يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Minggu, 04 Oktober 2020

KESETARAAN UPAH, SOLUSIKAH?

Tahun ini untuk pertama kalinya tanggal 18 September diperingati sebagai  Hari Kesetaraan Upah Internasional.  Dan Indonesia ikut serta dalam perayaan Hari Kesetaraan Upah International tersebut. 

Hasil pelacakan data menyebutkan bahwa kesenjangan upah antara laki-laki dengan perempuan skala internasional berada pada angka 16%. Adapun di Indonesia mencapai angka 23%. Prosentase yang lumayan jika dikurskan ke dalam nominal uang. 

Fakta tersebut yang mendorong keterlibatan Indonesia untuk menyeimbangkan gaji laki-laki dengan perempuan pada angka yang sama untuk pekerjaan yang sama. 

Gender sebagaimana di ungkap oleh Bu Ida Fauziah -Menteri Ketenagakerjaan-, bukan menjadi alasan mendasar, akan tetapi faktor penghargaan akan bakat, hasil kerja dan kompetensi perempuan lah yang mendorong disetarakannya gaji antara laki-laki dengan perempuan.

Akar Kesetaraan Upah

Sejarah mencatat  lahirnya emansipasi dan feminisme dilatarbelakangi ketidakadilan yang dialami oleh wanita. Wanita diposisikan sebagai pelayan,  dipandang rendah, dan dibatasi hak eksistensinya. Setelah masa renaissance berlalu, revolusi industri di eropa, dijadikanya sekulerisme-kapitalisme sebagai ideologi,  bangkitlah pergerakan wanita menuntut kebebasan. 

Gerakan feminisme dimulai akhir abad 18 dan terus berkembang dan diperjuangkan hingga sekarang.

Jika dari akhir abad 18  hingga saat ini wanita masih mendapatkan perlakuan yang tidak adil termasuk dalam penggajian ditempat kerja, hal itu menunjukkan: kapitalisme telah mengexploitasi wanita, kapitalisme tidak mensejahterakan perempuan, dan bukan fitrah wanita terjun kesemua lini yang laki-laki bekerja di dalamnya.

Jadi, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dipisahkan dari sistem sekuler-kapitalisme yang menglobal. Dan inilah akar penyebab kesenjangan tersebut. 

Mubah Perempuan Bekerja

Bekerja bagi perempuan mubah hukumnya. Bekerja dipandang bentuk kontribusi wanita untuk umat. Karena nafkah dalam Islam menjadi tanggungjawab dan kewajiban  laki-laki. 

Penghasilan seorang istri dari hasil kerjanya tidak untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Jika seorang istri membantu pembiayaan keluarga itu adalah sedekah baginya. Demikian Islam mensejahterakan perempuan.

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya" (QS. An Nisa:32)

Dari sekian pekerjaan, ada yang apabila diambil perempuan, menyebabkan peran fitrah -peran wajib- terbengkalai. Disebabkan banyaknya waktu, tenaga dan pikiran yang dihabiskan diarea publik dari pada dikeluarga. Sehingga suami, anak jadi kurang mendapat perhatian. 

Untuk itulah pekerjaan seperti menjadi kepala negara, kepala wilayah setingkat propinsi, dan kabupaten tidak boleh dipegang perempuan. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, "Tidak akan beruntung suatu kaum yang  menyerahkan kepemimpinan mereka kepada perempuan" (HR. Bukhori)

Diantara peran publik yang bisa dipilih perempuan diantaranya sebagai pendidik, tenaga kesehatan, pemimpin tingkat kecamatan dan desa, pemimpin sekolah, pemimpin perusahaan, dan pekerjaan halal lain yang tidak melanggar syariat.

Penjagaan Islam vs Eksploitasi Kapitalisme

Adanya batas  peran publik bagi perempuan merupakan bentuk penjagaan Islam terhadap wanita. Baik kehormatannya, kesejahteraannya, dan terlaksanakannya perintah Allah SWT atas dirinya. Karena mulianya seorang muslim dilihat dari sisi ketakwaannya -ketaatannya-.

Dalam sistem Islam, wanita tidak akan disibukkan dengan nafkah. Karena nafkah menjadi tanggungjawab walinya -Ayahnya bila belum menikah, suaminya bila sudah menikah-. Apabila  walinya tidak ada maka saudara laki-lakinya. Apabila saudara juga tidak ada, atau  tidak mampu maka akan diambil alih oleh negara. Kondisi demikian hanya dalam sistem Islam -Khilafah di atas manhaj kenabian-. Demikian mulianya penjagaan Islam atas wanita.

Adapun liberalisasi  peran publik  perempuan dalam sistem sekuler-kapitalistik, adalah bentuk tidak adanya penjagaan atas kehormatan, kesejahteraan, dan pelaksanaan perintah Allah SWT. Malahan yang ada  wanita dieksploitasi secara perlahan dengan iming-iming income. Meskipun  ada sisi yang terlihat kemanfaatannya ketika wanita  ambil peran publik tersebut. 

Dengan demikian, perempuan harus waspada, adanya jebakan halus dibalik kesetaraan upah yang digaungkan kaum genderis saat ini. 

Yang seharusnya perempuan tuntut adalah perubahan sistem yang menyebabkan terexploitasinya wanita dan ketidakadilan yang menimpanya. Yaitu dengan menyerukan perubahan ke sistem yang berkeadilan, mensejahterakan seluruh manusia, Yaitu sistem Islam -Khilafah 'ala minhajin nubuwwah-. Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah