يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Minggu, 10 April 2022

Masalahnya Bukan Pada THR Cair Atau Tidak

Tunjungan Hari Raya (THR) pasti menjadi hal yang ditunggu oleh para pekerja. Bagi perusahan bisa jadi bukan hal yang ditunggu. Terlebih dalam kondisi ekonomi yang belum 100% stabil. 

Tahukah anda? Ternyata ada sanksi dari pemerintah bagi perusahaan yang terlambat atau tidak memberikan THR. (https://newssetup.kontan.co.id/news/ini-aturan-thr-2022-bagi-pekerja-kapan-cairnya)

Pertanyaannya, apakah tercantum dalam lembar aqad (kesepakatan) kerja antara ajir (pekerja) dan musta'jir (majikan) bahwa pekerja selain mendapatkan gaji, juga mendapatkan THR? 

Tentu, pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada perusahan dengan karyawannya. Tapi untuk semua subjek yang terbebani membayar THR kepada karyawannya.

Hak Pekerja Apa yang Diaqadkan

Nabi SAW bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya" (HR ad Daruqutni)

Dalam pandangan Islam, apa yang menjadi hak dan kewajiban ajir (pekerja) dan musta'jir (majikan) adalah apa yang teraqadkan (disepakati).

Contohnya dalam kesepakatan (aqad) disebutkan pekerja digaji 1 juta perbulan dengan pekerjaan menghantarkan produk majikan kepada 10 pelanggan. Maka kewajiban majikan adalah menggaji pekerja tersebut 1 juta perbulannya. Adapun pekerja berhak mendapatkan gaji itu dari pelaksanaan kerjanya. Ketika pekerja mau berhari raya, maka tidak ada kewajiban bagi majikan memberikan THR. Karena THR tidak terdapat dalam kesepakatan (aqad). 

Adapun bila majikan memberikan THR itu adalah sedekah/hadiah majikan kepada pekerja tersebut.

Dari contoh ini, maka jika pemerintah mewajibkan hingga memberi sanksi kepada semua perusahaan/musta'jir yang tidak memberi THR adalah tidak tepat. Seharusnya, ketentuan itu khusus ditujukan kepada perusahan/musta'jir lainnya yang dalam aqad/kesepakatan kerjanya mencantumkan kesepakatan pemberian THR bagi karyawan.

Adapun bagi perusahan/musta'jir lainnya yang tidak menyebutkan kesepakatan pemberian THR, pemerintah bisa membuat surat edaran berupa himbauan/seruan  (tidak mewajibkan) untuk memberikan hadiah/sedekah kepada karyawannya, sebagai bentuk empati, syukur, terima kasih kepada karyawan dan wujud kegembiraan menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Ketidaktepatan kebijakan berikutnya adalah penetapatan besaran THR. Besarnya THR itupun seharusnya sesuai yang diaqadkan. Jika dipatok oleh pemerintah maka akan ada perusahan yang mampu membayarnya, akan ada pula yang tidak mampu. Terlebih dalam situasi ekonomi yang belum stabil seperti saat ini. Sungguh miris bila perusahan sampai hutang ke bank demi menunaikan ketentuan pemerintah untuk memberikan THR kepada karyawannya. 

Allah SWT berfirman, "... Allah SWT tidak membenabani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya..." (QS. Al Baqarah: 286).

Ketentuan THR yang mengikat bisa menjadi bentuk kedzaliman jika diluar kemampuan perusahaan.

Berdasarkan paparan di atas, jika hak dan kewajiban dikembalikan kepada kesepakatan antara ajir dan musta'jir maka tidak akan ada yang terdzalimi. Dan masing-masing pihak, baik pekerja ataupun majikan akan saling ridho.

Penutup

Tidak salah jika rakyat kemudian membalikkan pemberian sanksi keterlambatan/tidak memberikan THR itu kepada pemerintah. Pasalnya, ketika pemerintah terlambat menstabilkan harga kebutuhan pokok tidak dikenai sanksi.  Pemerintah tidak memberikan jaminan ketersediaan minyak goreng (misalnya) juga tidak diberi sanksi. Padahal itu tugas/kewajiban pemerintah untuk menstabilkan dan menjamin ketersediaan dan kesejahteraan rakyatnya. 

Wallahua'lam bis showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dipun Waos Piantun Kathah