Rasa Cinta dan Agama
Tidak semua orang menentang pernikahan RA dengan EDS. Mereka yang melihat pernikahan sebatas HAM akan melegalkan nikah beda agama. Bagi mereka yang meneliti rasa cinta sebatas rasa yang ada pada manusia, akan membenarkan cinta itu jatuh pada siapapun.
Namun, bagi mereka yang memahami bahwa pernikahan bagian dari pelaksanaan hukum agama atau perintah Allah SWT tidak akan berpandangan sebagaimana di atas. Pernikahan bagi mereka adalah ibadah sehingga tidak sembarang orang yang dinikahi.
Demikian pula, bagi mereka yang menyadari bahwa rasa cinta adalah karunia Allah SWT, tidak akan menjatuhkan cintanya kepada orang yang tidak dicintai Allah SWT.
Lantas, rasa cinta harus diposisikan di atas ketentuan agama ataukah rasa cinta harus dibalut dengan agama?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, harus kita pahami, bahwa rasa cinta adalah perwujudan dari naluri nau' (naluri untuk melestarikan jenis). Sehingga setiap individu memilikinya.
Rasa cinta ini muncul karena adanya rangsangan dari luar. Semisal photo, interaksi, suara dan hal lainnya yang bisa diindera.
Jika faktor-faktor yang bisa diindera ini tidak ada, dan tidak ada upaya untuk menghadirkan fakta-fakta tadi dalam hati/pikiran, maka rasa cinta itu bisa melemah hingga hilang tiada rasa.
Dengan demikian, rasa cinta kepada lawan jenis ini, bila tidak terealisasi tidak menyebabkan kepada kematian. Hanya akan mendatangkan kesedihan, kegundahan, dan merana, yang semua kondisi itu bisa diatasi dengan terus menggalihkan konsentrasi pada hal lainnya.
Dengan memahami fakta rasa cinta ini, mereka yang jatuh cinta pada lawan jenis dan kenyataannya berbeda agamanya, maka yang seharusnya dilakukan adalah memenej rasa cintanya itu. Dilanjutkan cintanya atau dihentikan, itu pilihan. Jadi cinta pada lawan jenis itu adalah ujian.
Dari uraian tersebut, maka kita memahami hikmah kenapa Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya, untuk meminta cintanya Allah SWT, cinta orang-orang yang mencintai Allah SWT, dan cinta untuk melakukan hal yang bisa mendekatkan kepada cintanya Allah SWT.
Pernikahan Dihadapan Pencatatan Sipil dan Pernikahan dalam Islam
Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidhomul Ijtima'i telah menjelaskan bahwa pernikahan di depan petugas pencatatan sipil itu secara syar'i tidak diperbolehkan.
Pernikahan di depan petugas pencatatan sipil itu secara syar'i sama sekali tidak dilihat sebagai kesepakatan pernikahan, juga tidak dipandang sebagai akad nikah. Karena pernikahan dihadapan petugas pencatatan sipil hanyalah akad kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama. Oleh karena itu, pernikahan didepan petugas pencatatan sipil dimutlakkan bagi setiap pria untuk menikahi wanita mana saja dan bagi setiap wanita untuk menikahi pria mana saja, yang mereka inginkan.
Sedangkan pernikahan dalam Islam ada ketentuan mulai dari wanita mana saja yang boleh/halal dinikahi oleh seorang laki-laki. Sehingga tidak semua wanita halal dinikahi dan tidak semua laki-laki boleh dijadikan suami oleh seorang wanita.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَ مَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰٓئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّا رِ ۖ وَا للّٰهُ يَدْعُوْۤا اِلَى الْجَـنَّةِ وَا لْمَغْفِرَةِ بِاِ ذْنِهٖ ۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 221)
Dari ayat tersebut, Allah SWT mengharamkan wanita musyrik untuk laki-laki muslim. Demikian pula mengharamkan laki-laki musyrik atas wanita muslim.
Allah Subhanhu wa ta'ala juga berfirman;
اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَـكُمُ الطَّيِّبٰتُ ۗ وَطَعَا مُ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّـکُمْ ۖ وَطَعَا مُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَا لْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَا لْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْـكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَاۤ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَا فِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْۤ اَخْدَا نٍ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِا لْاِ يْمَا نِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖ وَهُوَ فِى الْاٰ خِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
"Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 5)
Berdasarkan ayat tersebut, seorang pria muslim dibolehkan menikahi perempuan Ahlu Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mereka senantiasa menjaga kehormatannya. Pertanyaannya, masih adakah wanita Ahlu Kitab yang masih berpegang dan mengamalkan Taurat dan Injil yang murni/asli?
Selain ketentuan pihak yang boleh dinikahi, pernikahan dalam Islam mengharuskan adanya ijab qabul, adanya wali, adanya dua orang saksi.
Dan ketika telah teraqadkan pernikahan, masih ada syariat yang harus dilaksanakan yaitu walimatul 'ursy.
Dengan demikian, fakta pelaksanaan pernikahan dihadapan petugas pencatatan sipil tidaklah sama dengan pernikahan syar'i sebagaimana yang diperintahkan oleh syariah Islam.
Ketentuan pernikahan dalam Islam ini, adalah bukti bahwa syariat pernikahan dalam Islam bukan semata untuk melahirkan generasi penerus, akan tetapi sebagai ibadah. Oleh karena itu disebutlah pernikahan sebagai separuh agama. Dengan tertunaikanya pernikahan selayaknya seseorang semakin bertakwa. Dan pertanyaannya, akankah takwa itu bisa terealisasi ketika pasangan berbeda agamanya, berbeda kiblatnya?
Khatimah
Bila kita mengharapkan pernikahan itu dicatat oleh Allah SWT maka sudah seharusnya seorang muslim menunaikan ketentuan pernikahan yang ditetapkan Allah SWT.
Bila tidak, betapa rugi, bila manusia mencatatnya, sedangkan Allah SWT sama sekali tidak menilainya sebagai pernikahan? Lantas apa yang diperoleh dari hal demikian?
Wallahua'lam bis showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar