Diremisi, Sudahkah Tanya Korban?
Secara kemanusiaan, pemberian remisi, seakan manusiawi. Si napi mendapatkan pengurangan masa hukuman. Artinya, masa dibui berkurang hingga langsung bebas.
Tapi, benarkah remisi manusiawi dilihat dari sudut objek korban yang terkena kejahatan yang telah dilakukan napi?
Sudahkah pihak pembuat kebijakan remisi, permisi terlebih dulu kepada korban akan kerelaan mereka jika para napi itu dikurangi masa hukumannya?
Saat hukuman itu diketok palu oleh hakim, menjadikan sanksi hukum itu diterima oleh napi maupun korban. Dan bila, setelah waktu berjalan, masa hukuman itu diremisi, bagaimana keridaan korban?
Terlebih, untuk napi yang telah merugikan banyak rakyat, semisal koruptor. Sudahkah pembuat kebijakan remisi, bertanya kepada rakyat, ridakah napi koruptor tersebut di kurangi jatah hukumannya?
Hal yang harus diingat, bahwasannya, napi itu dijatuhi hukuman, karena kejahatan yang telah dilakukannya, apakah kepada 1 individu, 2 individu, atau lebih dari itu.
Jadi, hukuman itu sebagai balasan atas kejahatan/kriminalitas yang telah dilakukannya. Sehingga perubahan perilaku di lapas, tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengurangi masa kurungan.
Selanjutnya, hakim bukan dengan tanpa tenaga dan pikiran, saat menetapkan hukum yang adil bagi pelaku kejahatan dan bagi korban.
Ketika ada remisi, maka proses sidang yang menelan waktu, tenaga, pikiran, hingga biaya, bagi semua pihak terkait, seolah tidak begitu penting ketika diujung masa sanksi hukum tidak sesuai dengan yang diketok palu hakim.
Kekuatan hukum yang ditetapkan hakim pun seolah bernilai rendah ketika bertemu dengan remisi. Dengan kata lain, keputusan hakim, bisa digagalkan dengan adanya remisi.
Hal lain lagi, sanksi hukum dijatuhkan adalah untuk menjadikan jera dan mencegah orang untuk berbuat jahat. Ketika ada remisi maka efek jera dan sifat sanksi hukum sebagai pencegah kejahatan itu terminimalisir.
Dengan demikian, pemberian remisi, bisa menjadi bentuk ketikdakadilan bagi pihak korban. Adapun bagi napi, hal menguntungkan. Adapun bagi instansi peradilan itu menjadikan kekuatan hukum para hakim bisa dengan mudah dibatalkan dengan kebijakan hukum lainnya.
Demikianlah, hukum disistem sekulerisme-kapitalisme. Kadang bisa dibeli, bisa dikurangi, kadang tidak adil, karena hukum dikembalikan pada ukuran manusia semata.
Padahal kejahatan yang dilakukan seseorang itu, taubatnya bukan hanya dengan horizontal, tapi juga vertikal kepada Al Khaliq (Allah subhaanahu wa ta'ala). Pertanyaan, ridakah Allah subhaanahu wa ta'ala dengan hukuman yang dijatuhkan manusia dengan meninggalkan sanksi hukum yang ditetapkan Allah subhaanahu wa ta'ala dalam Al Qur'an dan Al Hadist?
Inilah pertanyaan, yang seharusnya direnungkan khususnya bagi umat Islam.
Sistem Sanksi dalam Islam
Sanksi hukum dalam Islam, untuk tindak kriminalitas yang telah ditetapkan sanksinya dalam Al Qur'an dan Al Hadist, maka tidak bisa diubah. Itulah hukum yang harus diberlakukan kepada napi.
Contoh hukuman yang disebutkan dalam Al Qur'an: mencuri, hukum potong tangan (QS. Al Maidah: 38), zina rajam atau cambuk (QS. An Nuur: 2), menuduh perempuan baik-baik berzina -qadzaf-, hukum cambuk (QS. An Nuur: 4). Membunuh, hukum qisas atau diyat (QS. Al Baqarah: 178).
Adapun yang diterangkan dalam hadist seperti hukuman bagi peminum khamr dihukum cambuk. Dari Qubaishah bin Dzu'aib bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang minum khamr, maka cambuklah. Jika ia kembali meminumnya, maka cambuklah. Jika ia kembali lagi meminumnya pada kali yang ketiga atau kali keempat maka bunuhlah ia".
Adapun sanksi atas pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat masuk dalam ta'zir dimana jenis sanksinya ditetapkan oleh ijtihad qadhi (hakim) ataupun juga khalifah.
Sistem sanksi dalam Islam merujuk pada dalil syara', jika tidak ada dalil tentang ketentuan adanya remisi, maka tidak ada remisi. Jadi hukuman yang dijatuhkan hakim kepada napi harus dijalani hingga tuntas tertunaikan.
Hasil putusan hakim bisa dibatalkan/diubah jika hukuman yang dijatuhkan keluar dari ketentuan syara'. Atau hukum yang ditetapkan bukan hukum yang Allah subhaanahu wa ta'ala tetapkan dalam perkara hudud dan jinayat.
Demikianlah sanksi dalam Islam. Meski tidak ada remisi tapi hukum Islam bila diterapkan manjur menjadi jawazir (pencegah) terulangnya kriminalitas, dan jawabir (penebus dosa), bi idznillah. Dan putusan hakim pun terhargai hingga tuntas terlaksana.
Khatimah
Allah subhaanahu wa ta'ala mengingatkan dalam ayatnya,
وَاَ نْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِا لْحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَا حْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَـقِّ ۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَا جًا ۗ وَلَوْ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمْ اُمَّةً وَّا حِدَةً وَّلٰـكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَاۤ اٰتٰٮكُمْ فَا سْتَبِقُوا الْخَـيْـرٰتِ ۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ
"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan," (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 48)
Wallahu'alam bis shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar