يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Sabtu, 28 April 2012

REVIEW HASIL PENELITIAN ISLAM PERSPEKTIF SEJARAH

KETERANGAN BUKU

JUDUL BUKU                                          : JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN
                                                                      KEPULAUAN NUSANTARA ABAD XVII DAN
                                                                      XVIII: MELACAK AKAR-AKAR PEMBAHA
                                                                      RUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
PENGARANG                                         : Dr. AZYUMARDI AZRA
PENERBIT                                               : MIZAN
TAHUN TERBIT                                       : CETAKAN II, FEBRUARI 1995
JUMLAH HALAMAN                             : 339


REVIEW

A.        Pendahuluan
Buku yang berjudul asli The Transmission of Islamic Reformismto Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”, adalah disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D.
Dalam penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra telah menghabiskan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari dua tahun. Guna mendapatkan data-data yang akurat, Azumardy Azra melakukan kunjungan keberbagai daerah, seperti Banda Aceh, Jakarta, Yogyakarta, UjungPandang, New York City, Kairo, Madinah, Makkah, Leiden dan Ithaca (New York State), sebagai derah-daerah yang dianggap memilki keterkaitan baik secara langsung maupun tidak, dengan tema penelitian yang sedang dilakukannya.
Azyumardi Azra memandang bahwa kajian tentang tranmisi dan penyebaran gagasan pembaharuan Islam, khususnya menjelang ekspansi kekuasaan eropa pada abad ke- 17 dan ke- 18 adalah penting disebabkan oleh beberapa hal: pertama, sejarah sosiol-intelektual Islam pada periode ini sangat sedikit dikaji. Kedua, sumber dinamika Islam pada abad 17 dan 18 adalah jaringan ulama yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah dengan tema pokok pembaharuan mereka adalah rekontruksi social-moral masyarakat Muslim. Ketiga, karena berkaitan dengan perjalanan Islam ke Nusantara.
Keempat, adanya kekeliruan asumsi yang menyebutkan bahwa hubungan Islam di Nusantara dan Timur Tengah lebih bersifat politis daripada keagamaan dan keilmuan. Kelima, belum adanya kajian komprehensif terhadap jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara dalam aspek sumber-sumber pemikiran mereka yang telah mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara. Kurang lebih lima alasan inilah yang membawa Azyumardi Azra menuliskan karyanya ini.
Menilik alasan di atas maka Azumardi Azra dalam kajiannya ini berusaha memberikan jawaban atas tiga masalah pokok yaitu: pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk diantara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu Indonesia. Kedua, apa peran ulama Melayu Indonesia dalam tranmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara. Bagaimana modus transmisi itu,  Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara.
Adapun sistematika penulisan yang disuguhkan Azyumardi Azra untuk menjawab masalah di atas dengan membaginya dalam lima bab pembahasan. Bab pertama: kedatangan Islam dan hubungan Nusantara dengan Timur Tengah. Bab kedua: Jaringan ulama Haramayn abad ke 17. Bab ketiga: pembaharuan dalam jaringan ulama dan penyebarannya ke dunia Islam yang lebih luas. Bab keempat: para perintis getakan pembaharuan di Nusantara: ulama Melayu Indoenesia dalam jaringan abad ke 17. Bab kelima: jaringan ulama dan pembaharuan Islam diwilayah Melayu Indonesia abad ke 18. 

B.    Pembahasan
1.       Bab 1 Kedatangan Islam dan Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah
Dalam bab 1 ini dibahas tentang teori-teori tentang kedatangan dan perkembangan Islam di Nusantara yang dikaitkan dengan dinamika Islam di Timur Tengah. Adapun teori-teori itu adalah : pertama, teori bahwa asal muasal Islam di Nusantara adalah anak Benua India bukannya Persia dan Arabia. Teori ini kebanyakan di pegang oleh Sarjana Belanda. Teori ini di dukung oleh Snouck Hurgronje yang berhujah bahwa Islam berpijak kokoh di beberapa anak benua India. Selain itu Pijnappel menyebutkan bahwa Islam di Indonesia di bawa oleh orang Arab yang menetap di India. Selain itu batu nisan di Pasai mirip dengan batu nisan di Gujarat, demikian alasan Moquette.
Kedua, teori yang dibawa oleh Marrison yang menyebutkan bahwa Islam di Nusantara bukan dari Gujarat tapi dari penyebar Muslim dari Pantai Coromandel pada akhir abad ke 13. Arold menambahkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Malabar. Ketiga, teori Crawfurd yang menyebutkan bahwa Islam di Nusatara dibawa langsung oleh orang-orang Arab. Keempat, teori Keijzer yang menyebutkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar Madzab Syafi’i yang banyak dianut pula oleh muslim Mesir.
 Kelima, teori yang didasarkan pada sejarah literature Islam Melayu Indonesia dan sejarah dunia perdagangan Melayu. Teori berikutnya menyebutkan bahwa kaum sufilah yang melakukan penyiaran Islam di Nusantara. Teori ini disampaikan oleh AH Johns. Adapun motif penyebaran Islam ada yang berpendapat factor ekonomi, dan politik.
Setelah menyebutkan teori-teori kedatangan Islam, Dr. Azymardi Azra membawa pembaca pada pembahasan hubungan awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah. Ada tiga fase dalam kaitannya dengan hubungan Muslim Nusantara dengan Timur tengah. Fase pertama, yaitu sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 hubungan-hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Hubungan ini terutama diparkrasai oleh muslim Arab dan Persia. Fase kedua, sampai akhir abad ke-15, hubungan yang dibangun adalah hubungan keagamaan dan cultural. Hal ini diprakarsai oleh pedagang dan pengembara sufi yang intensif menyebarkan Islam di Nusantara.
 Fase ketiga, sejak abad ke- 16 sampai paruh ke dua abad ke-17 hubungan yang terjalin lebih bersifat politik disamping keagamaan. Hubungan di abad ini terjalin dengan Khilafah Utsmani dan juga penguasa Haramayn. Adapun riwayat yang banyak menyebutkan hubungan ulama Nusantara dengan Timur Tengah diberikan oleh sumber-sumber Cina dan Arab.

2.       Bab 2 Jaringan Ulama di Haramayn Abad Ketujuh Belas
Haramayn adalah sebutan untuk dua kota yaitu Makkah dan Madinah. Haramayn adalah pusat intelektual muslim dunia. Dimana para ulama, filosof, sufi, penyair, pengusaha, sejarawan muslim, bertemu untuk saling menukar informasi. Faktor inilah yang menjadikan para penuntut ilmu berbondong-bondong belajar di Haramayn. Adapun kebangkitan jaringan ulama sendiri disebabkan oleh beberapa factor penting, tidak hanya keagamaan, tetapi juga ekonomi, social dan politik.
Salah satu tanda bangkitnya keilmuan di Haramayn adalah berdirinya Madrasah sebagai lembaga pendidikan tipikal Muslim. Selain madrasah terdapat ribath dan zawiyyah. Baik madrasah maupun ribath kebanykan didirikan oleh penguasa non hijazi. Ribath adalah pusat kaum sufi. Adapun madrasah di Haramayn  memiliki ciri khusus yakni kosmopolitisme. Dimana madrasah berdiri di isi oleh guru-guru dan murid-murid diluar Hijaz. Adapun pendanaan madrasah di Haramayn selain wakaf orang-orang kaya juga ditanggung oleh kekhilafahan utamanya khilafah Ustmani.
Kemajuan dibidang ilmu dan perdagangan di Haramayn terus meningkatkan kuantitas ulama yang datang ke Haramayn. Demikian pula jumlah jamaah haji juga terus bertambah. Voll membagi menjadi 3 tipe imigran Asia Selatan yang datang ke Haramayn. Pertama, little Imigrants. Yaitu orang yang datang dan bermukim di Haramayn dan diam-diam terserap dalam kehidupan social keagamaan setempat. Tipe kedua, grand immigrants yakni ulama per excellence. Sebagian dari grand immigrants ini sangat ‘alim dan terkenal di negeri mereka. Tipe ketiga, ulama dan guru yang mengembara kemudian menetap di Haramayn dalam perjalanan panjangnya menuntut ilmu.
Jaringan ulama pra abad 17 dibangun dari pusat-pusat pendidikan di sekitar masjid al Haram. Namun pusat pendidikan terus berkembang ke madrasah-madrasah yang diikuti oleh ulama dari beberapa wilayah diluar Haramayn. Adapun ulama Haramayn pra abad 17 diantaranya Al Fazi Ibn Hajar al Asqlani, Ibrahim al Kurani. Sedangkan hubungan ulama-ulama ini memliki asal usul yang kosmopolitan. Adapun 2 ulama non Hijazi yang berperang penting pada abad 17 adalah Sayyid Shibghat Allah dan al Syinnawi. Adapun yang bertangungjawab atas penyebaran ajaran Shibgat Allah adalah al Syinnawi dan al Qusyasyi. Kemudian di wilayah Madinah murid al Qusyasyi yaitu al Kurani.
Adapun ulama yang memiliki peranan penting dalam menghubungkan ulama Mesir dengan Haramayn adalah Muhammad bin ‘Ala’al Din al Babili. Adapun ulama di wilayah Afrika Utara adalah Isa al Magribi dan Muhammad bin Sulaiman al Magribi. Ulama-ulama ini adalah ulama grand immigrant. Adapun ulama asli asal Mekkah yang berperan dalam jaringan ulama abad 17 diantaranya adalah Taj al Din bin Ahmad.
Hubungan diantara para ulama ini pada umumnya terbentuk dalam kaitan upaya mereka menuntut ilmu. Koneksi diantara mereka mengambil bentuk hubungan guru dengan murid (hubungan vertical). Hubungan akademis ini juga mencakup bentuk guru dengan guru, murid dengan murid yang keduanya disebut hubungan horizontal. Adapun sarana terpentinng yang membuat hubungan ini makin solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat.

3.         Bab 3 Pembaharuan Dalam Jaringan Ulama dan Penyebarannya Ke    Dunia Islam yang Lebih Luas
Adapun ciri yang paling menonjol dari jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan antara para ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi mencapai puncaknya. Sikap saling pendekatan antara syariat dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke dalam tarekat mengakibatkan timbulnya Neosufisme. Istlah yang dimunculkan oleh Fazlur Rahman almarhum. Neosufisme memiliki pusat perhatian untuk melakukan rekontruksi social moral dari masyarakat muslim.menurut Fazrul Rahman ulama muslim yang bertanggungjawab dalam membantu merealisasikan kebangkitan neo sufisme adalah para ahlu hadis.
Adapun tokoh neo sufisme diantaranya al Qusyasyi yang mengetengahkan bahwa Nabi saw adalah seorang sufi yang tidak pernah mengasingkan dirinya dari manusia. Sufi sejati adalah orang yang dapat bekerjasama dengan muslim lainnya untuk kebaikan masyarakat. Demikan pula al Kurani menekankan pentingnya syariat tanpa perlu mengesampingkan kecintaannya pada tasawuf. Sulayman al Maghribi juga mengetengahkan pendapat yanga menentang para sufi yang mengasingkan diri. Azyumardi Azra juga menuliskan bahwa tidak ada ulama yang mengikuti gagasan milenarianisme (pembaharuan seribu tahun). Diantara para ulama yang menjawab permasalahan yang mucul dari Jawa adalah al Kurani, Ibn Ya’qub.
Adapun neo sufisme bila dihubungkan dengan organisasi tarekat maka pada abad ke 17 ciri dari tarekat ini adalah tarekat diorganisasi secara longgar, tdak ada batasan jelas diantara sekian banyak tarekat, para syaikh dan murid sufi tidak harus setia pada sati tarekat saja. Al Qusyasyi memberikan ajaran kepada muridnya apabila ada ajaran tarekat yang keluar dari syariat islam maka diminta mereka keluar dari tarekat tersebut.
Adapun hubungan dan koneks ulama di Asia dan Afrika di abad 18 ulama penting berikutnya adalah Muhammad Hayyat bin Ibrahim al Sindi al Hanafi. Muhammad Hayyat memiliki murid yaitu Ibn Abdul Wahhab yang kemudian terkenal dengan gerakan wahabiyyah. Ibn Wahab mendurong perubahan dengan bandul yang lebih keras dari ulama yang lainnya. Ulama berpengaruh lainnya dari koneksi India adalah Quthb al Din Ahmad Syah Wali Allah bin Abdrahim al dihlawi. Syah Wali Allah adalah murid al Kurani, keunggulan dari Syah Wali Allah salah satunya adalah kegigihannya mempertahankan keunnggulan akal dan pentingnya ijtihad. Peran Syah Wali Allah dalam jaringan dilanjutkan oleh muridnya yaitu Murtadho Muhammad. Guru Murtadho ada skitar 300 orang sehingga jaringan makin komplek. Murtadho memberikan karya monumentalnya berupa kamus bahasa arabnya yna berjilid-jilid.
Adapun koneksi ulama di Cina berdasarkan penelitian Fletcher yang dilanjutkan oleh Gladney menyebtkan bahwa koneksi-koneksi dengan ulama Cina terpusat pada tarekat-tarekat. Tarekat Naqsyabandiyah telah ada di Cina sejak abad 15. Adapun koneksi ulama muslim Cina dengan jaringan ulama bisa di lihat dari karier Ma Mingxin pendiri tarekat Naqsyabandiyah Jahriyah
Adapun koneksi jaringan ulama di Afrika sebelum abad 18 tidak jelas. Namun Azyumardi Azra mengambil kesimpulan bahwa ulama besar pertama dari bilad al Sudan –negeri kaum kulit hitam- adalah Shalih bi Muhammad bin Nuh bin ‘Abdullah bin Umar al Umari yang dikenal sebagai Shalih al Fullani. Shalih al Fullani belajar di Haramayn dan menjadi grand immigrant, al Fullani memiliki 24 murid yang termasyur di abd 19. Al Fullani mengikuti kecenderungan religio intelektual seperti Syah Wali Allah dan Muhammad Hayyat. Selain al Fullani ulama lain dari bilad al suddan adalah ‘Utsman dan Fadio yang Berjaya di akhir abad 18 di awal abad 19. ‘Utsman murid dari Jibril bin Umar al Sudani (murid dari Murtadha al Zabidi). Tokoh berikutnya adalah al Tijjani yang mendirikan tarekat Tijaniyyah. Dan di Afrika tarekat ini menjadi tarekat yang paling aktif.
Adapun kecenderungan ulama di abad 18 ini adalah banyak ulama yang menekankan rekonsiliasi diantara 4 madzab  fiqih, tetapi mereka meyayangkan sikap fanatisme mazhabi. Lebih jauh lagi kecenderungan ulama lebih purifikasionis (pemurni ajaran). Sedangkan tarekat difungsikan untuk rekontruksi kehidupan social moral ummah bukan perubahn sosio religious.

4.       Bab 4 Para Perintis Gerakan Pembaruan Islam di Nusantara: Ulama
Melayu-Indonesia Dalam Jaringan Abad Ketujuh Belas
Tiga ulama yang menjadi mata rantai utama dari jaringan ulama di wilayah Melayu –Indonesia adalah berawal dari al Raniri, al Sinkili berkembang di kesultanan Aceh dan al Maqassari lahir di Sulawesi yang memulai karirnya di Banten Jawa Barat. Satu persatu peran pembaharuan dari ketiga ulama tersebut akan dibahas berikut.
a.     Nur al Din al Raniri (w. 1068/1658)
Sebelum al Raniri diparuh kedua abad ke 17 ada Hamzah al Fansuri dan Syams al Din al Sumatrani yang berperan besar dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan di Melayu-Indonesia. Diantara kedua ulama tersebut terjalin hubungan guru dan murid. Mereka dikategorikan memiliki aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan pendukung terkemuka penafsiran mistiko filosofis wahdat al wujud dari tasawuf. Untuk itulah mereka oleh sebagian ahli disebut sebagai tokoh mistik “sesat” dan “murtad” yang bertentangan dengan tokoh sufi ortodhox seperti al Raniri dan Sinkili.
Al Raniri lahir di Ranir Gujarat, tetapi dia dikenal sebagai mujaddid abad 17 di Melayu Indonesia. Al Raniri mendapat pendidikan awalnya di Ranir kemudian melajutkan ke Hadhramawt. Guru al Raniri dari India yang terkenal adalah sayyid Umar al Aydarus. Al Aydarus memiliki peranan penting dalam menyalurkan gagasan keagamaan dari Timur Tengah ke India dan lebih jauh lagi ke wilayah Melayu-Indonesia.
Kapan al Raniri tuk pertama kalinya mengadakan perjalanan ke Melayu Indonesia tidak ada informasi. Tahun 1047/1637 al Raniri diangkat sebagai Syaikh al Islam kesultanan Aceh. Setelah mendapatkan posisi ini al Raniri segera melancarkan pembaharuan di Aceh. Al Raniri memandang bahwa Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi.
Selama 7 tahun di Aceh al Raniri mencurahkan tenaganya sebagai alim, mufti, dan penulis produktif untuk menentang doktrin wujudiyyah. Bahkan dia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada semacam pemburuan terhadap orang sesat, membunuh orang-orag yang yang menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktik praktik sesat mereka, dan membakar hingga jadi abu seluruh buku mereka. Al Raniri juga menghukum mati para pengikut Hamzah al Fansuei dan Syam al Din
Selama 7 tahun di Aceh ada sekitar 29 karya al Raniri. Adapun karya beliau yang banyak di telaah adalah al Shirath al Mustaqim. Dalam masalah aqidah al Raniri memegang doktrin al Asy’ariyyah. Al Raniri di kenal berafiliasi dalam tarekat Rifa’iyyah, Aydarusiyyah dan Qadariyyah.
Adapun peran al Raniri di dunia Islam Melayu Indonesia diantaranya: pertama, al Ranini merupakan suaru mata rantai sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi di Nusantara. Dia adalah penyebar pembaharua Islam. Kedua: melalui karyanya yang banyak mengutip dari tokoh-tokoh terkenal telah memperkenalkan para tokoh ahli itu kepada kaum Muslim Nusantara. Ketiga, al Raniri adalah orang pertama yang menjelaskan perbedaan antara penafsiran dan pemahaman yang salah maupun benar atas doktrin-doktrin dan praktik sufi.
Keempat: al Raniri adalah orang pertama yang membuat buku pegangan standar mengenai kewajiban agama yang mendasar bagi semua orang. Kelima, al Raniri berperan besar dalam proses Islamisasi muslim Kedah. Keenam, Islamisasi dalam bidang politik. Hal ini bertepatan dengan posisi beliau sebagai Syaikh al Islam Kesultanan Aceh.
Ketujuh, al Raniri telah menjelaskan dasar pokok-pokok keimanan dan ibadah Islam dan mengungkapkan kebenaran Islam dalam suatu perspektif perbandingan dengan agama-agama lain. Buku beliau yang membahas masalah ini adalah Tibyan fi Ma’rifat al Adyan. Kedelapan, dalam bidang sejarah al Raniri adalah orang pertama yang menyajikan sejarah dalam kontek universal dan yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan sejarah Melayu. Buku beliau ini bernama Bustan al Salathin. Kesembilan, al Raniri telah mendorong jauh perkembangan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca di wilayah melayu Indonesia.

b.    ‘Abd al Ra’uf al Sinkili (1024-1105/ 1615-930)
Pembaharuan setelah al Raniri di Nusantara di lanjutkan oleh al Sinkili. Koneksi al Sinkili dengan ulama Haramayn melebihi al Raniri. Al Sinkili seorang muslim asal Fansur, Sinkil di wilayah barat laut Aceh. Al Sinkili diperkirakan berangkat dari Aceh ke Arabia tahun 1052/1642. Jumlah guru al Sinkili 19 orang dan 27 ulama lain yang memiliki hubungan kontak pribadi. Kota-kota tempat al Sinkili menuntut ilmu adalah Dhuha (wilayah teluk Persia), Jeddah, makkah dan akhrnya madinah. Di Madinah al Sinkili belajar pada al Qusyasyi dan al Kurani. Kedatangan al Sinkili disambut baik oleh sultanah Aceh waktu itu yaitu Syafiyyat al Din. Al Sinkili diangkat sebagai mufti yang bertanggungjawab atas urusan agama. Namun al Sinkili tidak memberikan jawaban yang gamblang mengenai hokum wanita menjadi sultanah.
Adapun pembaharuan yang dilakukan al Sinkili diantaranya: pertama, ulama Melayu indonesia yang menulis mengenai fiqh muamalat (Mir’at al Thullab, kitab al Fara’id). Kedua, alim pertama yang bersedia mempersiapkan tafsir lengkap al Qur’an dalam bahasa  Melayu (Tarjamun al Mustafid), dan karya ini menurut Riddell dan Harun adalah terjemah dari kitab Tafsir Jallayn karya Jal al Din al Mahlli dan Jalal al Din al Suyuthi. Ketiga, al Sinkili menorehkan penanya untuk menuliskan karyanya di bidang hadis. Yaitu penafsiran hadist Arba’in dan yang kedua al Mawa’izh al Badi’ah sebuah koleksi hadis qudsi.
Keempat, al Sinkili tidak hanya menuliskan mengenai ilmu-ilmu zahir untuk kalangan awam, tetepai juga ilmu-ilmu bathin untuk kalangan elite seperti masalah tasawuf fan kalam. Dari karya dan ajaran al Sinkili dapat disimpulkan bahwa beliau secara sadar turut menyebarkan doktrin dan kecenderungan intelektual dan praktis dalam jaringan ulama untuk memperkuat tradisi Islam di kepaulauan Melayu Indonesia. Cirri dari ajarannya adalah neo sufisme. Karya menunjukkan bahwa tasawuf harus berjalan sesuai dengan syariat. Adapun pendekatan yang dipakai al Sinkili dalam pembaharuan bergaya evolusioner bukan radikal.
Adapun jaringan Melayu Indonesia al Sinkili dibangun dari murid-murid al Sinkili di Nusantara. Adapun tarekat yang paling utama adalah tarekat Syathariyyah –tarekat yang diperbarui oleh al Qusyasyi dan al Syinnawi. Adapun murid-murid al Sinkili di Sumatera yaitu Burhan al Din yang dikenal sebgai Tuanku Ulakan ( Minangkabau Sumatera Barat). Tuanku Ulakan setelah belajar dengan al Sinkili kembali ke daerah Minang dan mendiriakan ribat di sana.
Murid al Sinkili berikutnya adalah ‘Abd al Muhyi asal Jawa Barat. Peranan penting al Muhyi salah satunya dalam mengubah kepercayaan masyarakat dari animesmie kepada Islam dan juga dalam penyebaran tarekat syatariyyah. Adapun murid al Sinkili di semenanjung Melayu adalah ‘Abd al Malik b ‘Abd Allah. Beliau belajar dengan al Sinkili di Aceh kemudian melanjutkan ke Haramayn. Beliau seorang penulis syariat dan fiqih dan juga aktif mengajar.
Murid al Sinkili berikutnya adalah Dawud al Jawi al Fanshuri b isma’il b Agha Musthafa b Agha b ‘Ali Rumi. Dawud al Jawi al Rumi bersama gurunya membangun lembaga pendidikan Islam tradisional di Aceh. Inilah murid murid al Sinkili yang mnyebar di beberapa wilayah. Beliau meninggal tahun 1105/1693 dan dimakamkan di kuala, mulut sungai aceh, maka kemudian beiau dikenal sebagai Syaikh di Kuala.

c.     Muhammad Yusuf al Maqassari (1037-1111/ 1627-99)
Perjalanan al Maqassari dimulai dari Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Arabia, Sri Langka dan Afrika Selatan. Al Maqassari lahir dari keluarga muslim. Pendidikan agama di peroleh Maqassari di Sulawesi dari kalangan sufi. Al Maqassari juga pernah belajar di Cikoang Kalimantan. Setelah dari tempat ini Maqassari menikah dengan puteri Sultan Gowa. Setelah itu al Maqassari meninggalakan makasar menuju Arabia tuk belajar pada bulan Rajab1054/ September 1644. Menuju Arabia al Maqassari memanfaatkan rute perdagangan interinsuler. Sehingga pertama beliau singgah di Banten. Di Bnaten al Maqassari belajar Islam dan juga membangun jalinan yang kuat dengan orang-orang kerajaan termasuk Putra Mahkota.
Dari Banten al Maqassari melanjutkan ke Aceh. Dan sebelum ke Haramayn al Maqassari mampir terlebih dahulu ke Yaman. Di Yaman al Maqassari belajar pada guru-guru yang ahli hadis. Setelah beberapa tahun di Yaman al Maqassari melanjutkan ke Haramayn. Di Haramayn al Maqassari belajar pada al Kurani, al Qusyasyi, Muhammad al Mazru’ dan beberapa guru lainnya. Setelah dari Haramayn al Maqassari tidak langsung kembali ke Nusantara tetapi mampir di Damaskus. Di Damasqus al Maqassari belajar pada Ayyub al Khlawati seorang ulama terkemuka.
Setelah dari Damasqus al Maqassari melanjutkan ke Istanbul kemudian kembali ke Melayu Indonesia. Sesampainya di Gowa Sulawesi Selatan al Maqassari menghimbau kepada penguasa dan bangsawan di Goa untuk menghapuskan semua praktik yang tidak Islami dan menjalankan hokum Islam. Namun para penguasa Gowa malah mempertahankan status guo. Kembalinya al Maqassari ke Makasar masih ada perbedaan pendapat. Pendapat lain menyebutkan bahwa al Maqassari dari Haramayn langsung menuju Banten. Setelah beberapa bulan di Banten al Maqassari menikahi puteri sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian al Maqassari menjadi dewan penasehat sultan.
Meski al Maqassari bergelut dalam dunia politik tetapi tetp axis menuliskan karya-karyanya. Ketika terjadi perang antara sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya ‘Abd al Qahhar, al Maqassari berada di kubu sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan ketika sultan Ageng tertangkap al Maqassari mengantikan yang memimpin pasukan. Hingga akhirnya al Maqassari tertangkap oleh Belanda untuk kemudian di asingkan ke Srilangka. Meskipun ada di Srilangka al Maqassari jaringannya tetap berjalan maka oleh Belanda al Maqassari dipindah ke Afrika Selatan hingga meninggal disana.
Dari kisah al Maqassari ini dapat disimpulkan bahwa Al Maqassari adalah seorang neo sufisme. Beliau sufi tapi taat syariat dan tidak mengasingkan diri dari masyarakat. Teologi al Asy’ariyyah lah yang dipegang oleh al Maqassari. Terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan al Maqassari membaginya kedalam 4 kelompok. Pertama, orang yang hanya mengucapkan syahadat tapi tidak benar-benar berimana (munafiq). Kedua, orang yang mengucapakan syahadat tetapi juga menanamkannya ke dalam jiwa (orang awam).
Ketiga, orang yang benar-benar paham akan implikasi lahir dan batin dari pernyataan keimanannnya (orang-orang elit). Keempat, orang-orang dari golongan ketiga yang mengintensifkan syahadah mereka dengan mengamalkan tasawuf (orang terpilih dari golongan elite). Demikianlah sekelumit tentang al Maqassari. Demikianlah kiprah ketiga ulama –al Raniri, al Sinkili, dan al Maqassari di abad ke 17.

5.       Bab 5 Jaringan Ulama dan Pembaharuan Islam di Wilayah Melayu
Indonesia Pada Abad Kedelapan Belas.
                            Azmuardy Azra menyimpulkan bahwa ketiga ulama di abad 17 al Raniri, al Sinkili, dan al Maqassari adalah para ulama pembaharuan – tajdid-, dimana tema pokok pembaharuan mereka adalah kembali kepada ortodoksi sunni dengan ciri paling menonjol adalah keselarasan antara syariat dan tasawuf. Pembaharuan ini sebagai sespon internal terhadap kondisi-kondisi keagamaan yang marajalela dikalangan kaum muslim sendiri. Tetapi sejak abad ke-18 faktor-faktor luar terutama penetrasi colonial juga membantu akselerasi gerakan pembaharuan di Nusantara.
                            Adapun ulama utama Melayu Indnesia di abad 18 diantaranya adalah:
1.     Al Palimbani dan para ulama Palembang lainnya
              Islam masuk ke Palembang sekitar abad ke 10. Namun Islam berkembang kuat saat kejatuhan Sriwijaya dan bangkitnya Kesultanan Palembang pada awal abad ke-17. Adapun ulama yang paling menonjol adalah ‘Abd al Shamad al Palimbani. Ayah al Palimbai seorang sayyid dari Yaman dan ibunya orang Palembang. Pendidikan awal di dapatkan di daerah Kedah dan Patani, dan kemudian al Palembani oleh Ayahnya dikirim ke Arabia untuk belajar.
              Azyumardi Azra menyimpulkn bahwa al Palimbani memantapkan kariernya di Haramayn dan tidak kembali ke Nusantara. Di Haramayn al Palimbani satu komunitas dengan ulama Jawa lainnya. Sehigga beliau tetap tanggap dengan perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Diantara guru al Palembani yang menjadi tokoh utama jaringan ulama abad 18 adalah Ibrahim al Ra’is. Guru lainnya adalah Muhammad Murad,Muhammad al Jauwhari dan Atha’Allah al Azhari. Adapun tarekat al Palimbani adalah tarekat Sammaniyah. Al Palimbani ulama penting dalam jaringan di abad 18. Dalam karya-karyanya al Palimbani tidak hanya mnyebarkan ajaran neosufisme tetapi juga menghimbau kaum muslimin untuk jihad melawan orang-orang eropa.
2.      Para ulama al Banjar dari Kalimantan
              Tokoh ulama dari Banjar adalah Muhammad Asryad al Banjari. Ulama pentng dalam jaringan sekaligus pendiri pertama lembaga-lembaga Islam dan memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan. Muhammad Arsyad belajar bersama al Palimbani. Diantara guru beliau yang terkenal adalah al Sammani, al Damanhuri, Sulayman al Kurdi. Sehingga al Banjari menjadi ulama yang bertaggungjawab atas berkembangnya tarekat Samaniyyah di Kalimantan.
              Sekembalinya dari Haramayn, al Banjari mendirikan lembaga pendidikan Islam., memperbaharui admisistrasi keadilan di Kesultanan Banjar. Memperkenalkan jabatan mufti yang bertanggungjawab dalam mengeluarkan fatwa-fatwa atas masalah agama. Ulama lainnya di Kalimantan yang membawa peranan penting adalah Muhammad Nafis. Lahir dari keluarga bangsawan yang kemudian belajar di Haramayn.  Diantara gurunya adalah al Sammani, Muhammad al Jawhari dan beliau merupakan kawan dekat al Palimbani.
              Muhammad Nafis terkategori sebagai ulama penganut madzab syafi’i dengan teologi Asy’aryah. Sekembalinya dari Haramayn Muhammad Nafis konsen pada penyebaran Islam di pedalaman Kaimantan Selatan.
3.      Dawud b ‘Abd Allah dan Kebangkitan Ulama Patani
            Ulama Patani yang terlibat dalam jaringan ulama Nusantara salah satunya adalah Dawud b ‘Abd Allah bin Idris al Fatani. Al Fatani juga murid lulusan Haramayn. Al Fatani adalah ulama yang produktif, ada sekitar 57 buku karya beliau yang membahas semua disiplin Islam. Dari ulama-ulama yang telah disebutkan nampak bahwa jaringan ulama Timur Tengah dan Melayu Nusantara terus menggapai momentum. Peredaran tulisan mereka medorong meluasnya pembaharuan Islam di Melayu Nusantara.

             Adapun pengaruh dakwah mereka terhadap perkembangan Islam di Nusantara sangat besar. Missal tulisan Muhammad Arsyad yang popular menunjukkan bahwa karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran hokum Islam benar-benar dibutuhkan kaum Muslim Melayu Indonesia sebagai petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sumbangan besar lebih lanjut hokum-hukum Islam diberikan oleh Dawud al Fatani di abad ke-18. Dawud al Fatani juga merupakan ulama teladan dalam usahanya mendamaikan aspek hokum dan aspek mistis Islam.
                             Dalam karya Fiqihnya (Furu’ al Masail) al Fatani memperkenalkan metode baru dalam menjelsakan seluk beluk fiqih dengan cara yang dianggapnya menarik dan mudah difahami masyarakat Melayu Nusantara. Berikutnya adalah al Palimbani yang yang bertanggungjawab terhadap penyebaran lebih jauh dari neo sufisme di Nusantara. Al Palimbani adalah ulama yang menonjol dalam menerjemahkan karya-karya al Ghazali.
                            Penyebaran tasawuf al Ghazali tak lepas dari uapaya al Palimbani. Salah satu karya al Palimbani yang berkaitan tulisan al Ghazali adalah Hidayat al Silikin. Selain mengacu pada al Ghazali, al Palimbani juga mengacu pada guru sebelumnya yaitu al Sinkili, al Sumatrani dan lain-lain. Al Palimbani juga mendorong aktivisme dikalangan kaum muslim untuk jihad melawan Belanda. Al Palimbani mengajarkan bahwa Sufi sejati adalah penganut doktrin wujudiyyah muwahhid –Keesaan Tuhan yang Mutlak dalam diriNya-.
                            Usaha mendamaikan tasawuf al Ghazali yang berorientasi pada syariat dengan tradisi tasawuf filosofis ibn ‘Arabi juga dilakukan oleh Muhammad Nafis. Muhammad Nafis menekankan pentingnya kepatuhan kepada syariat baik lahir maupun bathin untuk mencapai tahap kasyf (intuisi langsung). Sedangan al Fatani juga menganut tasawuf al Ghazali dan Ibn ‘Arabi. Al Fatani juga menganjurkan Jihad melawan colonial Belanda. Adapun ulama yang memiliki peran penting dalam kebangkitan pembaharuan Muslim Minagkabau adalah Tuanku Nan Tuo. Beliau mengajarkan supaya masyarakat Minagkabau mendasarkan kehiduapnnya pada jalan AhluSunnah wal Jamaah.
                            Inilah perjalanan perubahan dan perkembangan Islam di melayu Nusantara yang membawa tradisi besar Islam mencapai supremasi di Nusantara. Pembaharuan Islam di wilayah Melayu Nusantara pada abad ke-17 tidak sekedar berorientasi pada taswuf tetapi juga berorintasi pada syariat. Hal ini berbeda dari abad sebelumnya yang cenderung mistiss. Dan ketika banyak ulama yang belajar di Haramayn maka hamper secara serentak para ulama menyebarkan neo sufisme di Nusantara.

                           
                           
        
OPINI PEREVIEW
            
             Pertama, Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya menyebut jaringan ulama Melayu Nusantara. Namun tidak memberikan definisi wilayah mana saja yang termasuk Melayu. Apakah Melayu itu Indonesia saat ini atau bukan. Sehingga bagi pembaca pemula hal ini menjadi tanya tanya. Setelah pereview membaca literature lain diperoleh informasi bahwa yang dimaksud dengan daerah Melayu adalah dimulai dari Semenanjung Tanah Melayu (sekarang masuk wilayah Malaysia), turun ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, pulau-pulau Nusatenggara, pulau-pulau Maluku termasuk Irian, naik terus kepulauan Luzon dan Mindanao (sekarang Filipina).[1]
             Kedua, Dr. Azumardy Azra menyebutkan bahwa hubungan awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah untuk fase pertama yaitu sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 berupa hubungan perdagangan. Sedangkan dalam literatur lain yang periview baca disebutkan bahwa dari hasil catatan pusaka pustaka Tiongkok disebutkan bahwa orang Arab (saudagar-saudagar Arab) telah datang ke negeri-negeri Melayu pada abad ke-7 M.[2] Sehingga informasi ini berbeda dengan pendapat Dr. Azyumardi Azra.
             Ketiga, Dr. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa para perintis gerakan pembaruan Islam di Nusantara (ulama Melayu-Indonesia) dalam jaringan abad ketujuh belas terdapat tiga ulama penting yaitu al Raniri, al Sinkili, dan al Maqassari. Dalam pembahasannya Dr. Azyumardi Azra menyimpulkan bahwa ajaran ketiga ulama tersebut adalah neo sufisme. Dalam literatur lain yang bisa mengenapkan tulisan Dr. Azymardi Azra bahwa disebutkan pada abad ke-17 sudah terdapat 2 aliran yaitu aliran pedalaman dan aliran pesisir.[3]
             Aliran pesisir adalah agama Islam dengan dasar tauhid, beramal menurut paham ahlu sunnah wal jama’ah, dunia untuk kepentingan akhirat, mencari harta benda agar dapat mengeluarkan zakat dan naik haji. Berani karena benar takut karena salah, tempat menundukkan kepala hanya pada Allah swt saja. Aliran pedalaman adalah aliran yang mengakui Allah swt sebagai Tuhan tetapi lebih mementingkan tafakkur, condong kepada tasawuf, pembersihan hati, jihad melawan nafsu lebih dipentingkan daripada jihad melawan musuh dari luar. Inilah dua aliran yang sudah ada di abad 17. Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa konsep neo sufisme yang disampaikan oleh Dr. Azyumardi Azra lebih dekat pada aliran pesisir.
             Keempat, dalam karangan Dr. Azyumardi Azra disebutkan bahwa al Maqassari yang dalam literature lain disebut syekh Yusuf menikah dengan puteri Sultan Agung Tirtayasa setelah pulang belajar dari di Timur Tengah. Adapun dalam literature lain yang periview baca bahwa al Maqassari (Syekh Yusuf) menikah dengan puteri Sultan Ageng Tirtayasa sebelum berangkat belajar ke Timur Tengah.[4] Dari sini maka ada perbedaan waktu terkait kapan pernikahan al Maqassari (syekh Yusuf).
             Kelima, dalam literatur lain disebutkan meskipun al Raniri diangkat Mufti (al Qadhi al Malikul ‘Adil) di kerajaan Aceh akan tetapi Sultan lebih dekat pada Syekh Abdurrauf Fansuri. Sehingga apabila ada masalah Fiqh atau kenegaraan sultan menyampaikannya kepada Syekh Abdurrauf Fansuri.[5] Hal inilah yang belum dituliskan dalam karya Azyumardi Azra.
             Keenam, sebaiknya pendapat Dr.Azyumardi Azra yang menyebutkan bahwa Islam yang beredar sebelum abad ke XVII dan XVIII di Nusantara bercorak mistis daripada syariat diberikan bukti-bukti konkretnya lengkap dengan sumber literaturnya. Sehingga pembaca juga merasa yakin bahwa berita itu adalah benar.
             Kedelapan, menyebut ulama abad XVII dan XVIII adalah ulama neo sufime, kenapa tidak menyebutnya sebagai ulama ahlusunnah. Bukankah ajaran ahlusunnah mengajarkan untuk taat syariat dan memiliki ritual ibadah dan jiwa yang bersih? Sebagaimana disebutkan dalam literature lainnya. Selain itu teologi yang dibawa oleh para ulama dalam jaringan kebanyakan teologi Asy’ariyyah. Dimana teologi ini muncul dengan karakteristknya sebagai kelompok ahlusunnah waljama’ah. Dan bahkan kata ahlusunnah waljamaah sampai sekarangpun popular dimasyarakaat daripada neosufisme yang definisinya masih belum dipahami oleh kalangan awam. Sehingga pembaharuan yang dilakukan para ulama di Nusantara menurut pereview adalah pembaharuan menuju Islam yang murni yaitu penerapan Islam dalam kehidupan dan ketaatan dalam ibadah kepada Allah swt.

ANALISIS PENDEKATAN  DAN METODOLOGI
 PEMIKIRAN AZYUMARDI AZRA

             Sebuah karya penelitian tentulah menggudakan pendekatan tertentu dan juga metode penulisan tertentu. Hal ini menjadikan karya itu memiliki kejelasan tujuan penelitian dan pijakan penelitian. Sitematika atau metodelogi penulisan haruslah pula ditentukan untuk memudahkan pembaca memahami alur cerita yang dibuat oleh penulis. Penulisan yang runtut akan mengarahkan pembaca pada pemahaman yang menyeluruh.
             Adapun pendekatan yang digunakan Dr. Azyumardi Azra dalam penelitiannya tentang jaringan ulama abad XVII dan XVIII adalah pendekatan sejarah. Sehingga dalam penelitiannya ini Dr. Azyumardi Azra melakukan kunjungan ke beberapa tempat seperti Banda Aceh, Jakarta, Yogyakarta, UjungPandang, New York City, Kairo, Madinah, Makkah dan lain-lain. Hal ini dalam rangka mempeoleh informasi yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan.
             Dr. Azyumardi Azra memulai tulisannya dengan menjelaskan sejarah kedatangan Islam di Indonesia, kemudian dilanjutkan pada proses perubahan ajaran dan praktik keislaman oleh warga Melayu Nusantara seiring banyaknya ulama asal Melayu Nusantara yang belajar di pusat keilmuan Islam khususnya Haramayn. Dan juga datangnya para ulama luar yang masuk ke wilayah Melayu Nusantara.
             Pelacakan guru-guru dari ulama Melayu Nusantara di Haramayn menghasilkan jaringan ulama Timur Tengah dengan ulama Melayu Nusantara. Tak berhenti sampai pelacakan guru para ulama Dr. Azyumardi Azra juga melacak karya-karya mereka, ajaran yang didakwahkan mereka. Hingga Azyumardi Azra bisa menyimpulkan bahwa pembaharuan yang dilakukan ulama Melayu Nusantara adalah penyebaran neo sufisme di Nusantara.
             Disebut neo sufisme karena ajaran-ajaran yang diberikan oleh para ulama itu adalah mengajak umat Islam untuk mentaati Allah swt secara totalitas, dengan praktek-praktek ibadah yang taat tetapi tidak meninggalkan urusan dunia. Menjadikan seluruh amal muslim adalah Ibadah. Sehingga tidak ada istilah tekun ibadah ritual kemudian meninggalkan urusan dunia (uzlah). Inilah yang kemudian oleh Azumardy Azra disebut sebagai neo sufime.
             Adapun hasil analisis penelitian Dr. Azyumardi Azra terhadap Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII adalah sebagai berikut:
1.     Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam diantara kaum Muslim Melayu Indonesia. Kajian atas sejarah kehidupan, keilmuan, dan karya-karya yang mereka hasilkan menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual diantara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga perkembangan Islam semasa di dunia Melayu Indonesia. Kehidupan dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai jaringan intelektual keagamaan yang terdapat diantara mereka dengan ulama Timur Tengah.
2.     Sifat dan karakteristik dari jaringan ulama tersebut mencakup hubungan-hubungan yang rumit antara para ulama dari berbagai dunia Islam. Ulama Melayu Nusantara sendiri tidak sedikit yang mula-mula ke Haramayn untuk menunaikan ibadah haji kemudian menetap untuk belajar di Haramayn. Dari situlah kemudian mereka menyebarkan pembaruan Islam di Nusantara yang membawa ciri penyebaran neo sufime. Adapun karakteristik penting lainnya dari wacana ilmiah dalam jaringan ulama adalah telaah hadis dan tarekat. Ajaran-ajaran tarekat yang menekankan kesetiaan dan kepatuahan kepada guru memberikan kekuatan tambahan kepada jaringan ulama
3.     Peran ulama Melayu Nusantara dalam jaringan adalah sebagai transmitter utama tradisi intelektual keagamaan, tradisi Islam dari pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara.
4.     Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara adalah adanya semangat pembaharuan dalam berbagai masyarakat muslim di Nusantara terutama abad XVII dan XVIII.

DAFTAR RUJUKAN

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad Xvii Dan Xviii: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1995.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.


[1] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 34
[2] Ibid., 35
[3] Ibid., 271-272
[4] Ibid., 294
[5] Ibid., 354

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah