Hari-hari
ini berbagai media cetak maupun elektronik hangat membicarakan kasus kekerasan
seksual yang terjadi di Indonesia. Adapun tindakan yang terkategori kekerasan
seksual sebagaimana yang disebutkan oleh Komnas Perempuan meliputi: perkosaan,
intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan
seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,
prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai
gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan
sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa
seksual/diskriminatif, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasikan perempuan, dan control seksual termasuk lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Masih
dari catatan Komnas Perempuan untuk tahun 2016 ini terdapat 321.752 kasus
kekerasan seksual diranah personal dengan
peringkat kedua kekerasan seksual yang terjadi berupa tindakan perkosaan
yaitu 72%, adapun pencabulan 18% dan pelecehan seksual 5% dan 5.002 kasus kekerasan
terjadi di ranah public. (mediaumat, 20 Mei-2 Juni 2016). Sungguh angka yang
cukup besar sehingga pantas membuat tercengang penduduk di negeri ini. Maka
wajar bila kemudian Mensos Khofifah Indar Parawansa menyatakan bahwa Indonesia
darurat pornografi dan perlindungan terhadap anak dan perempuan. Tapi bila
dipikir bagaimana bisa, negara dengan mayoritas penduduk muslim memiliki rekor
kejahatan seksual sedemikian tinggi?
Dan yang
menjadikan negeri ini kian miris adalah bahwa pelaku pemerkosaan yang
sedang ramai dibicarakan kalayak adalah masih dibawah umur dan berstatus
sebagai pelajar. Dan ternyata usut demi usut kejahatan seksual yang mereka
lakukan itu berawal dari kebiasaan nonton video porno ditambah dengan meminum
miras, sabu ataupun yang sejenisnya dengan itu. Dalam keadaan fly inilah
kemudian mereka menyalurkan tindakan bejatnya.
Mengapa Bisa
Terjadi?
Setidaknya
ada dua faktor yang menjadikan tindakan kekerasan seksual ini merajalela yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal, bisa jadi disebabkan oleh
lemahnya pondasi agama yang dimiliki pelaku kejahatan seksual. Seorang anak
yang mendapatkan pelajaran agama yang sangat minim berimplikasi pada lemahnya
iman dan ketakwaannya kepada Alloh SWT. Anak yang tidak dikenalkan halal dan
haram, baik dan buruk, tercela dan terpuji, surga dan neraka, nafsu dan iman,
akan sangat berpeluang untuk mengumbar birahinya sehingga tidak takut akan
pengwasan Alloh SWT yang 24 jam non stop mengawasi manusia. Dan pendidikan
agama ini menjadi tanggungjawab keluarga dan Negara dengan sistem
pendidikannya.
Faktor
eksternal, diantaranya adalah pergaulan, lingkungan, dan sistem kehidupan.
Pergaulan memiliki peran yang cukup besar dalam mempengaruhi pola pikir dan
perilaku anak. Apalagi diusia puber/remaja adalah masa bagi anak untuk
menemukan identitas dirinya. Ketika kawan yang dikenal dalam pergaulannya
adalah seorang pecandu narkoba, pornografi, dan perilaku menyimpang lainnya
maka sangat mudah anak tersebut akan tertular. Demikian pula lingkungan
memiliki andil yang signifikan. Ketika lingkungan tempat tinggal anak berada
dikawasan yang dipenuhi dengan orang-orang yang tidak peduli dengan hal baik
dan buruk, maka tidak akan ada lagi control dari masyarakat atau tidak ada
aktivitas nasehat menasehati dalam kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Bila
demikian adanya maka kejahatan akan semakin semarak karena masyarakat sudah
tidak peduli lagi dengan kondisi disekitarnya.
Berikutnya
adalah sistem yang diterapkan di negara ini. Mau tidak mau harus jujur diakui
bahwa negeri ini menerapkan sekulerisme dan liberalisme. Dua paham ini telah
menjadikan kemaksiatan terus berkembangbiak karena difasilitasi Negara.
Contohnya adalah berdirinya pabrik-pabrik miras, rumah prostitusi, beredarnya
video porno, dan kebebasan berekspersi dan berpenampilan atas nama HAM. Padahal
ini semua adalah jalan yang membuka kran bangkitnya syahwat dan bisa berujung
pada pemaksaan pemenuhan kepada orang yang tidak dibenarkan.
Menghentikan
Kekerasan Seksual
Meningkatnya
kasus kekerasan seksual menjadikan berbagai kalangan sepakat untuk memperberat
hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Tindakan ini diharapkan menjadi langkah
kuratif untuk mencegah bertambahnya kasus kekerasan seksual di negeri ini. Namun
efektifkah pemberatan hukuman ini memberantas kekerasan seksual yang terjadi?
Sedang pabrik miras tetap berproduksi, konten porno tetap gentanyangan baik di
dunia maya maupun nyata, dan sistem pergaulan yang tetap menganut ide
kebebasan.
Sejatinya
langkah yang harus ditempuh oleh negeri ini untuk menghentikan kekerasan
seksual ada dalam hukum Islam. Hal ini bisa dirasionalisasikan dari beberapa
hal berikut:
Pertama, dalam sistem Islam, dilarang memproduksi dan mengedarkan makanan
dan minuman yang haram. Dengan demikian miras, sabu, dan yang sejenisnya tidak
akan diproduksi dan diedarkan di masyarakat. (QS. al Maidah:3). Kedua,
Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat. Pakaian
muslimah yang dikenakan para wanita akan menghindari munculnya gairah seksual
laki-laki yang memandangnya, (QS: 59: 33), (QS: 4: 31). Ketiga, Islam
melarang aktivitas ihktilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan.
Pemisahan ini akan memberikan dampak positif bagi pergaulan sehingga akan jauh
dari tindakan mendekati zina yang bisa menghantarkan pada zina yang
sesungguhnya, (QS: 17: 32).
Keempat,
Islam menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi pelaku zina yaitu
dengan hokum rajam bagi yang sudah menikah dan cambuk bagi yang belum menikah,
(QS: an Nuur: 2). Dan pelaksanaan hukumannya dilakukan ditempat terbuka dengan
disaksikan oleh banyak orang. Sanksi ini tidak kejam, malahan hukuman seperti
inilah yang setimpal bagi pelaku zina dan akan membuat orang jera dan takut
melakukan perzinaan. Kelima, Islam mewajibkan adanya aktivitas amar ma’ruf nahi munkar di
tengah-tengah masyarakat. Adanya amal dakwah oleh setiap individu muslim ini
akan memberikan implikasi positif berupa tindakan pencegahan apabila ada
maksiat yang dilakukan oleh anggota masyarakat ataupun komunitas.
Keenam, Islam mewajibkan diterapkannya seluruh hukum Islam dalam seluruh
aspek baik ekonomi, sosial, politik, pergaulan sampai tataran pemerintahan.
Penerapan hukum Islam secara kaffah inilah yang bisa mewujudkan negeri yang baldatun
thoyyibatun wa rabbun ghoffur, sebuah Negara yang melegalkan kebaikan/
perkara halal dan menutup pintu-pintu kemaksiatan. Ketujuh, Islam
mewajibkan kepada Negara untuk memberikan dan menyuburkan kegiatan tarbiyah agama
kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga terbentuk keimanan dan ketakwaan
yang kokoh. Ketakwaan individu ini menjadi benteng terkuat pada diri seorang
Muslim dalam menjauhi kemaksiatan.
Demikianlah
mekanisme Islam yang komprehensip dalam mencegah dan mengatasi kekerasan
seksual. Tidak hanya kekerasan seksual yang akan dihapus dengan diterapkannya
hukum Islam, tapi juga kemaksiatan dan kejahatan lainnya akan terkikis. Karena
Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, agama yang akan membawa
kepada kebaikan bagi seluruh umat manusia. Wallahua’lam bi ashowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar