يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Selasa, 01 Mei 2018

Memberdayakan WNI atau Impor TKA?

Jumlah TKA di Indonesia, hingga akhir tahun 2017 mencapai angka 85.974 orang. Dengan negara pengekspor tenaga kerja terbanyak adalah Cina 24.804 orang, disusul Jepang, Korea, India, Malaysia, Filipina, Australia, AS, Inggris, Singapura, dan negara lain. (detik.com). Dengan jabatan yang diduduki sebagai profesional, direksi, manager, konsultan, teknisi, supervisor, komisaris. (detik.com, 26/4/2018).

Ada perbedaan yang mencolok bila dibandingkan dengan data TKI. Baik dari sisi jumlahnya maupun profesi yang di geluti. Data bank dunia tahun 2016 menyebutkan ada 9 juta TKI bekerja diluar negeri. Sebanyak 32% bekerja sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh anak, 19% persen dalam bidang pertanian, 18% bekerja sebagai kontruksi, 8% sebagai pekerja pabrik, 6% sebagai perawat lansia, 4% sebagai pekerja toko, restoran atau hotel, 2% sebagai sopir dan 0,5% bekerja sebagai pekerja kapal pesiar. (ekonomi.kompas.com, 28/11/2017).

TKA dan Globaalisasi Ekonomi

Meningkatnya jumlah TKA di negeri ini tidak lepas dari globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi bagian dari strategi negara kapitalis untuk menguasai perekonomian dunia. Lingkup dunia diciptakan WTO, lingkup Asia pasifik ada APEC, lingkup ASEAN dibuat MEA. Semua organisasi ekonomi dunia ini bukan sekedar mempermudah arus keluar masuknya komoditas antar negara, namun juga tenaga kerja. Sehingga Indonesia pun harus membuka diri  terhadap tenaga kerja asing ini.

Namun demikian, Indonesia memiliki kuasa untuk melakukan pengaturan TKA tersebut.  Karena Indonesia berdaulat atas negaranya sendiri. Sebagaimana juga Indonesia memiliki kekuasaan untuk mengatur regulasi investasi. Karena investasi asing bisa menjadi jalan penguasaan asing atas kekayaan alam Indonesia dan membuka lapangan kerja untuk asing.

Fakta TKA saat ini misalnya, mereka menduduki jabatan vital perusahan, apa mau dikata jika bukan menjadi bawahan di tanah air sendiri. Jika honor besar untuk tenaga kerja asing untuk profesi yang sama, apa dikata jika bukan penghinaan tenaga kerja pribumi. Walau jumlah tenaga kerja asing saat ini dikata belum banyak, namun Perpres no 20 tahun 2018 membuka kran penambahan jumlah TKA. Pasal 3 Prespres tersebut memperluas instansi/lembaga/badan usaha yang diperbolehkan memperkerjakan TKA.

Pantas jika masyarakat bertanya apa maksud dibalik Perpres No 20 Tahun 2018 ini? Hendak mengentaskan pengangguran diluar negeri kah? Mengapa pemerintah tidak konsentrasi membuka lapangan kerja untuk WNI yang itu sudah menjadi tanggung jawabnya?

Jika pemerintah memandang bahwa SDM Indonesia belum professional dan belum menguasai berbagai bidang yang dibutuhkan negara. Maka pertanyaannya, Apakah seluruh Perguruan Tinggi Indonesia tidak mampu melahirkan lulusan yang dibutuhkan? Padahal jumlah sarjana Indonesia yang masih menganggur dengan berbagai keahlian mencapai angka 630.000. (waw.pikiran-rakyat.com, 26/03/2018). Jadi secara tidak langsung keberadaan TKA ini juga menyindir kemampuan Perguruan Tinggi Indonesia dalam menghasilkan lulusan profesional. Dan juga mempertanyakan keseriusan Indonesia mengelola Perguruan Tinggi yang ada.

Adapun dalam sistem Islam, pekerja asing hanyalah boleh menduduki profesi-profesi yang itu tidak merendahkan pekerja dalam negeri. Dan juga tidak menjatuhkan martabat negara. Harusnya Indonesia belajar kepada negara-negara asing, dimana mayoritas mereka juga memperkerjakan TKI pada jabatan non vital. Adapun untuk negara yang jelas bertentangan dengan ideologi negara maka warga asing hanya boleh belajar bukan untuk bekerja/berdagang. Jadi, masihkah negara ini akan melanjutkan impor TKA? Atau memberdayakan rakyat sendiri? Wallahua’alam.

Dipun Waos Piantun Kathah