يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Minggu, 02 Maret 2014

IBU, GIZI DAN GENERASI

Tugas dan tanggungjawab Ibu dalam kehidupan ini hakikatnya tidaklah mudah. Namun lain lagi ceritanya bila targetnya hanya ingin menjadi ibu biasa-biasa saja. Bagi seorang wanita yang paham akan fungsi, kedudukan dan peran dari seorang ibu tentu tidak bersedia menjadi ibu yang biasa-biasa saja. Pasang target menjadi ibu yang amanah, professional dan dicintai keluarga adalah suatu keniscayaan. Apalagi bila dilihat dari sudut pandang agama kesempatan wanita untuk meraih syurga dari pengabdiannya dalam rumah tangga suaminya amat sangat terbuka.

 Tanggal 28 Februari di negeri ini diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Dan apabila kita kaitkan gizi ini dengan kehidupan berumah tangga, maka sosok ibulah yang memiliki peran besar dalam menentukan makanan-manakan bergizi untuk anggota keluarganya. Kegiatan menyiapkn menu makan ini mungkin tidak dianggap begitu penting bagi sebagaian orang. Alasan yang sering muncul karena itu sudah menjadi tugas wajib wanita. Sehingga kadang kaum bapak-bapak kurang mau tahu terkait urusan dapur sang istri. Namun benarkah sikap yang demikian?

Urusan makan memang urusan perut. Namun dari makan ini memiliki efek ke banyak hal. Makanan yang bergizi akan menjadikan tubuh sehat dan otak mendapat suplay gizi yang seimbang sehingga bisa berfungsi optimal. Badan yang sehat, otak yang cerdas akan berimplikasi positif pada peningkatan kwalitas hidup dan ibadah. Adapun orang yang kurang gizi bisa terkena marasmus gizi. Sedangkan kelebihan gizi tertentu juga bisa berakibat kepada penyakit pula. Kalau sudah terserang penyakit maka ibadahpun menjadi tidak optimal dilakukan. Dengan demikain seorang suami juga perlu untuk memberikan perhatian berkaitan dengan menu masakan sang istri, semuanya demi kesehatan seluruh anggota keluarga.

 Seorang ibu yang bisa menyiapkan makanan yang halal lagi toyyib (baik dan bergizi) adalah ibu yang cerdas. Untuk menjadi figur ibu yang cerdas para ibu harus bersedia untuk terus belajar dan menambah wawasan. Dengan belajar seorang ibu akan mendapatkan ilmu. Dengan ilmu akan diperoleh pengetahuan mana makanan yang halal, mana yang haram, mana yang berigizi dan tidak. Berapa kebutuhan gizi anggota keluarganya, bagaimana pola hidup sehat dan cara memasak yang benar. Belajar tidak harus dengan sekolah, para ibu bisa melakukanya dengan membaca, menonton rubrik kesehatan di TV, tanya ke ustad/dzah untuk mendapatkan informasi produk halal dan bisa pula dengan konsultasi dengan pakar gizi.

Untuk menghasilkan ibu yang cerdas tentu dibutuhkan sosok ibu yang sehat. Namun data menunjukkan bahwa masih sangat banyak wanita Indonesia yang belum sehat alias belum terpenuhi gizinya. Sebagaimana dinyatakan bahwa kasus kurang gizi pada perempuan usia-subur 15 - 45 tahun (13,6%), (http://www.menkokesra.go.id/content/menko-kesra-indonesia-mengalami-beban-ganda-masalah-gizi). Kondisi ini bisa disebabkan banyak faktor. Faktor pendidikan menjadi unsur penting yang mempengaruhi gaya berfikir para ibu. Di daerah tidak sedikit tradisi memasak yang masih keliru. Ambil contoh masyarakat tempat penulis tinggal, ada kebiasaan bahwa untuk membuat urap dari daun ketela maka harus direbus dulu lalu dicuci sampai air perasan daun ketela berwarna bening. Bila belum bening maka harus terus disiram dengan air hingga air perasan daun ketela berwarna bening. Tentu tradisi yang seperti ini salah. Karena ketika air perasan itu berwarna bening itu artinya daun ketela itu sudah kehilangan kandungan gizinya. Keyakinan ini bisa diluruskan apabila para ibu tadii memperoleh edukasi.

 Kedua, faktor ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2013 mencapai 28,55 juta orang (11,47 persen) atau meningkat 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 tercatat 28,07 juta orang ( http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/01/03/mysfdt-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-bertambah). Ekonomi rendah menjadikan keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan makan sehat dan bergizi. Sering kali televisi menayangkan kehidupan orang-orang miskin. yang kadang nasi basi menjadi menu utama mereka.

Peningkatan jumlah kaum miskin ini tidak lepas dari sistem ekonomi liberal yang menjadikan harta hanya berkumpul pada individu-individu kaya saja. Distribusi harta yang tidak merata berimplikasi pada distribusi orang sehat dan bergizipun menjadi tidak merata pula Apabila negeri ini menginginkan generasi yang terpenuhi gizinya, sehat, cerdas, dan berkwalitas maka negara harus menyehatkan dan mencerdaskan para ibu. Karena dari rahim ibulah anak-anak itu lahir dan ibulah pendidik pertama bagi ananya. Sudah saatnya ibu diberikan tempat mulia bukan malah disibukkan dengan urusan ekonomi (semisal menjadi TKW) yang malah menjadikan ibu meninggalkan tugas utama dan pertamanya yaitu sebagai istri, ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Negara hendaknya memberikan lapangan usaha bagi kaum bapak sehingga bisa memberikan nafkah yang layak bagi keluargnya. Dan apabila terpaksa seorang wanita harus bekerja, maka pekerjaan itu tidak berakibat meninggalkan tugas utamanya sebagai umm warabatul bait. Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah