ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا اتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ Ø­َÙ‚َّ تُÙ‚َاتِÙ‡ِ Ùˆَلا تَÙ…ُوتُÙ†َّ Ø¥ِلا ÙˆَØ£َÙ†ْتُÙ…ْ Ù…ُسْÙ„ِÙ…ُونَ

Sabtu, 25 Januari 2020

BERILMU TAK MAMPU BERSAING KERJA?



Ada hal menarik untuk dicermati dari apa yang disampaikan oleh bapak Menteri Agama Fahrur Razi beberapa waktu lalu. Sebagaimana dikutib dari halaman kiblat.net (09/01/2020), beliau mengatakan, “Jadi, jangan sampai mereka, mohon maaf ya, ilmu agama saja tinggi tapi tidak bisa bersaing untuk kerja buat apa? “. Pernyataan Bapak Menag ini terkait dengan usulan beliau untuk menambah mata pelajaran bahasa Mandarin untuk siswa madrasah.
Belajar bahasa terkategori dalam daftar ilmu alat. Artinya, ilmu itu diberikan sebagai bekal tambahan ketrampilan berbahasa siswa. Jadi tidak salah jika beliau mengusulkan untuk menambah mata pelajaran bahasa Mandarin bagi siswa madrasah. Namun, pernyataan beliau  yang menyebutkan “... ilmu agama saja tinggi tapi tidak bisa bersaing untuk kerja buat apa? “ nah ini yang perlu diberi garis bawah.

Tujuan Sekolah
Sekolah atau menuntut ilmu adalah bagian dari melaksanakan perintah Allah Azza wa jalla. Adapun mengamalkan dan menyebarkan ilmu adalah perintah Allah azza wa jalla berikutnya. Bekerja dalam hal ini masuk lingkaran mengamalkan sekaligus menyebarkan ilmu. Walau kadang pada prakteknya tidak semua ilmu yang telah dipelajari disekolah terpakai dalam bekerja. Posisi ilmu agama dalam bekerja bisa menjadi subjek utama bisa juga menjadi penjaga ketika seseorang menjalankan tugas pekerjaannya.
Ilmu agama menjadi subjek utama misalnya ketika seseorang bekerja sebagai guru agama. Adapun ilmu agama menjadi penjaga adalah saat seseorang bekerja diluar bidang agama, semisal menjadi arsitek, pedagang, tukang ojek dan lain-lainnya. Ilmu agama menjaga pemiliknya dari penyelewengan pelaksanaan tugas tersebut sekaligus menjaga agar tetap ingat akan kewajiban kepada Allah azza wa jalla lainnya.
Dengan demikian, tidak ada yang salah dari seseorang yang memiliki ilmu agama tinggi. Malah menjadi  kewajiban bagi seorang muslim untuk menguasai ilmu agama -faqih fiddin-. Bukankah Allah azza wa jalla meminta hambaNya untuk kaffah dalam beragama? (QS. Al Baqarah: 208). Yang harus menjadi koreksi adalah kekeliruan jika sampai Penididkan Islam tidak mampu menghantarkan siswanya faqih fiddin.
Dan berikutnya, juga tidak ada yang salah jika seseorang berilmu agama tinggi kemudian tidak bekerja di luar negeri. Yang harus disayangkan dan menjadi koreksi adalah kenapa banyak WNI malah didorong menjadi TKI/TKW? Padahal, bukankah membukakan lapangan pekerjaan di dalam negeri adalah tugas negara?
Jadi kesimpulannya, tujuan dari seseorang mengenyam pendidikan adalah agar ia mendapatkan ilmu. Dengan ilmu yang diperoleh bisa membentuk pola pikir, pola sikap sehingga menjadi insan beriman dan bertakwa dan berkepribadian baik. Sekaligus memperoleh bekal ilmu ketrampilan dan keahlian sebagai bekal mengarungi kehidupan.
Dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 juga disebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan  untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Antara Sekolah dan Bekerja
Bekerja adalah salah satu bentuk pengamalan ilmu. Bukan tujuan sekolah. Jika bekerja menjadi tujuan seseorang sekolah maka akan ada banyak orang yang menyesal kenapa sekolah. Karena pada faktanya, ada banyak orang sekolah yang menjadi pengangguran. Juga tidak sedikit yang bekerja diluar background keilmuannya. Karena bekerja bagian dari jalan rezeki yang Allah azza wa jalla berikan kepada hambaNya. Maka hanya Allah azza wa jalla yang mengetahui jalan rezeki yang tepat untuk hamba-hambaNya.
Allah azza wa jalla sudah berjanji akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu (QS. Mujadilah: 11). Bisa dengan jalan Allah  azza wa jalla tinggikan derajat seorang berilmu dengan pekerjaan yang mapan atau berupa ketakwaan dan keshalihannya. Jadi, derajat yang tinggi bukan selalu  bermakna harta, jabatan dan pekerjaan. Karena Allah azza wa jalla telah menerangkan dalam QS al Hujurat: 13  bahwa orang yang paling mulia disisi Allah azza wa jalla adalah orang yang paling bertakwa.
Jadi, usulan Bapak Menteri Agama untuk belajar bahasa Mandarin adalah baik. Bukankah Abu Nashr al Farabi mampu menguasai 70 bahasa dunia dan mengusai ilmu agama? Tapi, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Menteri Agama, menurut saya tidak tepat jika memberikan pernyataan “...ilmu agama saja tinggi tapi tidak bisa bersaing untuk kerja buat apa?”. Karena bila dikoreksi lebih dalam pernyataan tersebut juga menyingung para ulama/kyai. Bukankah mereka adalah orang-orang yang berilmu agama tinggi, namun juga tidak bersaing untuk kerja?. 
Disinilah pentingnya memahami kedudukan masing-masing dari perintah Allah azza wa jalla sesuai dengan tujuan dan tempatnya. Sehingga tidak terjadi keruwetan pemahaman dan tidak membuat kegaduhan di masyarakat. Wallahua’lam bis show

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah