Itulah namanya bawaan. Melekat pada diri manusia. Andai, manusia berkenan melanjutkan dengan perenungan. Mengajak akalnya untuk berpikir, berpikir, siapa yang menghadirkan perasaan bawaan yang demikian itu pada dirinya?
Tidaklah perasaan itu dapat di-indera. Tapi manusia merasakan keberadaannya. Tidaklah pula akal dapat di-indera. Tapi manusia melakukan aktivitas berpikir. Tidaklah denyut nadi dalam diri manusia dalam perintahnya. Ia berdenyut mengikuti ketetapan. Ketetapan yang bukan dari dirinya.
Andai, akalnya terus berpikir, berpikir tentang dirinya. Tentang rambut di kepalanya hingga ujung kakinya. Tentang tumbuh kembang dirinya. Tentang semua potensi jasmaninya. Tidaklah sulit lisanya untuk berkata, " Aku ada, tapi kendali sistem tubuhku bukan di tanganku".
Inilah perjalanan akal, jika ia terus berpikir, ia akan bertanya, " Siapa pemegang kendali sistem tubuhku?" Bila akalnya sehat, ia akan berfikir adanya Tuhan. Dan ia akan melanjutkan berpikirnya hingga menemukan siapa Tuhan yang benar itu?
Bukan semata Tuhan pencipta dirinya. Tapi Tuhan pencipta semesta alam. Jika alam semesta di-ibaratkan sebagai suatu himpunan, maka Tuhan sebagai pencipta alam semesta itu bukan anggota himpunan semesta alam, bukan pula subset (himpunanan bagian) dari semesta alam. Karena jika anggota dan subset dari semesta alam, berarti Tuhan itu makhluk, bukan al khâliq (pencipta) semesta alam.
Dari sini, maka akal yang berpikir bisa menyimpulkan, bahwa Tuhan itu bukan matahari, bulan, pohon, lautan, bintang, apalagi patung. Karena itu semua bagian dari alam semesta.
Dan jika Tuhan bukan anggota dan bukan pula subset semesta alam, maka logis bila mata manusia tidak bisa menjangkau wujudnya. Bukankah yang di semesta alam ini saja, hanya sedikit yang mampu dijangkau indera manusia?
Bahkan yang keluar dari dirinya sendiri, seperti wujud kentut, bau, ataupun di luar dirinya seperti angin tidak dapat dilihatnya?. Sampai disini, jadi mudahkan, melogika ketika Tuhan tidak dapat di-indera mata manusia?
Jika manusia terus berpikir, ia akan berkata, "Mataku terbatas, dan bukan aku yang menjadikannya terbatas"
Semakin sadar dan semakin sadar. Manusia bagian dari alam semesta. Manusia hanyalah makhluk diantara trilyunan makhluk lainnya.
Atas Tuhan Dibutuhkan Iman
Dalam pembahasan Tuhan, maka perangkat inti yang dibutuhkan manusia adalah iman, bukan logika. Logika itu alat untuk menghantarkan pada iman. Bahkan tanpa berlogika dulu, iman pada Tuhan itu bisa. Buktinya adalah anda yang lahir dari keluarga beriman, dijadikan oleh kedua orang tua anda menjadi anak yang beriman.
Adapun tempat iman itu dalam hati. Sedangkan hati tempatnya perasaan. Bukan semata perasaan untuk menilai bersih atau kotor. Lebih tinggi dari itu, hati bisa menimbang benar atau salah. Maka agar iman tidak dibangun dari perasaan semata, dan bukan suatu kebetulan ketika pada diri manusia diberi software bernama akal, ada maksud dari setiap penciptaan, termasuk akal, yaitu agar manusia berpikir, diantaranya berpikir akan Tuhannya.
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Tuhan itu bukan anggota dan bukan pula subset semesta alam. Karena Dia pencipta semesta alam, Dia adalah alkhâliq, Dia adalah rabbul 'âlamîn -Tuhan semesta alam-.
Tuhan itu bila berbilang maka diantara mereka pastilah makhluk. Jika makhluk maka tidak bisa disebut sebagai Tuhan. Maka Tuhan itu mengharuskan Dia esa. Keesaan inilah yang menghilangkan peluang Tuhan itu diciptakan. Jadi, Tuhan itu ahad. Tidak beranak, tidak diperanakkan.
Maha Benar Allah subhânahu wa ta'ala dengan segala firmanNya. Dan kami beriman kepada Allah subhânahu wa ta'ala. Maka catatlah kami ya rabb, sebagai hamba yang beriman. Âmîn yâ rabbal'âlamîn.
Wallâhua'lam bis shawâb.