KETERANGAN
BUKU
JUDUL BUKU :
JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN
KEPULAUAN
NUSANTARA ABAD XVII DAN
XVIII:
MELACAK AKAR-AKAR PEMBAHA
RUAN
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
PENGARANG :
Dr. AZYUMARDI AZRA
PENERBIT : MIZAN
TAHUN TERBIT :
CETAKAN II, FEBRUARI 1995
JUMLAH HALAMAN :
339
REVIEW
A.
Pendahuluan
Buku yang berjudul asli “The Transmission of Islamic Reformismto Indoesia: Networks of
Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries”, adalah disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen
Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh
gelar Ph.D.
Dalam penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra telah
menghabiskan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari dua tahun. Guna
mendapatkan data-data yang akurat, Azumardy Azra melakukan kunjungan keberbagai
daerah, seperti Banda Aceh, Jakarta, Yogyakarta, UjungPandang, New York City,
Kairo, Madinah, Makkah, Leiden dan Ithaca (New York State), sebagai
derah-daerah yang dianggap memilki keterkaitan baik secara langsung maupun
tidak, dengan tema penelitian yang sedang dilakukannya.
Azyumardi Azra memandang
bahwa kajian tentang tranmisi dan penyebaran gagasan pembaharuan Islam,
khususnya menjelang ekspansi kekuasaan eropa pada abad ke- 17 dan ke- 18 adalah
penting disebabkan oleh beberapa hal: pertama, sejarah
sosiol-intelektual Islam pada periode ini sangat sedikit dikaji. Kedua,
sumber dinamika Islam pada abad 17 dan 18 adalah jaringan ulama yang terutama
berpusat di Makkah dan Madinah dengan tema pokok pembaharuan mereka adalah
rekontruksi social-moral masyarakat Muslim. Ketiga, karena berkaitan
dengan perjalanan Islam ke Nusantara.
Keempat, adanya kekeliruan asumsi yang
menyebutkan bahwa hubungan Islam di Nusantara dan Timur Tengah lebih bersifat
politis daripada keagamaan dan keilmuan. Kelima, belum adanya kajian
komprehensif terhadap jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara dalam aspek
sumber-sumber pemikiran mereka yang telah mempengaruhi perjalanan historis
Islam di Nusantara. Kurang lebih lima alasan inilah yang membawa Azyumardi Azra
menuliskan karyanya ini.
Menilik alasan di atas maka Azumardi
Azra dalam kajiannya ini berusaha memberikan jawaban atas tiga masalah pokok
yaitu: pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk diantara ulama
Timur Tengah dengan murid-murid Melayu Indonesia. Kedua, apa peran ulama
Melayu Indonesia dalam tranmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke
Nusantara. Bagaimana modus transmisi itu,
Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap
perjalanan Islam di Nusantara.
Adapun sistematika penulisan yang
disuguhkan Azyumardi Azra untuk menjawab masalah di atas dengan membaginya
dalam lima bab pembahasan. Bab pertama: kedatangan Islam dan hubungan
Nusantara dengan Timur Tengah. Bab kedua: Jaringan ulama Haramayn abad
ke 17. Bab ketiga: pembaharuan dalam jaringan ulama dan penyebarannya ke
dunia Islam yang lebih luas. Bab keempat: para perintis getakan
pembaharuan di Nusantara: ulama Melayu Indoenesia dalam jaringan abad ke 17. Bab
kelima: jaringan ulama dan pembaharuan Islam diwilayah Melayu Indonesia
abad ke 18.
B.
Pembahasan
1. Bab 1 Kedatangan Islam dan
Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah
Dalam bab 1 ini dibahas tentang
teori-teori tentang kedatangan dan perkembangan Islam di Nusantara yang
dikaitkan dengan dinamika Islam di Timur Tengah. Adapun teori-teori itu adalah
: pertama, teori bahwa asal muasal Islam di Nusantara adalah anak Benua
India bukannya Persia dan Arabia. Teori ini kebanyakan di pegang oleh Sarjana
Belanda. Teori ini di dukung oleh Snouck Hurgronje yang berhujah bahwa Islam
berpijak kokoh di beberapa anak benua India. Selain itu Pijnappel menyebutkan
bahwa Islam di Indonesia di bawa oleh orang Arab yang menetap di India. Selain
itu batu nisan di Pasai mirip dengan batu nisan di Gujarat, demikian alasan
Moquette.
Kedua, teori yang dibawa oleh Marrison yang menyebutkan bahwa
Islam di Nusantara bukan dari Gujarat tapi dari penyebar Muslim dari Pantai
Coromandel pada akhir abad ke 13. Arold menambahkan bahwa Islam di Nusantara
berasal dari Malabar. Ketiga, teori Crawfurd yang menyebutkan bahwa
Islam di Nusatara dibawa langsung oleh orang-orang Arab. Keempat, teori
Keijzer yang menyebutkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar
Madzab Syafi’i yang banyak dianut pula oleh muslim Mesir.
Kelima,
teori yang didasarkan pada sejarah literature Islam Melayu Indonesia dan
sejarah dunia perdagangan Melayu. Teori berikutnya menyebutkan bahwa kaum
sufilah yang melakukan penyiaran Islam di Nusantara. Teori ini disampaikan oleh
AH Johns. Adapun motif penyebaran Islam ada yang berpendapat factor ekonomi,
dan politik.
Setelah menyebutkan teori-teori
kedatangan Islam, Dr. Azymardi Azra membawa pembaca pada pembahasan hubungan
awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah. Ada tiga fase dalam kaitannya dengan
hubungan Muslim Nusantara dengan Timur tengah. Fase pertama, yaitu sejak
akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 hubungan-hubungan yang ada pada umumnya
berkenaan dengan perdagangan. Hubungan ini terutama diparkrasai oleh muslim Arab
dan Persia. Fase kedua, sampai akhir abad ke-15, hubungan yang dibangun
adalah hubungan keagamaan dan cultural. Hal ini diprakarsai oleh pedagang dan
pengembara sufi yang intensif menyebarkan Islam di Nusantara.
Fase
ketiga, sejak abad ke- 16 sampai paruh ke dua abad ke-17 hubungan yang
terjalin lebih bersifat politik disamping keagamaan. Hubungan di abad ini
terjalin dengan Khilafah Utsmani dan juga penguasa Haramayn. Adapun riwayat
yang banyak menyebutkan hubungan ulama Nusantara dengan Timur Tengah diberikan
oleh sumber-sumber Cina dan Arab.
2. Bab 2 Jaringan Ulama di
Haramayn Abad Ketujuh Belas
Haramayn adalah sebutan untuk dua kota
yaitu Makkah dan Madinah. Haramayn adalah pusat intelektual muslim dunia.
Dimana para ulama, filosof, sufi, penyair, pengusaha, sejarawan muslim, bertemu
untuk saling menukar informasi. Faktor inilah yang menjadikan para penuntut
ilmu berbondong-bondong belajar di Haramayn. Adapun kebangkitan jaringan ulama
sendiri disebabkan oleh beberapa factor penting, tidak hanya keagamaan, tetapi
juga ekonomi, social dan politik.
Salah satu tanda bangkitnya keilmuan di
Haramayn adalah berdirinya Madrasah sebagai lembaga pendidikan tipikal Muslim. Selain
madrasah terdapat ribath dan zawiyyah. Baik madrasah maupun ribath kebanykan
didirikan oleh penguasa non hijazi. Ribath adalah pusat kaum sufi. Adapun madrasah
di Haramayn memiliki ciri khusus yakni
kosmopolitisme. Dimana madrasah berdiri di isi oleh guru-guru dan murid-murid
diluar Hijaz. Adapun pendanaan madrasah di Haramayn selain wakaf orang-orang
kaya juga ditanggung oleh kekhilafahan utamanya khilafah Ustmani.
Kemajuan dibidang ilmu dan perdagangan
di Haramayn terus meningkatkan kuantitas ulama yang datang ke Haramayn.
Demikian pula jumlah jamaah haji juga terus bertambah. Voll membagi menjadi 3
tipe imigran Asia Selatan yang datang ke Haramayn. Pertama, little
Imigrants. Yaitu orang yang datang dan bermukim di Haramayn dan diam-diam
terserap dalam kehidupan social keagamaan setempat. Tipe kedua, grand
immigrants yakni ulama per excellence. Sebagian dari grand immigrants ini
sangat ‘alim dan terkenal di negeri mereka. Tipe ketiga, ulama dan guru
yang mengembara kemudian menetap di Haramayn dalam perjalanan panjangnya
menuntut ilmu.
Jaringan ulama pra abad 17 dibangun dari
pusat-pusat pendidikan di sekitar masjid al Haram. Namun pusat pendidikan terus
berkembang ke madrasah-madrasah yang diikuti oleh ulama dari beberapa wilayah
diluar Haramayn. Adapun ulama Haramayn pra abad 17 diantaranya Al Fazi Ibn
Hajar al Asqlani, Ibrahim al Kurani. Sedangkan hubungan ulama-ulama ini memliki
asal usul yang kosmopolitan. Adapun 2 ulama non Hijazi yang berperang penting
pada abad 17 adalah Sayyid Shibghat Allah dan al Syinnawi. Adapun yang
bertangungjawab atas penyebaran ajaran Shibgat Allah adalah al Syinnawi dan al
Qusyasyi. Kemudian di wilayah Madinah murid al Qusyasyi yaitu al Kurani.
Adapun ulama yang memiliki peranan penting
dalam menghubungkan ulama Mesir dengan Haramayn adalah Muhammad bin ‘Ala’al Din
al Babili. Adapun ulama di wilayah Afrika Utara adalah Isa al Magribi dan
Muhammad bin Sulaiman al Magribi. Ulama-ulama ini adalah ulama grand immigrant.
Adapun ulama asli asal Mekkah yang berperan dalam jaringan ulama abad 17
diantaranya adalah Taj al Din bin Ahmad.
Hubungan diantara para ulama ini pada
umumnya terbentuk dalam kaitan upaya mereka menuntut ilmu. Koneksi diantara
mereka mengambil bentuk hubungan guru dengan murid (hubungan vertical).
Hubungan akademis ini juga mencakup bentuk guru dengan guru, murid dengan murid
yang keduanya disebut hubungan horizontal. Adapun sarana terpentinng yang
membuat hubungan ini makin solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat.
3.
Bab 3 Pembaharuan Dalam Jaringan Ulama
dan Penyebarannya Ke Dunia Islam yang
Lebih Luas
Adapun ciri yang paling menonjol dari
jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan antara para ulama yang
berorientasi pada syariat dan para sufi mencapai puncaknya. Sikap saling
pendekatan antara syariat dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke
dalam tarekat mengakibatkan timbulnya Neosufisme. Istlah yang
dimunculkan oleh Fazlur Rahman almarhum. Neosufisme memiliki pusat perhatian
untuk melakukan rekontruksi social moral dari masyarakat muslim.menurut Fazrul
Rahman ulama muslim yang bertanggungjawab dalam membantu merealisasikan
kebangkitan neo sufisme adalah para ahlu hadis.
Adapun tokoh neo sufisme diantaranya al
Qusyasyi yang mengetengahkan bahwa Nabi saw adalah seorang sufi yang tidak
pernah mengasingkan dirinya dari manusia. Sufi sejati adalah orang yang dapat bekerjasama
dengan muslim lainnya untuk kebaikan masyarakat. Demikan pula al Kurani
menekankan pentingnya syariat tanpa perlu mengesampingkan kecintaannya pada
tasawuf. Sulayman al Maghribi juga mengetengahkan pendapat yanga menentang para
sufi yang mengasingkan diri. Azyumardi Azra juga menuliskan bahwa tidak ada
ulama yang mengikuti gagasan milenarianisme (pembaharuan seribu tahun). Diantara
para ulama yang menjawab permasalahan yang mucul dari Jawa adalah al Kurani,
Ibn Ya’qub.
Adapun neo sufisme bila dihubungkan
dengan organisasi tarekat maka pada abad ke 17 ciri dari tarekat ini adalah
tarekat diorganisasi secara longgar, tdak ada batasan jelas diantara sekian
banyak tarekat, para syaikh dan murid sufi tidak harus setia pada sati tarekat
saja. Al Qusyasyi memberikan ajaran kepada muridnya apabila ada ajaran tarekat
yang keluar dari syariat islam maka diminta mereka keluar dari tarekat
tersebut.
Adapun hubungan dan koneks ulama di
Asia dan Afrika di abad 18 ulama penting berikutnya adalah Muhammad Hayyat bin
Ibrahim al Sindi al Hanafi. Muhammad Hayyat memiliki murid yaitu Ibn Abdul
Wahhab yang kemudian terkenal dengan gerakan wahabiyyah. Ibn Wahab mendurong
perubahan dengan bandul yang lebih keras dari ulama yang lainnya. Ulama
berpengaruh lainnya dari koneksi India adalah Quthb al Din Ahmad Syah Wali
Allah bin Abdrahim al dihlawi. Syah Wali Allah adalah murid al Kurani,
keunggulan dari Syah Wali Allah salah satunya adalah kegigihannya
mempertahankan keunnggulan akal dan pentingnya ijtihad. Peran Syah Wali Allah
dalam jaringan dilanjutkan oleh muridnya yaitu Murtadho Muhammad. Guru Murtadho
ada skitar 300 orang sehingga jaringan makin komplek. Murtadho memberikan karya
monumentalnya berupa kamus bahasa arabnya yna berjilid-jilid.
Adapun koneksi ulama di Cina berdasarkan
penelitian Fletcher yang dilanjutkan oleh Gladney menyebtkan bahwa
koneksi-koneksi dengan ulama Cina terpusat pada tarekat-tarekat. Tarekat
Naqsyabandiyah telah ada di Cina sejak abad 15. Adapun koneksi ulama muslim Cina
dengan jaringan ulama bisa di lihat dari karier Ma Mingxin pendiri tarekat
Naqsyabandiyah Jahriyah
Adapun koneksi jaringan ulama di Afrika
sebelum abad 18 tidak jelas. Namun Azyumardi Azra mengambil kesimpulan bahwa
ulama besar pertama dari bilad al Sudan –negeri kaum kulit hitam- adalah
Shalih bi Muhammad bin Nuh bin ‘Abdullah bin Umar al Umari yang dikenal sebagai
Shalih al Fullani. Shalih al Fullani belajar di Haramayn dan menjadi grand
immigrant, al Fullani memiliki 24 murid yang termasyur di abd 19. Al Fullani
mengikuti kecenderungan religio intelektual seperti Syah Wali Allah dan
Muhammad Hayyat. Selain al Fullani ulama lain dari bilad al suddan adalah
‘Utsman dan Fadio yang Berjaya di akhir abad 18 di awal abad 19. ‘Utsman murid
dari Jibril bin Umar al Sudani (murid dari Murtadha al Zabidi). Tokoh
berikutnya adalah al Tijjani yang mendirikan tarekat Tijaniyyah. Dan di Afrika
tarekat ini menjadi tarekat yang paling aktif.
Adapun kecenderungan ulama di abad 18
ini adalah banyak ulama yang menekankan rekonsiliasi diantara 4 madzab fiqih,
tetapi mereka meyayangkan sikap fanatisme mazhabi. Lebih jauh lagi
kecenderungan ulama lebih purifikasionis (pemurni ajaran). Sedangkan tarekat
difungsikan untuk rekontruksi kehidupan social moral ummah bukan perubahn sosio
religious.
4. Bab 4 Para
Perintis Gerakan Pembaruan Islam di
Nusantara: Ulama
Melayu-Indonesia
Dalam Jaringan Abad Ketujuh Belas
Tiga ulama yang menjadi mata rantai
utama dari jaringan ulama di wilayah Melayu –Indonesia adalah berawal dari al
Raniri, al Sinkili berkembang di kesultanan Aceh dan al Maqassari lahir di
Sulawesi yang memulai karirnya di Banten Jawa Barat. Satu persatu peran
pembaharuan dari ketiga ulama tersebut akan dibahas berikut.
a. Nur al Din al Raniri (w.
1068/1658)
Sebelum al Raniri diparuh kedua abad ke
17 ada Hamzah al Fansuri dan Syams al Din al Sumatrani yang berperan besar
dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan di Melayu-Indonesia. Diantara
kedua ulama tersebut terjalin hubungan guru dan murid. Mereka dikategorikan
memiliki aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan pendukung terkemuka
penafsiran mistiko filosofis wahdat al wujud dari tasawuf. Untuk itulah
mereka oleh sebagian ahli disebut sebagai tokoh mistik “sesat” dan “murtad”
yang bertentangan dengan tokoh sufi ortodhox seperti al Raniri dan Sinkili.
Al Raniri lahir di Ranir Gujarat,
tetapi dia dikenal sebagai mujaddid abad 17 di Melayu Indonesia. Al Raniri
mendapat pendidikan awalnya di Ranir kemudian melajutkan ke Hadhramawt. Guru al
Raniri dari India yang terkenal adalah sayyid Umar al Aydarus. Al Aydarus
memiliki peranan penting dalam menyalurkan gagasan keagamaan dari Timur Tengah
ke India dan lebih jauh lagi ke wilayah Melayu-Indonesia.
Kapan al Raniri tuk pertama kalinya
mengadakan perjalanan ke Melayu Indonesia tidak ada informasi. Tahun 1047/1637
al Raniri diangkat sebagai Syaikh al Islam kesultanan Aceh. Setelah mendapatkan
posisi ini al Raniri segera melancarkan pembaharuan di Aceh. Al Raniri
memandang bahwa Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas
doktrin sufi.
Selama 7 tahun di Aceh al Raniri
mencurahkan tenaganya sebagai alim, mufti, dan penulis produktif untuk
menentang doktrin wujudiyyah. Bahkan dia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada
semacam pemburuan terhadap orang sesat, membunuh orang-orag yang yang menolak
melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktik praktik sesat mereka, dan
membakar hingga jadi abu seluruh buku mereka. Al Raniri juga menghukum mati
para pengikut Hamzah al Fansuei dan Syam al Din
Selama 7 tahun di Aceh ada sekitar 29
karya al Raniri. Adapun karya beliau yang banyak di telaah adalah al Shirath al
Mustaqim. Dalam masalah aqidah al Raniri memegang doktrin al Asy’ariyyah. Al
Raniri di kenal berafiliasi dalam tarekat Rifa’iyyah, Aydarusiyyah dan
Qadariyyah.
Adapun peran al Raniri di dunia Islam
Melayu Indonesia diantaranya: pertama, al Ranini merupakan suaru mata
rantai sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan
tradisi di Nusantara. Dia adalah penyebar pembaharua Islam. Kedua: melalui
karyanya yang banyak mengutip dari tokoh-tokoh terkenal telah memperkenalkan
para tokoh ahli itu kepada kaum Muslim Nusantara. Ketiga, al Raniri
adalah orang pertama yang menjelaskan perbedaan antara penafsiran dan pemahaman
yang salah maupun benar atas doktrin-doktrin dan praktik sufi.
Keempat: al Raniri adalah orang pertama yang
membuat buku pegangan standar mengenai kewajiban agama yang mendasar bagi semua
orang. Kelima, al Raniri berperan besar dalam proses Islamisasi muslim
Kedah. Keenam, Islamisasi dalam bidang politik. Hal ini bertepatan
dengan posisi beliau sebagai Syaikh al Islam Kesultanan Aceh.
Ketujuh, al Raniri telah menjelaskan dasar
pokok-pokok keimanan dan ibadah Islam dan mengungkapkan kebenaran Islam dalam
suatu perspektif perbandingan dengan agama-agama lain. Buku beliau yang
membahas masalah ini adalah Tibyan fi Ma’rifat al Adyan. Kedelapan,
dalam bidang sejarah al Raniri adalah orang pertama yang menyajikan sejarah
dalam kontek universal dan yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan
sejarah Melayu. Buku beliau ini bernama Bustan al Salathin. Kesembilan,
al Raniri telah mendorong jauh perkembangan bahasa Melayu sebagai Lingua
Franca di wilayah melayu Indonesia.
b. ‘Abd al Ra’uf al Sinkili
(1024-1105/ 1615-930)
Pembaharuan setelah al Raniri di
Nusantara di lanjutkan oleh al Sinkili. Koneksi al Sinkili dengan ulama
Haramayn melebihi al Raniri. Al Sinkili seorang muslim asal Fansur, Sinkil di
wilayah barat laut Aceh. Al Sinkili diperkirakan berangkat dari Aceh ke Arabia
tahun 1052/1642. Jumlah guru al Sinkili 19 orang dan 27 ulama lain yang
memiliki hubungan kontak pribadi. Kota-kota tempat al Sinkili menuntut ilmu
adalah Dhuha (wilayah teluk Persia), Jeddah, makkah dan akhrnya madinah. Di
Madinah al Sinkili belajar pada al Qusyasyi dan al Kurani. Kedatangan al Sinkili
disambut baik oleh sultanah Aceh waktu itu yaitu Syafiyyat al Din. Al Sinkili
diangkat sebagai mufti yang bertanggungjawab atas urusan agama. Namun al
Sinkili tidak memberikan jawaban yang gamblang mengenai hokum wanita menjadi
sultanah.
Adapun pembaharuan yang dilakukan al
Sinkili diantaranya: pertama, ulama Melayu indonesia yang menulis
mengenai fiqh muamalat (Mir’at al Thullab, kitab al Fara’id). Kedua,
alim pertama yang bersedia mempersiapkan tafsir lengkap al Qur’an dalam
bahasa Melayu (Tarjamun al Mustafid),
dan karya ini menurut Riddell dan Harun adalah terjemah dari kitab Tafsir
Jallayn karya Jal al Din al Mahlli dan Jalal al Din al Suyuthi. Ketiga,
al Sinkili menorehkan penanya untuk menuliskan karyanya di bidang hadis. Yaitu
penafsiran hadist Arba’in dan yang kedua al Mawa’izh al Badi’ah sebuah
koleksi hadis qudsi.
Keempat, al Sinkili tidak hanya menuliskan
mengenai ilmu-ilmu zahir untuk kalangan awam, tetepai juga ilmu-ilmu bathin
untuk kalangan elite seperti masalah tasawuf fan kalam. Dari karya dan ajaran
al Sinkili dapat disimpulkan bahwa beliau secara sadar turut menyebarkan
doktrin dan kecenderungan intelektual dan praktis dalam jaringan ulama untuk
memperkuat tradisi Islam di kepaulauan Melayu Indonesia. Cirri dari ajarannya
adalah neo sufisme. Karya menunjukkan bahwa tasawuf harus berjalan sesuai
dengan syariat. Adapun pendekatan yang dipakai al Sinkili dalam pembaharuan
bergaya evolusioner bukan radikal.
Adapun jaringan Melayu Indonesia al
Sinkili dibangun dari murid-murid al Sinkili di Nusantara. Adapun tarekat yang
paling utama adalah tarekat Syathariyyah –tarekat yang diperbarui oleh al
Qusyasyi dan al Syinnawi. Adapun murid-murid al Sinkili di Sumatera yaitu
Burhan al Din yang dikenal sebgai Tuanku Ulakan ( Minangkabau Sumatera Barat).
Tuanku Ulakan setelah belajar dengan al Sinkili kembali ke daerah Minang dan
mendiriakan ribat di sana.
Murid al Sinkili berikutnya adalah ‘Abd
al Muhyi asal Jawa Barat. Peranan penting al Muhyi salah satunya dalam mengubah
kepercayaan masyarakat dari animesmie kepada Islam dan juga dalam penyebaran
tarekat syatariyyah. Adapun murid al Sinkili di semenanjung Melayu adalah ‘Abd
al Malik b ‘Abd Allah. Beliau belajar dengan al Sinkili di Aceh kemudian
melanjutkan ke Haramayn. Beliau seorang penulis syariat dan fiqih dan juga
aktif mengajar.
Murid al Sinkili berikutnya adalah
Dawud al Jawi al Fanshuri b isma’il b Agha Musthafa b Agha b ‘Ali Rumi. Dawud
al Jawi al Rumi bersama gurunya membangun lembaga pendidikan Islam tradisional
di Aceh. Inilah murid murid al Sinkili yang mnyebar di beberapa wilayah. Beliau
meninggal tahun 1105/1693 dan dimakamkan di kuala, mulut sungai aceh, maka
kemudian beiau dikenal sebagai Syaikh di Kuala.
c. Muhammad Yusuf al Maqassari
(1037-1111/ 1627-99)
Perjalanan al Maqassari dimulai dari
Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Arabia, Sri Langka dan Afrika Selatan. Al
Maqassari lahir dari keluarga muslim. Pendidikan agama di peroleh Maqassari di
Sulawesi dari kalangan sufi. Al Maqassari juga pernah belajar di Cikoang
Kalimantan. Setelah dari tempat ini Maqassari menikah dengan puteri Sultan
Gowa. Setelah itu al Maqassari meninggalakan makasar menuju Arabia tuk belajar
pada bulan Rajab1054/ September 1644. Menuju Arabia al Maqassari memanfaatkan
rute perdagangan interinsuler. Sehingga pertama beliau singgah di Banten. Di
Bnaten al Maqassari belajar Islam dan juga membangun jalinan yang kuat dengan
orang-orang kerajaan termasuk Putra Mahkota.
Dari Banten al Maqassari melanjutkan ke
Aceh. Dan sebelum ke Haramayn al Maqassari mampir terlebih dahulu ke Yaman. Di
Yaman al Maqassari belajar pada guru-guru yang ahli hadis. Setelah beberapa
tahun di Yaman al Maqassari melanjutkan ke Haramayn. Di Haramayn al Maqassari
belajar pada al Kurani, al Qusyasyi, Muhammad al Mazru’ dan beberapa guru
lainnya. Setelah dari Haramayn al Maqassari tidak langsung kembali ke Nusantara
tetapi mampir di Damaskus. Di Damasqus al Maqassari belajar pada Ayyub al
Khlawati seorang ulama terkemuka.
Setelah dari Damasqus al Maqassari
melanjutkan ke Istanbul kemudian kembali ke Melayu Indonesia. Sesampainya di
Gowa Sulawesi Selatan al Maqassari menghimbau kepada penguasa dan bangsawan di
Goa untuk menghapuskan semua praktik yang tidak Islami dan menjalankan hokum
Islam. Namun para penguasa Gowa malah mempertahankan status guo. Kembalinya al
Maqassari ke Makasar masih ada perbedaan pendapat. Pendapat lain menyebutkan
bahwa al Maqassari dari Haramayn langsung menuju Banten. Setelah beberapa bulan
di Banten al Maqassari menikahi puteri sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian al
Maqassari menjadi dewan penasehat sultan.
Meski al Maqassari bergelut dalam dunia
politik tetapi tetp axis menuliskan karya-karyanya. Ketika terjadi perang
antara sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya ‘Abd al Qahhar, al Maqassari
berada di kubu sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan ketika sultan Ageng tertangkap al
Maqassari mengantikan yang memimpin pasukan. Hingga akhirnya al Maqassari
tertangkap oleh Belanda untuk kemudian di asingkan ke Srilangka. Meskipun ada
di Srilangka al Maqassari jaringannya tetap berjalan maka oleh Belanda al
Maqassari dipindah ke Afrika Selatan hingga meninggal disana.
Dari kisah al Maqassari ini dapat
disimpulkan bahwa Al Maqassari adalah seorang neo sufisme. Beliau sufi tapi
taat syariat dan tidak mengasingkan diri dari masyarakat. Teologi al Asy’ariyyah
lah yang dipegang oleh al Maqassari. Terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan al
Maqassari membaginya kedalam 4 kelompok. Pertama, orang yang hanya
mengucapkan syahadat tapi tidak benar-benar berimana (munafiq). Kedua,
orang yang mengucapakan syahadat tetapi juga menanamkannya ke dalam jiwa (orang
awam).
Ketiga, orang yang benar-benar paham akan
implikasi lahir dan batin dari pernyataan keimanannnya (orang-orang elit). Keempat,
orang-orang dari golongan ketiga yang mengintensifkan syahadah mereka dengan
mengamalkan tasawuf (orang terpilih dari golongan elite). Demikianlah sekelumit
tentang al Maqassari. Demikianlah kiprah ketiga ulama –al Raniri, al Sinkili,
dan al Maqassari di abad ke 17.
5. Bab 5 Jaringan Ulama dan
Pembaharuan Islam di Wilayah Melayu
Indonesia
Pada Abad Kedelapan Belas.
Azmuardy Azra menyimpulkan bahwa ketiga
ulama di abad 17 al Raniri, al Sinkili, dan al Maqassari adalah para ulama
pembaharuan – tajdid-, dimana tema pokok pembaharuan mereka adalah kembali
kepada ortodoksi sunni dengan ciri paling menonjol adalah keselarasan antara
syariat dan tasawuf. Pembaharuan ini sebagai sespon internal terhadap kondisi-kondisi
keagamaan yang marajalela dikalangan kaum muslim sendiri. Tetapi sejak abad
ke-18 faktor-faktor luar terutama penetrasi colonial juga membantu akselerasi
gerakan pembaharuan di Nusantara.
Adapun
ulama utama Melayu Indnesia di abad 18 diantaranya adalah:
1.
Al Palimbani dan para ulama Palembang lainnya
Islam
masuk ke Palembang sekitar abad ke 10. Namun Islam berkembang kuat saat
kejatuhan Sriwijaya dan bangkitnya Kesultanan Palembang pada awal abad ke-17.
Adapun ulama yang paling menonjol adalah ‘Abd al Shamad al Palimbani. Ayah al
Palimbai seorang sayyid dari Yaman dan ibunya orang Palembang. Pendidikan awal
di dapatkan di daerah Kedah dan Patani, dan kemudian al Palembani oleh Ayahnya
dikirim ke Arabia untuk belajar.
Azyumardi
Azra menyimpulkn bahwa al Palimbani memantapkan kariernya di Haramayn dan tidak
kembali ke Nusantara. Di Haramayn al Palimbani satu komunitas dengan ulama Jawa
lainnya. Sehigga beliau tetap tanggap dengan perkembangan sosio-religius dan
politik di Nusantara. Diantara guru al Palembani yang menjadi tokoh utama
jaringan ulama abad 18 adalah Ibrahim al Ra’is. Guru lainnya adalah Muhammad
Murad,Muhammad al Jauwhari dan Atha’Allah al Azhari. Adapun tarekat al
Palimbani adalah tarekat Sammaniyah. Al Palimbani ulama penting dalam jaringan
di abad 18. Dalam karya-karyanya al Palimbani tidak hanya mnyebarkan ajaran
neosufisme tetapi juga menghimbau kaum muslimin untuk jihad melawan orang-orang
eropa.
2.
Para ulama al Banjar
dari Kalimantan
Tokoh
ulama dari Banjar adalah Muhammad Asryad al Banjari. Ulama pentng dalam
jaringan sekaligus pendiri pertama lembaga-lembaga Islam dan memperkenalkan
gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan. Muhammad Arsyad belajar bersama
al Palimbani. Diantara guru beliau yang terkenal adalah al Sammani, al
Damanhuri, Sulayman al Kurdi. Sehingga al Banjari menjadi ulama yang
bertaggungjawab atas berkembangnya tarekat Samaniyyah di Kalimantan.
Sekembalinya
dari Haramayn, al Banjari mendirikan lembaga pendidikan Islam., memperbaharui
admisistrasi keadilan di Kesultanan Banjar. Memperkenalkan jabatan mufti yang
bertanggungjawab dalam mengeluarkan fatwa-fatwa atas masalah agama. Ulama
lainnya di Kalimantan yang membawa peranan penting adalah Muhammad Nafis. Lahir
dari keluarga bangsawan yang kemudian belajar di Haramayn. Diantara gurunya adalah al Sammani, Muhammad
al Jawhari dan beliau merupakan kawan dekat al Palimbani.
Muhammad Nafis
terkategori sebagai ulama penganut madzab syafi’i dengan teologi Asy’aryah. Sekembalinya
dari Haramayn Muhammad Nafis konsen pada penyebaran Islam di pedalaman
Kaimantan Selatan.
3.
Dawud b ‘Abd Allah
dan Kebangkitan Ulama Patani
Ulama Patani yang terlibat dalam jaringan ulama Nusantara
salah satunya adalah Dawud b ‘Abd Allah bin Idris al Fatani. Al Fatani juga
murid lulusan Haramayn. Al Fatani adalah ulama yang produktif, ada sekitar 57
buku karya beliau yang membahas semua disiplin Islam. Dari ulama-ulama yang
telah disebutkan nampak bahwa jaringan ulama Timur Tengah dan Melayu Nusantara
terus menggapai momentum. Peredaran tulisan mereka medorong meluasnya
pembaharuan Islam di Melayu Nusantara.
Adapun pengaruh dakwah mereka terhadap perkembangan Islam
di Nusantara sangat besar. Missal tulisan Muhammad Arsyad yang popular
menunjukkan bahwa karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran hokum Islam
benar-benar dibutuhkan kaum Muslim Melayu Indonesia sebagai petunjuk praktis
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sumbangan besar lebih lanjut hokum-hukum
Islam diberikan oleh Dawud al Fatani di abad ke-18. Dawud al Fatani juga
merupakan ulama teladan dalam usahanya mendamaikan aspek hokum dan aspek mistis
Islam.
Dalam
karya Fiqihnya (Furu’ al Masail) al Fatani memperkenalkan metode baru
dalam menjelsakan seluk beluk fiqih dengan cara yang dianggapnya menarik dan
mudah difahami masyarakat Melayu Nusantara. Berikutnya adalah al Palimbani yang
yang bertanggungjawab terhadap penyebaran lebih jauh dari neo sufisme di
Nusantara. Al Palimbani adalah ulama yang menonjol dalam menerjemahkan
karya-karya al Ghazali.
Penyebaran tasawuf
al Ghazali tak lepas dari uapaya al Palimbani. Salah satu karya al Palimbani
yang berkaitan tulisan al Ghazali adalah Hidayat al Silikin. Selain mengacu
pada al Ghazali, al Palimbani juga mengacu pada guru sebelumnya yaitu al
Sinkili, al Sumatrani dan lain-lain. Al Palimbani juga mendorong aktivisme
dikalangan kaum muslim untuk jihad melawan Belanda. Al Palimbani mengajarkan
bahwa Sufi sejati adalah penganut doktrin wujudiyyah muwahhid –Keesaan Tuhan
yang Mutlak dalam diriNya-.
Usaha mendamaikan
tasawuf al Ghazali yang berorientasi pada syariat dengan tradisi tasawuf
filosofis ibn ‘Arabi juga dilakukan oleh Muhammad Nafis. Muhammad Nafis menekankan
pentingnya kepatuhan kepada syariat baik lahir maupun bathin untuk mencapai
tahap kasyf (intuisi langsung). Sedangan al Fatani juga menganut tasawuf al
Ghazali dan Ibn ‘Arabi. Al Fatani juga menganjurkan Jihad melawan colonial
Belanda. Adapun ulama yang memiliki peran penting dalam kebangkitan pembaharuan
Muslim Minagkabau adalah Tuanku Nan Tuo. Beliau mengajarkan supaya masyarakat
Minagkabau mendasarkan kehiduapnnya pada jalan AhluSunnah wal Jamaah.
Inilah perjalanan
perubahan dan perkembangan Islam di melayu Nusantara yang membawa tradisi besar
Islam mencapai supremasi di Nusantara. Pembaharuan Islam di wilayah Melayu
Nusantara pada abad ke-17 tidak sekedar berorientasi pada taswuf tetapi juga
berorintasi pada syariat. Hal ini berbeda dari abad sebelumnya yang cenderung
mistiss. Dan ketika banyak ulama yang belajar di Haramayn maka hamper secara
serentak para ulama menyebarkan neo sufisme di Nusantara.
OPINI
PEREVIEW
Pertama, Dr. Azyumardi Azra
dalam bukunya menyebut jaringan ulama Melayu Nusantara. Namun tidak memberikan
definisi wilayah mana saja yang termasuk Melayu. Apakah Melayu itu Indonesia
saat ini atau bukan. Sehingga bagi pembaca pemula hal ini menjadi tanya tanya.
Setelah pereview membaca literature lain diperoleh informasi bahwa yang
dimaksud dengan daerah Melayu adalah dimulai dari Semenanjung Tanah Melayu
(sekarang masuk wilayah Malaysia), turun ke Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, pulau-pulau Nusatenggara, pulau-pulau Maluku termasuk Irian, naik terus
kepulauan Luzon dan Mindanao (sekarang Filipina).[1]
Kedua, Dr. Azumardy Azra
menyebutkan bahwa hubungan awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah
untuk fase pertama yaitu sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12 berupa
hubungan perdagangan. Sedangkan dalam literatur lain yang periview baca
disebutkan bahwa dari hasil catatan pusaka pustaka Tiongkok disebutkan bahwa
orang Arab (saudagar-saudagar Arab) telah datang ke negeri-negeri Melayu pada
abad ke-7 M.[2]
Sehingga informasi ini berbeda dengan pendapat Dr. Azyumardi Azra.
Ketiga,
Dr. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa para
perintis gerakan pembaruan Islam di Nusantara (ulama Melayu-Indonesia)
dalam jaringan abad ketujuh belas terdapat tiga ulama penting yaitu al Raniri,
al Sinkili, dan al Maqassari. Dalam pembahasannya Dr. Azyumardi Azra
menyimpulkan bahwa ajaran ketiga ulama tersebut adalah neo sufisme. Dalam
literatur lain yang bisa mengenapkan tulisan Dr. Azymardi Azra bahwa disebutkan
pada abad ke-17 sudah terdapat 2 aliran yaitu aliran pedalaman dan aliran
pesisir.[3]
Aliran pesisir adalah agama Islam
dengan dasar tauhid, beramal menurut paham ahlu sunnah wal jama’ah,
dunia untuk kepentingan akhirat, mencari harta benda agar dapat mengeluarkan
zakat dan naik haji. Berani karena benar takut karena salah, tempat menundukkan
kepala hanya pada Allah swt saja. Aliran pedalaman adalah aliran yang mengakui
Allah swt sebagai Tuhan tetapi lebih mementingkan tafakkur, condong kepada
tasawuf, pembersihan hati, jihad melawan nafsu lebih dipentingkan daripada jihad
melawan musuh dari luar. Inilah dua aliran yang sudah ada di abad 17. Sehingga
dari sini dapat disimpulkan bahwa konsep neo sufisme yang disampaikan oleh Dr.
Azyumardi Azra lebih dekat pada aliran pesisir.
Keempat, dalam karangan Dr.
Azyumardi Azra disebutkan bahwa al Maqassari yang dalam literature lain disebut
syekh Yusuf menikah dengan puteri Sultan Agung Tirtayasa setelah pulang belajar
dari di Timur Tengah. Adapun dalam literature lain yang periview baca bahwa al
Maqassari (Syekh Yusuf) menikah dengan puteri Sultan Ageng Tirtayasa sebelum
berangkat belajar ke Timur Tengah.[4]
Dari sini maka ada perbedaan waktu terkait kapan pernikahan al Maqassari (syekh
Yusuf).
Kelima, dalam literatur lain
disebutkan meskipun al Raniri diangkat Mufti (al Qadhi al Malikul ‘Adil) di
kerajaan Aceh akan tetapi Sultan lebih dekat pada Syekh Abdurrauf Fansuri.
Sehingga apabila ada masalah Fiqh atau kenegaraan sultan menyampaikannya kepada
Syekh Abdurrauf Fansuri.[5]
Hal inilah yang belum dituliskan dalam karya Azyumardi Azra.
Keenam, sebaiknya pendapat Dr.Azyumardi Azra
yang menyebutkan bahwa Islam yang beredar sebelum abad ke XVII dan XVIII di
Nusantara bercorak mistis daripada syariat diberikan bukti-bukti konkretnya
lengkap dengan sumber literaturnya. Sehingga pembaca juga merasa yakin bahwa
berita itu adalah benar.
Kedelapan, menyebut ulama abad
XVII dan XVIII adalah ulama neo sufime, kenapa tidak menyebutnya sebagai ulama ahlusunnah.
Bukankah ajaran ahlusunnah mengajarkan untuk taat syariat dan memiliki ritual
ibadah dan jiwa yang bersih? Sebagaimana disebutkan dalam literature lainnya. Selain
itu teologi yang dibawa oleh para ulama dalam jaringan kebanyakan teologi
Asy’ariyyah. Dimana teologi ini muncul dengan karakteristknya sebagai kelompok ahlusunnah
waljama’ah. Dan bahkan kata ahlusunnah waljamaah sampai sekarangpun
popular dimasyarakaat daripada neosufisme yang definisinya masih belum dipahami
oleh kalangan awam. Sehingga pembaharuan yang dilakukan para ulama di Nusantara
menurut pereview adalah pembaharuan menuju Islam yang murni yaitu penerapan
Islam dalam kehidupan dan ketaatan dalam ibadah kepada Allah swt.
ANALISIS
PENDEKATAN DAN METODOLOGI
PEMIKIRAN
AZYUMARDI AZRA
Sebuah karya penelitian tentulah
menggudakan pendekatan tertentu dan juga metode penulisan tertentu. Hal ini
menjadikan karya itu memiliki kejelasan tujuan penelitian dan pijakan
penelitian. Sitematika atau metodelogi penulisan haruslah pula ditentukan untuk
memudahkan pembaca memahami alur cerita yang dibuat oleh penulis. Penulisan
yang runtut akan mengarahkan pembaca pada pemahaman yang menyeluruh.
Adapun pendekatan yang digunakan Dr. Azyumardi
Azra dalam penelitiannya tentang jaringan ulama abad XVII dan XVIII adalah
pendekatan sejarah. Sehingga dalam penelitiannya ini Dr. Azyumardi Azra
melakukan kunjungan ke beberapa tempat seperti Banda
Aceh, Jakarta, Yogyakarta, UjungPandang, New York City, Kairo, Madinah, Makkah
dan lain-lain. Hal ini dalam rangka mempeoleh informasi yang otentik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dr. Azyumardi Azra memulai tulisannya dengan menjelaskan sejarah
kedatangan Islam di Indonesia, kemudian dilanjutkan pada proses perubahan
ajaran dan praktik keislaman oleh warga Melayu Nusantara seiring banyaknya
ulama asal Melayu Nusantara yang belajar di pusat keilmuan Islam khususnya
Haramayn. Dan juga datangnya para ulama luar yang masuk ke wilayah Melayu
Nusantara.
Pelacakan
guru-guru dari ulama Melayu Nusantara di Haramayn menghasilkan jaringan ulama
Timur Tengah dengan ulama Melayu Nusantara. Tak berhenti sampai pelacakan guru
para ulama Dr. Azyumardi Azra juga melacak karya-karya mereka, ajaran yang
didakwahkan mereka. Hingga Azyumardi Azra bisa menyimpulkan bahwa pembaharuan
yang dilakukan ulama Melayu Nusantara adalah penyebaran neo sufisme di
Nusantara.
Disebut
neo sufisme karena ajaran-ajaran yang diberikan oleh para ulama itu adalah
mengajak umat Islam untuk mentaati Allah swt secara totalitas, dengan
praktek-praktek ibadah yang taat tetapi tidak meninggalkan urusan dunia.
Menjadikan seluruh amal muslim adalah Ibadah. Sehingga tidak ada istilah tekun
ibadah ritual kemudian meninggalkan urusan dunia (uzlah). Inilah yang
kemudian oleh Azumardy Azra disebut sebagai neo sufime.
Adapun
hasil analisis penelitian Dr. Azyumardi Azra terhadap Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII adalah sebagai berikut:
1.
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi
intelektual dan keilmuan Islam diantara kaum Muslim Melayu Indonesia. Kajian
atas sejarah kehidupan, keilmuan, dan karya-karya yang mereka hasilkan
menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual diantara kaum
Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga perkembangan Islam semasa di
dunia Melayu Indonesia. Kehidupan dan pengalaman mereka menyajikan gambaran
yang amat menarik tentang berbagai jaringan intelektual keagamaan yang terdapat
diantara mereka dengan ulama Timur Tengah.
2.
Sifat dan karakteristik dari jaringan ulama tersebut
mencakup hubungan-hubungan yang rumit antara para ulama dari berbagai dunia
Islam. Ulama Melayu Nusantara sendiri tidak sedikit yang mula-mula ke Haramayn
untuk menunaikan ibadah haji kemudian menetap untuk belajar di Haramayn. Dari
situlah kemudian mereka menyebarkan pembaruan Islam di Nusantara yang membawa
ciri penyebaran neo sufime. Adapun karakteristik penting lainnya dari wacana
ilmiah dalam jaringan ulama adalah telaah hadis dan tarekat. Ajaran-ajaran
tarekat yang menekankan kesetiaan dan kepatuahan kepada guru memberikan
kekuatan tambahan kepada jaringan ulama
3.
Peran ulama Melayu Nusantara dalam jaringan adalah sebagai
transmitter utama tradisi intelektual keagamaan, tradisi Islam dari pusat-pusat
keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara.
4.
Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan
Islam di Nusantara adalah adanya semangat pembaharuan dalam berbagai masyarakat
muslim di Nusantara terutama abad XVII dan XVIII.
DAFTAR RUJUKAN
Azra, Azyumardi, Jaringan
Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad Xvii Dan Xviii: Melacak
Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1995.
Hamka, Sejarah Umat
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar