Impor garam dan gula tahun lalu memunculkan polemik. Menanggapi hal itu Presiden RI ke 5 menyampaikan, “Tak masuk akal bila saat ini kebutuhan pokok seperti gula dan garam menjadi masalah. Padahal Indonesia diketahui mempunyai garis pantai yang sangat panjang. Masih menurut Bu Mega masalah tersebut berasal dari keberpihakan saja. Kalau pemerintah dan rakyat mau gotong royong persoalan diatas dapat diselesaikan”. (detik.com, 15/08/2017)
Pernyataan Bu Mega ini bisa diungkapkan kembali sebagai jawaban atas keputusan Pemerintah yang membuka Impor kebutuhan harian masyarakat tahun ini. Benarkah garam dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan dunia industri? Benarkah gula dalam negeri juga tidak mencukupi? Bila memang ada penurunan produksi sudahkah diteliti apa penyebabnya dan negara sudah memberikan solusi secara tuntas?
Bila kebijakan impor garam ini dilanjutkan akan mematikan petani garam. Pasalnya harga garam impor jauh lebih murah dibandingkan garam lokal, sebagaimana pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan, Bu Susi Pudjiastuti (www.kumparan.com, 22/1/2018)
Seharusnya, Penjagaan atas ekonomi rakyat harus menjadi fokus utama negara. Bukan malah mematikannya. Apalagi bila negara bermaksud untuk membentuk stabilitas ekonomi dalam negeri. Harus dimulai dari kuatnya ekonomi rakyat. Bila setiap kali ada masalah penurunan produksi gula dan garam langsung ambil jalan cepat yaitu impor, maka kedepan kasus ini akan terulang kembali. Dan menjadi negara eksportir gula hanya akan menjadi mimpi. Padahal dulu tahun 1930 an Indonesia adalah eksportir terbesar kedua setelah Kuba. (detik.com, 19/1/2017).
Dengan demikian, impor gula dan garam hanyalah solusi sesaat, yang tidak mengentaskan masalah yang dihadapi petani garam dan industri gula. Tidak pula membentuk kemandirian ekonomi Indonesia. Solusi impor adalah solusi ala kapitalis. Adapun Islam menawarkan solusi bahwa negara berkewajiban memaksimalkan potensi (SDA, SDM) demi kesejahteraan seluruh rakyat sekaligus membangun kemandirian ekonomi. Wallahua'lam.