Tidak ada aksi demonstrasi buruh jika kebijakan yang dibuat sudah tepat. Tepat bagi buruh juga dipandang tepat bagi pemilik usaha.
Akan tetapi, kebijakan yang demikian akan sulit diwujudkan dalam sistem kapitalisme. Sistem ini sebagaimana namanya yaitu kapitalisme, maka pihak yang memiliki kapital akan diuntungkan.
Anggota dewan legislatif, sebagai produsen undang-undang dipilih buruh dan kalangan rakyat lainnya dalam pileg. Pencalonan mereka di bursa pemilu tidak lepas dari pemilik modal/konglomerat/pengusaha yang menjadi sponsor. Bahkan para pemilik modal, bisa menjadi pemilik partai.
Sebagaimana dinyatakan oleh pengamat politik UNJ/ Direktur Puspol Indonesia Ubedillah Badrun bahwa pasca era reformasi dunia politik bergeser menjadi politik industrial dan politik pragmatis.D Dalam situasi politik yang menjadi industri maka diantara benefit yang diterima para pengusaha adalah terakomodasinya kepentingan bisnis dan regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif. (kontan.co.id, 22/2/2018).
Adapun rakyat hanya terlibat dalam pencoblosan para caleg tersebut. Karena rusaknya sistem, tidak sedikit rakyat bersedia mencoblos jika diberi uang atau barang yang dibahasakan mereka sebagai uang ganti tidak kerja karena ke TPS.
Siapa menikmati keuntungan yang lebih besar dari kondisi ini? Tentu pengusaha bukan rakyat biasa termasuk buruh. Maka tidak mengherankan jika UU Cipta Kerja lebih berpihak kepada pengusaha. Ketentuan upah minimum pun dirasa buruh tidak berkeadilan.
Kritik Atas Upah Minimum
Penetapan upah pekerja saat ini menganut sistem pengajian kapitalisme. Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nizhamul I'tishodi fil Islam menjelaskan bahwa kapitalisme memberikan upah yang wajar kepada pekerja. Upah yang wajar menurut kapitalisme adalah yang dibutuhkan pekerja yaitu biaya hidup dengan batas minimal. Akan ditambah upahnya jika biaya hidup bertambah pada batas yang paling minimum. Dan akan dikurangi jika beban hidupnya berkurang. Maka di Indonesia dikenallah yang namanya UMR/UMP/UMK.
Konsep penggajian yang demikian bisa dikatakan membatasi pekerja dari memperoleh kesejahteraan. Upah mereka akan cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan mungkin sekunder. Padahal bagi seorang muslim kebutuhan bukan hanya terkait sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan. Masih ada kewajiban agama yang harus ditunaikan, seperti haji, umrah, zakat, sedekah dan lainnya.
Inilah letak ketidaktepatan penentuan upah pekerja dalam kapitalisme. Pekerja digaji bukan berdasarkan tenaga/jasa yang mereka curahkan tetapi berdasarkan biaya hidup minimum.
Keberadaan upah minimum ini, juga riskan ketidaktepatannya jika diberlakukan di semua perusahaan yang ada di wilayah tersebut. Bagi perusahan akan ada yang diuntungkan, akan ada pula yang dirugikan. Perusahaan yang tidak mau rugi pasti akan menolak upah minimum tersebut.
Penentuan Upah dalam Islam
Dalam Islam, upah pekerja ditetapkan berdasarkan jasa atau tenaga yang dicurahkan. Sehingga upah bisa berbeda-beda sesuai dengan jasa atau tenaga yang diberikan. Contoh, Upah sopir yang mengantar barang dengan jarak dekat akan berbeda dengan jarak jauh. Upah tailor yang ahli akan berbeda dengan tailor yang biasa.
Jika upah ini dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup seseorang, akan dijumpai gaji yang diperolehnya cukup, berlebih, atau bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan.
Dalam sistem ekonomi Islam, mereka yang sudah bekerja akan tetapi belum bisa mencukupi kebutuhannya, maka masuk kategori miskin. Bagi kalangan fakir miskin akan diambilkan dana zakat yang dikelola baitul mal. Sehingga bisa tercukupi kebutuhan primernya. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا لْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَا لْمُؤَلَّـفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَا بِ وَا لْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah 9: Ayat 60)
Sedangkan kebutuhan pokok lainnya yakni pendidikan, kesehatan, keamanan menjadi tanggungjawab negara untuk diberikan gratis/biaya minimal kepada semua rakyat. Baik kalangan agniya' (kaya) maupun fuqara. Sehingga semua rakyat mendapatkan layanan dan fasilitas berkualitas. Dengan demikian kesejahteraan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.
Dengan mekanisme demikian maka perusahan juga tidak terbebani mengurus pembiayaan kesehatan karyawannya karena menjadi tanggungjawab negara. Namun tidak boleh juga perusahaan menetapkan upah semaunya. Upah bisa ditetapkan sesuai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, atau ditetapkan oleh ahli untuk upah yang sepadan dengan jasa/tenaga yang dicurahkan.
Inilah sistem penentuan upah dalam Islam yang hanya bisa ditegakkan secara sempurna jika dibidang kehidupan lainnya juga diterapkan Islam. Semoga sistem bernegara sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW yakni sistem khilafah 'ala minhajin nubuwwah segera tegak. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar