https://www.kliktimes.com/news/amp/pr-7297144692/masih-ada-saja-pmi-ilegal-87-calon-pekerja-migran-gagal-berangkat-di-bandara-juanda)

Mereka adalah 1 dari sekian kasus tenaga kerja ilegal yang berhasil digagalkan keberangkatannya. Jika ilegal maka peluang trafficking (perdagangan manusia) terbuka lebar. 

Dinaikkan dan Diturunkan Bisakah di Sistem Saat Ini?

Ada nasehat yang pernah penulis dengar, " Dinaikkan dan Diturunkan". 

Disaat kondisi terjepit ekonomi dinaikkan sabarnya wahai kaum ibu. Niat membantu ekonomi keluarga bukan berarti meninggalkan kewajiban dan perintah agama lainnya. 

Disaat kondisi istri ingin menjadi tenaga kerja diluar negeri, diturunkan nafsunya wahai kaum adam. Peran banting tulang mencari nafkah itu adalah tanggungjawab suami. Maka jangan diserahkan kepada istri.

Menempatkan dinaikkan dan diturunkan yang demikian itu bukan hal mudah di sistem saat ini.

Karena, mekanisme nafkah memang tidak ada aturannya di sistem kapitalisme. Sistem ini bahkan mendorong wanita untuk mencari nafkah. Bahkan ke level wajib. Diberi label wanita tak berdaya jika tak bergaji. Maka gerakan gender, pemberdayaan perempuan kian masif. Sistem ini mengukur dan melihat perempuan dari kontribusi ekonominya. Jadi, mau wanita nguli, mbecak, jadi TKI, banting tulang kayak apapun dikasih jempol karena berdaya bisa menghasilkan uang. 

Persoalan pekerjaan di luar negeri itu halal/haram, bisa shalat apa tidak dirumah majikan, tidak jadi perhatian negara yang menerapkan kapitalisme. Yang penting menyumbang devisi. Negarapun tidak 'malu' melihat rakyatnya yang perempuan sampai mencari kerja di luar negeri. 

Akhirnya, sistem sekuler-kapitalisme memunculkan pertukaran peran. Laki-laki menjadi bapak rumah tangga, wanita menjadi ibu pencari nafkah. Dan yang demikian ini tidaklah shahih dan bertentangan dengan syariah Islam. 

Islam Beda Dengan Kapitalisme

Islam adalah rahmatan lil'alamin. Islam menempatkan kemuliaan seseorang dari ketaatannya dalam menjalankan perintah Allah subhaanahu wa ta'ala.

Laki-laki semangat mencari nafkah karena itu ibadah. Perempuan semangat menjalankan tugas sebagai istri dan ibu karena itu ibadah. Pandangan aktivitas adalah ibadah inilah yang menjadikan setiap muslim berjalan berdasarkan skala prioritas amal. 

Laki-laki tidak akan meninggalkan kewajibannya mencari nafkah. Dan perempuan pun ridha menjadi objek yang dinafkahi. 

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman

 وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ

".. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut..." Q( Al-Baqarah 2: Ayat 233)

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Engkau harus memberinya makan, jika engkau makan. Dan memberinya pakaian jika engkau berpakaian. Jangalah engkau menempeleng wajah dan jangan engkau menghinanya, dan juga jangan membiarkannya kecuali di dalam rumah" (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Hakim)

Wanita bekerja bukan karena dorongan karir, melainkan keilmuannya dan kebermanfaatan dirinya. Sehingga mengambil peran bekerja yang mubah tidak meninggalkan yang wajib.

Rasulullah shalaallaahu 'alaihi wa sallam bersabda;

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia" (HR. Ahmad)

Negara di dalam sistem Islam, diwajibkan membuka lapangan kerja bagi laki-laki -sebagai penanggungjawab nafkah keluarga-. Negara pun diwajibkan membuat mekanisme/peraturan yang menjadikan perintah agama tertunaikan diskala individu hingga bernegara. 

Maka dalam Islam, wanita tak akan menjadi tenaga migran. Nafkah mereka ditanggung dari ayah, suami, kerabat hingga negara. Dengan demikian, perempuan di sistem Islam bisa optimal dalam kontribusinya membangun peradaban Islam. 

Khatimah

Jika situasi dan kondisi yang menjadikan peran laki-laki dan perempuan tertukar, dan perempuan tidak mendapatkan jaminan nafkah adalah ciptaan sistem sekuler-kapitalisme, maka bertahan di sistem ini bukan pilihan. 

Maka, sambutlah seruan Allah subhaanahu wa ta'ala untuk berislam kaffah (Qs. Al Baqarah: 208). Menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. Menerapkan nya diseluruh aspek kehidupan, dari urusan individu hingga bernegara. Wallahua'lam bis showwab.


 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah