يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Rabu, 25 Desember 2019

MENAKAR POSISI UJIAN NASIONAL


Menakar Posisi UN
Ujian nasional sejak dahulu terus menjadi polemik. UN yang memiliki andil dalam menentukan nasib kelulusan, bahkan sebelum adanya UASBN, UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Soal UN yang dibuat oleh pusat dan pengawas UN dari sekolah lain menambah seram UN. Dan jika sekarang Mendikbud bermaksud menghapus UN tentu berita gembira bagi siswa.
Pendidikan merupakan satu sub sistem dari sistem periayahan (pengelolaan) negara. Diluar itu masih ada sub sistem yang lain, seperti ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, pertahanan, dan hukum. Keseluruhan sub sistem ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Layaknya sistem komputer, maka tidak bisa memisahkan keybord dengan monitor, atau memisahkan motherbood dengan organ komputer lainnya. Komputer akan nyala dan menjalankan fungsi dengan baik tatkala semua organnya sehat dan berkesinambungan satu sama lain.
Demikian pula dengan pendidikan ini. Ia adalah bagian dari sistem. Mengelola pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sistem yang dibangun negara. Keseluruhan sub sistem itu harus memiliki akar/pondasi yang sama. Karena tujuan yang dibentuk sistem negara itu satu. Sehingga keseluruhan sub sistem yang ada harus mengarah pada satu tujuan yang hendak diwujudkan oleh negara. Dengan objek didiknya adalah sumber daya manusia negara tersebut.
Dengan demikian, menjadi wajib bagi pekerja sub sistem untuk memahami apa landasan, pondasi, dasar dan tujuan dari sistem yang hendak dibangun negara. Dan hal ini harus menjadi pijakan. Walau subjek penguasa berganti. Walau puting beliung dari negara asing berhembus dasyat tidak lah negara roboh. Walau virus asing sengaja di suapkan ke mulut, negara tidak menelannya. Inilah modal mendasar yang harus dimiliki negara. Sehingga sub sistem yang ada tidak  terombang-ambing, tidak berputar-putar tidak jelas darmaganya. Atau kemudian menjadi follower negara tetangga, atau negara yang dipandang adidaya.

Mereformasi Pendidikan
Objek pendidikan adalah manusia. Dimana manusia adalah makhluk sosial. Sehingga mereformasi pendidikan atau bahkan merevolusinya, perlu direnungkan terlebih dahulu. Mau dijadikan SDM yang berpendidikan seperti apa peserta didik itu? Ber-ekonomi seperti apa nantinya? Berbudaya seperti apa? Berpolitik seperti apa? Berhukum seperti apa? Ber-sosial seperti apa? Menjadi rakyat yang bagaimana? Dan bagaimana pula masa depan akhiratnya. Karena  pendidikan adalah supplier SDM dan pelaku dimasa mendatang. Tidak akan terwujud SDM yang berkarakteristik dan selamat dunia akhiratnya apabila negara salah menetapkan kebijakan pendidikan.
Haruslah waspada, perangkap pendidikan itu telah ada. Mungkin, tidaklah disadari. Karena halusnya perangkap dan cerdasnya sang adidaya. Sebagai contoh globalisasi pendidikan, standarisasi internasional, akreditasi internasional hingga masuknya ajaran gender dan demokrasi dalam kurikulum.  Dalam hal ini, siapa penggagas, siapa pengkonsep, siapa pemegang remote pendidikan?  Kita? Jelas bukan. Tapi kalau siapa yang harus sendiko dawuh dengan rangkaian program, alur, dektean, itulah kita. Padahal bila dirunut dari akar sejarahnya, dua ajaran seperti gender dan demokrasi adalah titipan ideologi asing.
Disinilah ungent kiranya memiliki pemikiran yang jelas dan mendasar dari pendidikan. Pemikiran yang mendasar itu adalah landasan dan tujuan pendidikan Indonesia. Dua hal ini harus jelas dan tidak changeable. Dari tujuan pendidikan ditetapkan derivatnya. Mulai dari kurikulum, spesifikasi guru yang tepat untuk mengajar, jenjang pendidikan untuk sampai pada ketuntasan kurikulum, sarana dan prasarana serta pendanaan pendidikan harus termenejemen dengan tepat.
Dengan demikian, suatu pembenahan program pendidikan dilakukan setelah ada evaluasi ketercapaian tujuan pendidikan. Jika hasil evaluasi ketercapaian tujuan pendidikan masih jauh dari harapan, barulah digali metode, cara, teknik baru untuk meraih tujuan pendidikan. Dengan begitu, pembaharuan yang dilakukan jelas arahnya. Tidak membuat carut marut tataran administrasi pendidikan dan metode baru yang malah meleset dari tujuan pendidikan itu sendiri. Bahasa kejamnya mencari sensasi kosong dari urgensi.

Ujian Nasional
Ujian adalah cara/teknik/uslub evaluasi atas proses dan hasil belajar siswa. Namanya teknik, maka bisa bermacam-macam pelaksanaannya tergantung tujuan yang hendak dicapai. Sehingga, sebelum berstatement pro atau kontra tentang UN, perlu dipahami dahulu tujuan dari UN. Mencerap hakikat tujuan UN itu lebih penting dievaluasi terlebih dahulu sebelum mengusulkan teknik/uslub lain ujian nasional. Sehingga bukan sekedar gebrakan program. Dan tidak mengombang-ambingkan arah tujuan pendidikan di negara ini. Kuatirnya, menteri saat ini menghapus UN, lima tahun kedepan UN diadakan lagi. Tentu, akan menggelikan publik kalau sampai ini terjadi.
Adapun jika UN di ganti nama dengan assesment kompetensi minimal dan survey karakter itu artinya ada usulan metode ujian nasional yang baru. Keterbaruan ini bila dirunut dari apa yang disampaikan menteri Nadiem Makarim disebabkan fokus dan tujuan evaluasi yang berbeda. UN selama ini lebih fokus pada IQ siswa. Adapun assesment kompetensi minimal mengarah pada literasi –bahasa, analisis-, numerasi –matematika, logika- dan karakter. Perubahan nama ujian nasional ini pun berderivasi pada perubahan pembuat soal, pembuat keputusan lulus/tidak lulus nya siswa. Yaitu berpindah pada satuan pendidkan. Ibaratnya, sekolah akan mirip Perguruan Tinggi yang memiliki hak otonom untuk menentukan kelulusan siswanya.
Tentu, rencana baru akan format ujian nasional ini akan memaksa negara untuk all out membuat seluruh sekolah yang ada baik negeri maupun swasta menjadi lembaga pendidikan yang berstandar prima. Jika tidak, maka kekhawatiran rakyat akan memburuknya output dan outcome pendidikan akan terbukti. Pasalnya, sebagai sub sistem, hasil pendidikan bukan semata dipengaruhi oleh pendidikan itu sendiri tetapi juga oleh sub sistem lain seperti sosial, ekonomi, hingga politik.

Makna Lulus Sekolah
Makna lulus sekolah adalah hal penting berikutnya untuk dibahas. Apa urgensi lulus bagi seorang siswa? Demikian pula, apa urgensi lulus dalam perspektif negara? Pemaknaan “lulus sekolah” ini penting dikaji dan dikonsep. Andai dalam benak siswa mengatakan lulus itu adalah dapat ijazah, dan ijazah untuk mencari kerja, maka saya katakan UN yang selama ini telah menelan dana milyaran itu negara merugi. Sekaligus bisa dikatakan tujuan pendidikan belum berhasil tercapai.
Kalau sekiranya hanya untuk mendapatkan ijazah memang UN yang menghabiskan banyak duit negara itu tidak perlu ada. Pendidikan adalah sebuah proses. Proses transfer ilmu, pengetahuan dan ketrampilan sebagai bekal bagi murid dalam kehidupan. Yang semuanya itu terangkum dalam kurikulum pendidikan. Proses pembelajaran, interakasi sosial di sekolah, perilaku di sekolah adalah pengejawantahan dari pendidikan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan. Yang itu diharapkan terinternalisasi pada diri siswa sehingga kehidupan mereka diluar sekolah dilandasi ilmu yang telah didapatkan di sekolah. Oleh sebab itulah, hampir semua tokoh pendidikan sepakat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan manusia berkepribadian baik.
Dalam kehidupan ini, tidak cukup berbekal ijazah yang bertuliskan angka kemampuan intelektual (IQ) siswa. Aliah BP Hasan (2006:154) menyatakan banyak kasus menunjukkan bahwa mereka yang ber IQ tinggi ternyata gagal dalam pekerjaan dan penghidupannya. Para pakarpun melihat bahwa ada Creative Quotient (CQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) yang berperan penting dalam keberhasilan hidup seseorang. Faktanya, iQ tinggi tanpa EQ dan SQ menjerumuskan manusia kelembah dosa. Ambil contoh para koruptor, penyalah gunaan jabatan, pelaku kejahatan dan kriminalitas lainnya.
Dengan demikian, “lulus sekolah” bagi seorang murid adalah ketika ia berhasil menyerap ilmu dan menjadikannnya sebagai hamba Allah azza wa jalla yang taat dan berkepribadian baik. Adapun ijazah itu adalah tanda bukti bahwa ia telah menempuh jenjang pendidikan tertentu. Demikian pula bagi satuan pendidikan dan negara, keberhasilan meluluskan siswa adalah ketika berhasil menghantarkan mereka menjadi pribadi yang taat kepada Allah azza wa jalla, berkepribadian baik dan mampu mengamalkan ilmunya.
Oleh sebab itu, tidak cukup dalam borang akreditasi sekolah/PT jika hanya melacak alumni dari sisi dimana mereka sekarang bekerja, perlu ada pelacakan kiprah kepribadian dan sosial alumni lembaga pendidikan (sekolah ataupun perguruan tinggi) tersebut. Dan  hal ini bisa menjadi bahan evaluasi keberhasilan pembangunan karakter skala satuan pendidikan hingga negara.

Usulan Untuk Ujian Nasional
Ujian adalah unsur yang perlu diselenggarakan dalam pembelajaran. Adapun pihak yang berkewajiban melaksanakannya adalah satuan pendidikan. Jika negara bermaksud melaksanakan assessment maka sunnah hukumnya. Karena yang wajib bagi negara adalah menyelenggarakan pendidikan dengan segala aspeknya, menjamin proses pendidikan berjalan dengan baik  dan menjamin seluruh anak usia sekolah memperoleh pendidikan.
Dengan demikian, jika negara bermaksud mengadakan ujian nasional kepada murid, maka harus dipastikan tujuan penyelenggaraan ujian nasional tersebut. Jika dipandang urgent, maka UN diselenggarakan. Dari tujuan UN yang disusun, bisa dilacak kompetensi apa yang harus di ujiankan/diteskan/dinilai. Dan ditetapkan teknis pelaksanaan ujiannya. Dalam teori manajemen teknis itu hendaknya dipilih yang efisien dan efektif meraih tujuan UN itu sendiri. Adapun penamaan ujian bisa berbeda-beda walau skalanya sama yaitu nasional.
Namun, jika negara memandang UN tidak urgent, maka membangun sistem pendidikan dan lembaga pendidikan yang berkualitas, bisa menjadi fokus negara. Karena polemik UN yang terus menggema itu menunjukkan bangunan sistem pendidikan selama ini belum berjalan baik dan juga belum diterima dengan baik oleh masyarakat. Wallahua’lam bis showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah