Melkopolhukam Mahfud MD dalam sambutannya pada acara Rakornas Pemuda Muhammadiyah, mengajak pemuda Muhammadiyah untuk membangun Indonesia sebagai negara Islami. Islami yang dimaksud adalah akhlaq seperti jujur, demokratis, toleran dan egaliter. (nasional.sindonews.com, 27/9/2020).
Membangun Indonesia sebagai negara Islami akan menjadi pencitraan jika yang dituju bukan mardhotillah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengejar klaim sebagai negara Islami yang malah berpotensi mengalihkan ghirah umat untuk menegakkan syariah Islam. Tentu hal ini bahaya karena bertentangan dengan perintah Allah SWT yang menghendaki kaffah -totalitas dalam berIslam-. Bukan sekedar menerapkan akhlaq yang dipandang sebagai nilai-nilai Islam.
Ideologi Sebagai Tolak Ukur
Sebutan negara kapitalis, komunis, atau negara Islam ditentukan ideologi yang diterapkan oleh negara tersebut. Sebersih apapun rakyat suatu bangsa dari riswah -korupsi-, jujur, sportif, toleran, tetap disebut negara kapitalis, jika ideologi negaranya kapitalisme. Tidak bisa disebut negara Islami.
Hal tersebut karena ideologi menjadi cara pandang -way of life- bagi negara dan juga rakyat. Dari ideologi pula terlahir aturan/hukum yang diterapkan negara. Selain dari itu, syarat amal dalam Islam ada dua, yaitu ikhlas dan benar. Ikhlas artinya melakukan amal semata-mata karena Allah SWT -mengharap ridhoNya-. Benar artinya sesuai dengan ketentuan hukum syara'. Sehingga ajaran Islam seperti berakhlaq jujur, sportif, anti korupsi dilakukan seorang muslim sebagai bentuk -ketaatannya- kepada Allah SWT.
Adapun non muslim berakhlaq jujur, sportif, anti korupsi dibangun dari fitrah kemanusiaan yang membenarkan perilaku yang baik. Dan etos kerja mereka. Bukan ikhlas dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT. Sehingga tujuan amalnya sudah berbeda. Dengan demikian tidak bisa disebut mereka berperilaku islami. Karena dua syarat tadi tidak dipenuhi.
Seruan Berislam Kaffah
Diskursus negara Islami dan negara Islam tidak lepas dari kesadaran politik umat Islam. Yaitu kesadaran wajibnya meriayah -mengurusi- urusan umat- dengan Islam. Dan kejenuhan umat atas problematika kehidupan yang makin pelik. Mulai dari fakta ketimpangan ekonomi, money politik, rusaknya moral, produk pendidikan yang makin tidak menunjukkan jatidiri mulia, dan westernisasi peradaban. Umat jenggah dan butuh kondisi yang lebih baik mensejahterakan.
Bagi ulil amri sekaligus seorang muslim, kemana harus mencari solusi ketika problem bangsa menumpuk? Dengan apa ia harus menata tatanan pemerintahannya? Pun demikian rakyat, apa yang harus ditawarkan kepada ulil amri sebagai bentuk pelaksanaan muhasabah lil hukam? Tidak ada jawaban bagi kedua pihak selain merujuk kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Dua sumber hukum Islam sekaligus pedoman hidup umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
"Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya Yaitu Kitabullah -Al Quran- dan Sunnah RasulNya -al Hadist-" (HR. Malik, al Hakim, al Baihaqi)
Allah SWT berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara kaffah -menyeluruh- dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syetan itu musuh nyata bagi kalian" (QS al Baqarah 208)
Seruan berIslam kaffah pada ayat tersebut ditujukan bagi semua mukmin baik ia berkedudukan sebagai ulil amri ataupun rakyat. Kaffah artinya mengambil aqidah dan syariah Islam kesemuanya. Karena Islam bukan agama spiritual semata. Ada seperangkat hukum yang mengatur urusan individu, bermasyarakat hingga bernegara. Dengan kata lain wajib bagi seorang muslim menjadikan Islam sebagai way of life nya -ideologinya-. Yang dengan itu terbentuk masyarakat khas Islam dan negara Islam
Jadi, berIslam kaffah itulah yang bisa menghantarkan sebuah negara menjadi negara Islam.
Pluralitas Bukan Penghalang BerIslam Kaffah
Kemajemukan adalah sunnatullah, QS Al Hujurat 13. Dan bukan penghalang untuk berIslam kaffah, QS Al Baqarah: 208. Karena dua hal tersebut berbeda.
Islam diturunkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Artinya Islam mampu menaungi kemajemukan tersebut. Hukum syariat bila diterapkan akan melindungi muslim dan non muslim.
Bukti akan hal itu sangat banyak. Diantaranya, pada masa khalifah Umar bin Khattab beliau telah memberikan keadilan kepada seorang Yahudi. Si Yahudi ini mengadukan perbuatan Gubernur Mesir Amr bin Ash yang telah mengusur paksa rumahnya untuk dibangun masjid. Singkat cerita, Khalifah Umar memberikan kepada Yahudi tersebut tulang yang diberi garis lurus, ditengahnya berpalang untuk dibawa ke Gubernur Amr bin Ash. Meskipun terheran si Yahudi ini kembali ke Mesir dan menyerahkan tulang tersebut kepada Amr bin Ash. Melihat garis lurus dibagian tengah berpalang tersebut, Amr bin Ash seketika meminta untuk menghentikan pembangunan masjid tersebut.
Pesan yang terkandung dari tulang bergaris itu adalah supaya Gubernur Amr bin Ash berbuat adil kepada siapapun, seperti garis lurus, dan bila tidak maka pedang Umar yang bakal meluruskannya -memenggal lehernya-.
Jadi, pluralitas tidak bisa menjadi alasan untuk menolak penerapan Islam secara kaffah. Pluralitas, seruan berislam Kaffah, Islam rahmatan lil 'alamin memiliki dalil masing-masing. Dan tidak mungkin Allah SWT menurunkan ayat yang saling bertentangan satu sama lainnya. Atau tidak bisa diterapkan oleh manusia. BerIslam kaffah itulah pilihan yang tepat. Adapun bernegara Islam yakni khilafah Islam 'ala min hajin nubuwwah- itu sesuai yang disabdakan Nabi SAW akan tegaknya kembali.
Nabi SAW bersabda, " Ada fase kenabian ditengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia tetap ada... Kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Setelah itu akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian" (HR. Ahmad)
Allah SWT berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ...
"... Dan apa-apa yang Rasul perintahkan kepada kalian maka lakukanlah, dan apa-apa yang dilarang atas kalian maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya" (Qs. Al Hasyr: 7). . Wallahua'lam bis showwab.