يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Rabu, 31 Januari 2018

JANGAN DITERUSKAN, LGBT ITU PENYAKIT

Sebagai warga negara Indonesia yang peduli, tentu kita prihatin dengan berita yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan oleh media. Maraknya LGBT dan molornya putusan hukum akan status LGBT. Apalagi sempat ada berita kalau ada fraksi DPR yang setuju LGBT. Wah bahaya kalau sampe ini benar. Bila memang cinta Indonesia seharusnya tidak menanam benih kehancuran yakni LGBT.

Dalam suasana seperti saat ini maka masyarakat harus teriak biar para pemangku kebijakan menjauhi perkara yang batil dan memilih yang haq. Kalau HAM yang jadi alasan kebimbangan dalam menetapkan hukum LGBT maka perlu mendengar suara ICMI –Anton Tabah D- yang menyatakan, “Kalau LGBT itu HAM, tidak mungkin semua agama melarangnya. Dan tidak mungkin semua kitab suci mengutuknya”. (www.republika.co.id, 22/1/2018). Jadi LGBT itu jelas penyakit, penyakit yang berbahaya dan menular. Bahkan bisa sampai tataran mematikan sebagaimana HIV/AIDS.

Apresiasi juga perlu diberikan kepada Rektor UII yang menghimbau masyarakat untuk memberikan hukuman sosial terhadap para pelaku LGBT dan pendukungnya, serta memberikan hukuman politik terhadap partai politik yang mendukung LGBT. (www.republika.co.id, 23/1/2018).


Tidak satu dua kasus yang menunjukkan bahwa “HAM” identik dengan “Kebebasan”. Dan alasan HAM sering dimanfaatkan oleh orang-orang sekuler liberal untuk mendapatkan pelegalan dan pembenaran dari apa yang mereka lakukan. Betapa banyak orang saat ini yang sedikit-sedikit berasalan HAM. Meski itu harus bertabrakan dengan agama. Contoh selain LGBT masih banyak lagi. Tidak menutup aurat beralasan HAM, menolak syariah beralasan HAM padahal atas dirinya sendiri yang muslim, pacaran beralasan HAM, miras beralasan HAM, dan lain-lain. Kalau sudah begini, pertanyaannya adalah dimana agama diletakkan dan dimana realisasi dari sila pancasila? Andaikan HAM itu lebih tinggi dari agama dan pancasila, maka sebenarnya negara inipun diinjak injak oleh HAM.

Kembali kepersoalan LGBT. Apabila negara ini ingin bebas dari LGBT maka seluruh komponen yang ada harus bersinergi. Pertama, negara sebagai pemilik kekuasaan, kebijakan dan hukum harus tegas baik sikap maupun tindakannya. Hukum memiliki kekuatan untuk menindak mereka yang sudah terlanjur sebagai oknum LBGT. Dikasih hukuman, dibina agar tidak kembali kejalan LGBT. Hukum juga memiliki karakter mencegah yang lainnya agar tidak terpelosok kedalam LBGT.

Kedua, masyarakat harus memberikan kontrol, perhatian dan dakwah atas aktivitas warga lainnya. Sehingga ketika ditemukan gejala LGBT bisa segera dilakukan tindakan, pencegahan dan pelaporan. Fungsi kontrol masyarakat ini sangat penting baik ditataran lokal masyarakat maupun bagi negara. Laporan ataupun informasi dari masyarakat sangat membantu negara dalam menunaikan tugasnya.

Ketiga, keluarga harus memberikan pendidikan dan penjagaan terhadap anggota keluarganya. Penanaman keimanan dan pemahaman agama yang baik pada diri anak, adalah tanggungjawab keluarga. Jadi, para orang tua harus sadar akan fungsi strategis yang mereka miliki. Dan juga tanggungjawab akhirat atas tugas dalam keluarga ini. (QS. At Tahrim: 6).

Keempat, penjagaan keimanan dan ketakwaan oleh masing masing individu. Setiap diri yang sudah baligh bertanggungjawab atas dirinya pribadi. Harus pandai memilih teman dan juga pergaulan. Tidak terbawa arus pergaulan yang kian liberal. (QS. Al Isra’: 36).

Keempat hal ini akan berjalan sempurna dan berhasil jika didukung oleh sistem yang baik pula. Tentunya bukan sistem yang melegalkan LBGT seperti sistem sekuler. Namun sistem yang tegas menyebut yang haq dan yang batil, yakni sistem Islam. Wallahua’lam.

Dipun Waos Piantun Kathah