يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Rabu, 19 September 2012

PEREMPUAN, HARTA DAN PERCERAIAN


Ada banyak sisi perempuan yang bisa menjadi pembicaraan. Satu sisi yang sedang marak menimpa kaum perempuan adalah perceraian.  Lebaran 1433 H kemarin, ada seorang  teman menceritakan bahwa saudaranya perempuan telah menceraikan suaminya. Alasannya adalah gaji suami kurang besar. Beberapa waktu kemudian datang pengantin baru, dia juga bercerita tentang perceraian dia dengan suami pertamanya dengan alasan kurang cocok sekaligus menemukan laki-laki lain yang lebih kaya –sekarang jadi suaminya-. Waktu pengajian ada juga yang cerita kalau saudaranya tidak mendapatkan pelayanan dan disepelekan oleh istrinya gara-gara gajinya kecil, sedang istrinya gajinya besar. Tidak lagi suami sebagai pemimpin rumah tangga, tapi istrilah yang mendekte suami. Dan ketika saya membaca sebuah artikel  ternyata prosentase perceraian semakin meningkat dengan berbagai latar belakang yang bila dikerucutkan faktor dominan adalah masalah ekonomi (harta).
Memang untuk mempertahankan hidup saat ini butuh sejumlah uang yang tidak seedikit. Saya ambil contoh kebutuhan untuk memenuhi perut satu keluarga. Misal, menu yang dipilih satu porsi ayam goreng, harganya berkisar Rp. 13.000,00. Bila makan 3x sehari  dengan menu yang sama akan ketemu Rp. 39.000,00 sehari. Bila ada 4 orang dalam satu rumah berarti perlu uang Rp. 156.000,00 sehari. Dalam waktu satu bulan akan ketemu Rp. 4.680.000,00 untuk makan saja. Bagaimana dengan kebutuhan lainnya? Tapi pilihan menu diatas adalah untuk orang kaya. Kalau pekerjaan suami misalkan karyawan biasa kemudian sang istri memilih menu makan seperti di atas itu namanya istri  yang tidak cerdas. Bukankah masih banyak menu makan yang murah bergizi?  Jadi bukan gaji suami yang salah, tapi pemanfaatan gaji oleh istri yang tidak tepat.
Kalau toh bila istri bekerja dan berpenghasilan lebih besar, menjadi pertanyaan bila menjadi alasan perceraian. Apakah pernikahan yang diikrarkan dulu untuk bersaing dalam hal gaji? Bagi pihak suami/istri yang kalah diceraikan? Tentu tidak kan? Perlu direnungkan oleh kaum perempuan, apakah harga dirinya digantungkan pada harta?
Mindset berfikir kaum perempuan harus dikembalikan lagi kepada arahan agama. Memang hidup butuh uang, tapi tidaklah hidup untuk uang. Harta yang dikejar-kejar itu sesungguhnya hanya memberikan kenikmatan sementara. Amal shaleh itulah yang seharusnya dikejar perempuan. Harta yang istri berikan untuk keluarganya adalah sedekah baginya. Penerimaannya yang tulus terhadap gaji suami meski belum besar adalah pahala baginya. Kesabarannya memotivasi dan mendukung usaha suami adalah ibadah baginya. Sesungguhnya, manusia yang dicintai oleh sesamanya adalah mereka yang tidak cinta dunia (harta), tapi mereka yang sederhana dan berkepribadian mulia. Dan perlu diketahui, ketika perempuan menstandarkan segalanya pada uang, maka saat itu juga telah teracuni pemikiran kapitalisme. Standar kebahagiaan menurut teori kapitalis adalah banyaknya materi yang didapat.
Oleh karena itu, ambillah konsep yang telah diajarkan oleh Islam. Bahwa kebahagiaan bukanlah banyaknya harta tapi kebahagiaan adalah ketika keridhoan Allah swt mampu didapatkan. Artinya, harta diperoleh melalui jalan yang halal dan digunakan untuk hal yang halal dan dibutuhkan. Ketaatan kepada suami dilandasi iman bukan uang. Demikian pula suami berkewajiban mendidik istri dan anak dengan benar. Memberikan nafkah yang halal dengan usaha maksimal. Fa InsyaAllah rumahtangga yang sakinah mawaddah warahmah dapat diraih. Wallahua’alam.

Keterangan: Artikel ini dimuat di Jawa Pos Radar Blitar Raya pada edisi, senin 3 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah