Ada
hal menarik untuk dicermati dari apa yang disampaikan oleh bapak Menteri Agama
Fahrur Razi beberapa waktu lalu. Sebagaimana dikutib dari halaman kiblat.net
(09/01/2020), beliau mengatakan, “Jadi, jangan sampai mereka, mohon maaf ya,
ilmu agama saja tinggi tapi tidak bisa bersaing untuk kerja buat apa? “.
Pernyataan Bapak Menag ini terkait dengan usulan beliau untuk menambah mata
pelajaran bahasa Mandarin untuk siswa madrasah.
Belajar
bahasa terkategori dalam daftar ilmu alat. Artinya, ilmu itu diberikan sebagai
bekal tambahan ketrampilan berbahasa siswa. Jadi tidak salah jika beliau
mengusulkan untuk menambah mata pelajaran bahasa Mandarin bagi siswa madrasah.
Namun, pernyataan beliau yang menyebutkan
“... ilmu agama saja tinggi tapi tidak bisa bersaing untuk kerja buat apa? “
nah ini yang perlu diberi garis bawah.
Tujuan Sekolah
Sekolah
atau menuntut ilmu adalah bagian dari melaksanakan perintah Allah Azza wa
jalla. Adapun mengamalkan dan menyebarkan ilmu adalah perintah Allah azza
wa jalla berikutnya. Bekerja dalam hal ini masuk lingkaran mengamalkan sekaligus
menyebarkan ilmu. Walau kadang pada prakteknya tidak semua ilmu yang telah
dipelajari disekolah terpakai dalam bekerja. Posisi ilmu agama dalam bekerja
bisa menjadi subjek utama bisa juga menjadi penjaga ketika seseorang menjalankan
tugas pekerjaannya.
Ilmu
agama menjadi subjek utama misalnya ketika seseorang bekerja sebagai guru
agama. Adapun ilmu agama menjadi penjaga adalah saat seseorang bekerja diluar
bidang agama, semisal menjadi arsitek, pedagang, tukang ojek dan lain-lainnya.
Ilmu agama menjaga pemiliknya dari penyelewengan pelaksanaan tugas tersebut
sekaligus menjaga agar tetap ingat akan kewajiban kepada Allah azza wa jalla
lainnya.
Dengan
demikian, tidak ada yang salah dari seseorang yang memiliki ilmu agama tinggi.
Malah menjadi kewajiban bagi seorang
muslim untuk menguasai ilmu agama -faqih fiddin-. Bukankah Allah azza
wa jalla meminta hambaNya untuk kaffah dalam beragama? (QS. Al
Baqarah: 208). Yang harus menjadi koreksi adalah kekeliruan jika sampai
Penididkan Islam tidak mampu menghantarkan siswanya faqih fiddin.
Dan
berikutnya, juga tidak ada yang salah jika seseorang berilmu agama tinggi
kemudian tidak bekerja di luar negeri. Yang harus disayangkan dan menjadi
koreksi adalah kenapa banyak WNI malah didorong menjadi TKI/TKW? Padahal,
bukankah membukakan lapangan pekerjaan di dalam negeri adalah tugas negara?
Jadi
kesimpulannya, tujuan dari seseorang mengenyam pendidikan adalah agar ia
mendapatkan ilmu. Dengan ilmu yang diperoleh bisa membentuk pola pikir, pola
sikap sehingga menjadi insan beriman dan bertakwa dan berkepribadian baik. Sekaligus
memperoleh bekal ilmu ketrampilan dan keahlian sebagai bekal mengarungi
kehidupan.
Dalam
UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 juga disebutkan bahwa Pendidikan Nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Antara Sekolah
dan Bekerja
Bekerja
adalah salah satu bentuk pengamalan ilmu. Bukan tujuan sekolah. Jika bekerja
menjadi tujuan seseorang sekolah maka akan ada banyak orang yang menyesal
kenapa sekolah. Karena pada faktanya, ada banyak orang sekolah yang menjadi
pengangguran. Juga tidak sedikit yang bekerja diluar background
keilmuannya. Karena bekerja bagian dari jalan rezeki yang Allah azza wa
jalla berikan kepada hambaNya. Maka hanya Allah azza wa jalla yang
mengetahui jalan rezeki yang tepat untuk hamba-hambaNya.
Allah
azza wa jalla sudah berjanji akan meninggikan derajat orang-orang yang
berilmu (QS. Mujadilah: 11). Bisa dengan jalan Allah azza wa jalla tinggikan derajat seorang
berilmu dengan pekerjaan yang mapan atau berupa ketakwaan dan keshalihannya.
Jadi, derajat yang tinggi bukan selalu
bermakna harta, jabatan dan pekerjaan. Karena Allah azza wa jalla telah
menerangkan dalam QS al Hujurat: 13
bahwa orang yang paling mulia disisi Allah azza wa jalla adalah
orang yang paling bertakwa.
Jadi,
usulan Bapak Menteri Agama untuk belajar bahasa Mandarin adalah baik. Bukankah
Abu Nashr al Farabi mampu menguasai 70 bahasa dunia dan mengusai ilmu agama? Tapi,
tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Menteri Agama, menurut saya tidak
tepat jika memberikan pernyataan “...ilmu agama saja tinggi tapi tidak bisa
bersaing untuk kerja buat apa?”. Karena bila dikoreksi lebih dalam pernyataan
tersebut juga menyingung para ulama/kyai. Bukankah mereka adalah orang-orang yang
berilmu agama tinggi, namun juga tidak bersaing untuk kerja?.
Disinilah
pentingnya memahami kedudukan masing-masing dari perintah Allah azza wa
jalla sesuai dengan tujuan dan tempatnya. Sehingga tidak terjadi keruwetan
pemahaman dan tidak membuat kegaduhan di masyarakat. Wallahua’lam bis show