Ada banyak sisi perempuan
yang bisa menjadi pembicaraan. Satu sisi yang sedang marak menimpa kaum
perempuan adalah perceraian. Lebaran 1433
H kemarin, ada seorang teman
menceritakan bahwa saudaranya perempuan telah menceraikan suaminya. Alasannya
adalah gaji suami kurang besar. Beberapa waktu kemudian datang pengantin baru,
dia juga bercerita tentang perceraian dia dengan suami pertamanya dengan alasan
kurang cocok sekaligus menemukan laki-laki lain yang lebih kaya –sekarang jadi
suaminya-. Waktu pengajian ada juga yang cerita kalau saudaranya tidak
mendapatkan pelayanan dan disepelekan oleh istrinya gara-gara gajinya kecil,
sedang istrinya gajinya besar. Tidak lagi suami sebagai pemimpin rumah tangga,
tapi istrilah yang mendekte suami. Dan ketika saya membaca sebuah artikel ternyata prosentase perceraian semakin
meningkat dengan berbagai latar belakang yang bila dikerucutkan faktor dominan
adalah masalah ekonomi (harta).
Memang untuk mempertahankan
hidup saat ini butuh sejumlah uang yang tidak seedikit. Saya ambil contoh kebutuhan
untuk memenuhi perut satu keluarga. Misal, menu yang dipilih satu porsi ayam
goreng, harganya berkisar Rp. 13.000,00. Bila makan 3x sehari dengan menu yang sama akan ketemu Rp. 39.000,00
sehari. Bila ada 4 orang dalam satu rumah berarti perlu uang Rp. 156.000,00
sehari. Dalam waktu satu bulan akan ketemu Rp. 4.680.000,00 untuk makan saja. Bagaimana
dengan kebutuhan lainnya? Tapi pilihan menu diatas adalah untuk orang kaya. Kalau
pekerjaan suami misalkan karyawan biasa kemudian sang istri memilih menu makan seperti
di atas itu namanya istri yang tidak
cerdas. Bukankah masih banyak menu makan yang murah bergizi? Jadi bukan gaji suami yang salah, tapi
pemanfaatan gaji oleh istri yang tidak tepat.
Kalau toh bila istri bekerja
dan berpenghasilan lebih besar, menjadi pertanyaan bila menjadi alasan
perceraian. Apakah pernikahan yang diikrarkan dulu untuk bersaing dalam hal
gaji? Bagi pihak suami/istri yang kalah diceraikan? Tentu tidak kan? Perlu
direnungkan oleh kaum perempuan, apakah harga dirinya digantungkan pada harta?
Mindset berfikir kaum
perempuan harus dikembalikan lagi kepada arahan agama. Memang hidup butuh uang,
tapi tidaklah hidup untuk uang. Harta yang dikejar-kejar itu sesungguhnya hanya
memberikan kenikmatan sementara. Amal shaleh itulah yang seharusnya dikejar
perempuan. Harta yang istri berikan untuk keluarganya adalah sedekah baginya.
Penerimaannya yang tulus terhadap gaji suami meski belum besar adalah pahala
baginya. Kesabarannya memotivasi dan mendukung usaha suami adalah ibadah
baginya. Sesungguhnya, manusia yang dicintai oleh sesamanya adalah mereka yang
tidak cinta dunia (harta), tapi mereka yang sederhana dan berkepribadian mulia.
Dan perlu diketahui, ketika perempuan menstandarkan segalanya pada uang, maka
saat itu juga telah teracuni pemikiran kapitalisme. Standar kebahagiaan menurut
teori kapitalis adalah banyaknya materi yang didapat.
Oleh karena itu, ambillah
konsep yang telah diajarkan oleh Islam. Bahwa kebahagiaan bukanlah banyaknya
harta tapi kebahagiaan adalah ketika keridhoan Allah swt mampu didapatkan.
Artinya, harta diperoleh melalui jalan yang halal dan digunakan untuk hal yang halal
dan dibutuhkan. Ketaatan kepada suami dilandasi iman bukan uang. Demikian pula
suami berkewajiban mendidik istri dan anak dengan benar. Memberikan nafkah yang
halal dengan usaha maksimal. Fa InsyaAllah rumahtangga yang
sakinah mawaddah warahmah dapat diraih. Wallahua’alam.
Keterangan: Artikel ini dimuat di Jawa Pos
Radar Blitar Raya pada edisi, senin 3 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar