يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Kamis, 04 Juli 2019

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM BEBAS ZONASI

Sejak pemberlakuan sistem zonasi tahun 2017, pergantian tahun ajaran baru menjadi berita hangat awak media. Perihal penerimaan murid baru yang didasarkan pada zona wilayah murid dan sekolah.

Tahun ini, reaksi masyarakat terhadap sistem zonasi bertemperatur lebih tinggi. Di Surabaya, para orang tua sampai melakukan unjuk rasa menuntut pencabutan sistem zonasi. Diwilayah lain walaupun yang dirasa sama namun bisa redam.

Awal mula maksud kebijakan sistem zonasi adalah untuk menghapus kastanisasi sekolah favorit dan non favorit. Mencegah akumulasi siswa pintar di sekolah favorit. Namun siapa sangka ternyata sistem zonasi ini menimbulkan polemik pada siswa, orang tua dan lembaga pendidikan.

Prioritas yang Tertukar
Jika maksud sistem zonasi untuk menghapus kastanisasi lembaga pendidikan maka seharusnya langkah awal sebelum palu pemberlakuan kebijakan sistem zonasi ditetapkan adalah pemerataan mutu dan kualitas 8 Standart yang telah ditetapkan negara disetiap sekolah negeri. Dan akreditasi lembaga sama atau hampir sama.

Bila semua lembaga sudah mapan, maka berikutnya analisis jumlah anak usia sekolah disuatu wilayah dengan keberadaan sekolah di wilayah tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya sekolah yang kelebihan murid baru sedang lembaga lainnya tidak mendapati murid baru. Karena faktanya ada ketimpangan jumlah sekolah yang ada. Dimana satu kecamatan ada yang terdiri lebih dari satu sekolah. Tentu, kalkulasi jumlah anak usia sekolah ini berpeluang beda ditiap tahunnya. Dan akan mendekati mustahil untuk dilakukan penghitungan yang demikian ini.

Selanjutnya bila hendak menghilangkan terakumulasinya siswa pintar pada sekolah tertentu, negara harus melakukan penghitungan kuantitas jumlah murid pintar disetiap tahunnya. Karena belum tentu juga diseluruh wilayah didapati siswa pintar dengan tingkat kepintaran yang sama. Dengan demikian hal ini pun mendekati mustahil dilakukan.

Dengan demikian, jika dirunut, awal penyebab konflik kebijakan zonasi ini adalah moment waktu pemberlakuan kebijakan yang belum tepat. Yaitu terjadinya prioritas yang tertukar. Seharusnya prioritas pertama adalah pemerataan kondisi lapangan baik infrastruktur/sarana prasarana sekolah, akreditasi sekolah, mutu guru baru kemudian palu aktivasi sistem zonasi diketuk. Bahkan jika seluruh sekolah memiliki SDM, sarana prasarana yang bermutu dan terstandart maka sistem zonasi ini  sebenarnya tidaklah perlu. Sehingga negara, lembaga sekolah, siswa dan orang tua tidak perlu repot.

Pokok penyebab mendasar ke-eroran sistem pendidikan saat ini sejatinya berasal dari adopsi paradigma pendidikan ala kapitalisme. Dimana pendidikan menjadi bagian dari komoditas ekonomi. Pendidikan bukan lagi hajat asasi setiap individu dimana negara harus menyelenggarakan sistem pendidikan terbaiknya diseluruh lembaga pendidikan yang ada. Namun negara menyelenggarakan pendidikan dengan dihargai biaya pendidikan yang mahal. Sehingga wajar jika angka putus sekolah, ketidakberdayaan melanjutkan kejenjang perguruan tinggi menjadi problem yang bertambah dan tiada kunjung usai.

Melirik Sistem Pendidikan Islam 
Paradigma pendidikan dalam sistem Islam dipandang sebagai bentuk menjalankan perintah Allah SWT. Pemahaman ini juga melekat pada setiap individu muslim. Bahwa baginya, diperintahkan untuk menuntut ilmu. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW “Menuntut ilmu kewajiban bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)

Dengan demikian ada persepsi yang sama antara negara dengan rakyatnya. Sehingga negara akan menyelenggarakan pendidikan berkwalitas dari awal membangun sekolah. Menyiapkan tenaga pendidikan dan kependidikan yang prima, menyiapkan kurikulum yang sevisi dengan maksud penciptaan manusia. Yaitu menjadi hamba Allah SWT yang bertakwa, memakmurkan bumi, mewujudkan islam rahmatan lil’alamin bagi seluruh makhluk.

Tujuan pendidikan yang demikian menghantarkan negara untuk menyiapkan sekolah yang bermutu di seluruh wilayah. Dengan pembiayaan yang terjangkau bahkan bisa gratis. Pembangunan dari awal yang baik inilah yang menjadikan sistem zonasi dalam sistem pendidikan Islam tidak ada.

Namun satu sisi lain yang harus diakui, meskipun semua sekolah dibuat merata, mutu guru demikian juga, akan tetap ada hal yang menjadikan suatu sekolah tetap dipandang lebih dari sekolah lain. Hal itu karena adanya SDM sekolah baik guru atau siswa yang memiliki IQ, skill yang lebih –bentuk karunia Allah SWT- yang berprestasi. Sehingga menghembuskan angin bahwa sekolah ditempat A “lebih baik” dari tempat lain.

Kalau kita membaca sejarah akan kita dapati seperti Imam Syafi’i yang terlahir di kota Gaza Palestina namun menuntut ilmunya di Makkah. Karena di sana berkumpul kerabat dan para ulama mashur dan berilmu.

Point penting dari tulisan ini hendak menyampaikan bahwa paradigma pendidikan dalam sistem Islam inilah yang sejatinya bisa mewujudkan pendidikan yang berkualitas, terjangkau dan membentuk sosok anak didik yang berkepribadian mulia. Pasalnya, dari dasar pembangunan pendidikannya sudah diikatkan sebagai bentuk pelaksanaan perintah sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT.

Konsep ini berbeda dengan pendidikan sekuler-kapitaliesme yang memisahkan pendidikan dengan agama. Sehingga penyelenggaraan pendidikan dihargai dengan materi yang mahal. Dan outputnya malah menjadikan orang-orang berilmu semakin jauh dari Tuhannya. Akibatnya seperti yang terlihat sekarang ini, kerusakan terjadi dimana-mana karena kerakusan manusia. Syahwat duniawi untuk berkuasa dan berkuasa. Jadi, penerapan sistem pendidikan islam bisa menjadi alternatif solusi mengatasi problematika pendidikan yang ada saat ini. Wallahua’lam bis showwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah